Sabtu, 21 Juli 2012

Berpuasa (tidak) Bersama


Berpuasa (tidak) Bersama
Hasibullah Satrawi ; Alumnus Al-Azhar, Kairo, Mesir
MEDIA INDONESIA, 21 Juli 2012

PEMERINTAH telah menetapkan hari awal puasa tahun ini jatuh pada Sabtu, 21 Juli 2012. Sebagian ormas Islam telah menentukan hari awal puasa pada Jumat, 20 Juli 2012.
Perbedaan seperti itu tidak sekali ini saja terjadi. Hampir setiap tahun perbedaan terkait dengan awal dan akhir puasa seperti ini kerap terjadi.
Ormas Islam kerap menentukan sendiri-sendiri waktu awal berpuasa Ramadan dan waktu berlebaran.

Alasan utama yang dijadikan pegangan oleh tiap pihak ialah perbedaan ijtihad, terutama dalam hal metodologi penetapan hilal (tanggal) yang selama ini dikenal dengan metode rukyat (melihat) dan hisab (hitungan).

Harus diakui dari awal, perbedaan ijtihad merupakan sesuatu yang lumrah dalam fikih, termasuk cara penetapan hilal dan mekanismenya (apakah satu orang yang melihat tanggal dapat dijadikan pegangan oleh seluruh umat Islam dalam berlebaran atau tidak).

Dalam sejarah panjang hukum Islam, perbedaan `berurat-urat' seperti itu berawal dari pemahaman atau interpretasi yang berbeda-beda terhadap suatu teks, terlebih lagi terhadap teks yang berbeda-beda. Pendekatan apa pun acap tidak mampu menyatukan perbedaan-perbedaan ijtihad semacam itu. Walaupun sudah ditimbang melalui pelbagai macam pendekatan, para pendukung tiap mazhab jarang `berpindah haluan' dan mengakui pandangan mazhab tertentu lebih mendekati kebenaran ketimbang mazhab mereka sendiri.

Persaingan?

Pertanyaannya ialah, benarkah semua perbedaan seperti itu semata disebabkan perbedaan ijtihad? Bila memang benar demikian, seberapa besar perbedaan yang tak dapat dikompromikan karena murni alasan perbedaan ijtihad?

Secara pribadi, penu lis cenderung menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut secara negatif. Memang ada beberapa persoalan pokok dalam Islam yang tak bisa disepahamkan karena alasan perbedaan ijtihad.

Namun, persoalan yang benar-benar tak bisa disepahamkan seperti itu sangatlah s sedikit jika dibandingkan d dengan persoalan-persoalan yang sesungguhnya bisa disepahamkan (tapi kemudian dipaksakan untuk tidak bisa sepaham).

Diakui atau tidak, persaingan antarkelompok/mazhab/ormas kerap menjadi salah satu faktor utama perbedaan pandangan yang ada. Dampaknya satu kelompok dengan kelom pok lain berkeras dengan pandangan masing-masing dan tidak mau bersama atau sama dengan kelompok lain.

Dalam hemat penulis, persaingan kelompok itu juga yang membuat ormas-ormas Islam di Indonesia berkeras untuk berbeda dalam menentukan hari awal dan akhir puasa. Itu berlangsung hingga sejumlah ormas Islam secara berjemaah mengabaikan kete tap an negara (untuk tak mengatakan melawan) dalam penentuan hari raya keagamaan. Mereka tetap menetapkan awal dan akhir puasa, walaupun ber tentangan dengan waktu yang telah ditetapkan pemerintah.

Tentu itu merupakan sebuah ironi. Secara alamiah, kebersamaan senantiasa menjadi dambaan bersama dalam merayakan hari-hari spesial seperti itu. Memang tidak ada ketentuan normatif yang mewajibkan hari awal dan akhir puasa harus dilak sanakan secara kompak dan bersamasama.

Namun, dalam momen pesta ulang tahun saja (sebagai perbandingan) seorang nenek bahkan mengharapkan kebersamaan dan kedatangan semua anak-cucunya. Terlebih lagi momen penting seperti awal dan akhir puasa.

Konteks Kebersamaan

Sejatinya semua pihak mendudukkan perbedaan-perbedaan terkait dengan awal dan akhir puasa dalam konteks kebersamaan. Dengan demikian, umat Islam Indonesia bisa berlebaran secara bersama sama. Hal itu bisa dilakukan setidaknya melalui dua hal.

Pertama, menyerahkan otoritas penetapan awal dan akhir puasa kepada negara. Tidak ada satu pihak atau ormas mana pun yang menetapkan hari spesial itu. Semua pihak menunggu dan mengikuti ketetapan negara.

Secara normatif, memberi kan hak penuh kepada negara dalam menentukan awal dan akhir puasa sangatlah kuat. Alquran, contohnya, mengharuskan umat Islam patuh kepada ketetapan ulil amri atau negara (athi'u allaha wa athi'u ar-rasul wa ulil amri minkum), bukan kepada ormas ataupun kelompok-kelompok keagamaan lainnya.

Kedua, semua pihak atau ormas Islam menyerahkan semua perangkat penetapan awal dan akhir puasa (baik itu SDM ataupun perangkat yang bersifat materiil) kepada negara. Dengan kata lain, pihak-pihak yang selama ini menggunakan alat dan para ahli dalam menentukan awal dan akhir puasa menyerahkan semua kekuatan yang mereka miliki kepada negara. Dengan demikian, kemampuan negara cukup kuat dan tak diragukan pihak mana pun dalam menentukan hari-hari besar ini.

Hal itu mutlak dibutuhkan. Selain karena yang telah disampaikan tersebut, juga dalam rangka menepis `buruk sangka' kalangan tertentu bahwa negara (dalam menentukan awal dan akhir puasa) berpihak pada kelompok atau pendekatan tertentu. Dengan menyerahkan tim ahli dan perangkat materiil, semua pihak bisa memastikan ketetapan negara dalam persoalan awal dan akhir puasa merupakan ketetapan yang akurat, faktual, dan tidak memihak.

Bila itu dilakukan, hiruk pikuk penetapan awal dan akhir puasa akan segera berakhir di negeri ini. Pertarungan negara versus ormas-ormas keagamaan di satu sisi dan pertarungan di antara sesama ormas di sisi yang lain akan secepatnya berakhir tanpa ada satu pihak yang merasa dikalahkan.

Semuanya pemenang, yaitu kemenangan umat dan kemenangan kebersamaan.
Mari kita berlebaran bersama-sama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar