Jumat, 13 Juli 2012

Jelang Ramadan dan Lapar Belanja


Jelang Ramadan dan Lapar Belanja
Bandung Mawardi ; Pengelola Jagat Abjad Solo
JAWA POS, 13 Juli 2012


KITA menjelang Ramadan. Adegan-adegan menapaki bulan suci itu justru bergelimang nalar-imajinasi kapitalistik. Serbuan iklan memberikan sengatan atas makna Ramadan. Kita seolah masuk ke lorong iklanisme di televisi dan koran. Iklan-iklan tampil dengan sajian impresif: percampuran godaan konsumsi dan pesan agama. Jalan-jalan pun mulai ramai oleh spanduk dan poster: mengiklankan Ramadan. Situasi ini menjelaskan nalar-imajinasi konsumsi untuk umat bisa mendefinisikan Ramadan.

Peristiwa melihat televisi ibarat ritus konsumsi. Iklan-iklan makanan, pulsa, dan pakaian dengan gampang dilekati simbol-simbol beraroma Ramadan. Godaan melalui iklan mengesankan pengondisian imajinatif bahwa Ramadan adalah bulan untuk belanja. Umat diajari mengonsumsi pelbagai komoditas agar ada sinkronisitas ibadah dan belanja. Imperatif iklan itu manipulatif, tapi menularkan nalar-imajinasi impresif. Gambar, bahasa, dan alur dihadirkan sebagai pikat demi klaim tentang signifikansi belanja selama Ramadan. Iklan adalah urusan godaan ilusif meski menempatkan pesan-pesan religius sebagai tempelan.

Iklan-iklan di koran dan majalah juga mengeksplisitkan selebrasi Ramadan dalam kubangan konsumsi. Sekian mal dan supermarket lugas mencantumkan undangan bagi publik untuk belanja. Mereka memberikan potongan harga dengan dalih antusiasme menjelang Ramadan. Perkara harga dan sajian komoditas konsumtif itu berlabelkan "persembahan" dan "penghormatan". Kita menganggap penggunaan bahasa-bahasa iklan seperti nafsu pembelokan nalar-imajinasi. Puja konsumsi diserukan berbarengan dengan permainan simbol-simbol tentang Ramadan. Peristiwa belanja pelbagai hal ke mal dan supermarket adalah aksentuasi ritus konsumsi. Pemaknaan ini bakal menepikan agenda-agenda religius dan kemanusiaan.

Pembesaran ritus konsumsi menjelang dan selama Ramadan memang menggejala sejak lama. Pembiaran dan sokongan publik atas ritus konsumsi mengandung ironi: belanja serupa ibadah. Makna lapar dan kebersahajaan justru tergantikan dengan "pameran diri" dan "teater ekonomistik". Ramadan menjelma selebrasi pragmatis-hedonis. Pemahaman soal makanan dan pakaian tak merujuk ke olahan iman, tapi bergerak ke puja konsumtif. Kita pun tercebur ke imaji-imaji material saat pelbagai komoditas merecoki arus religiusitas selama Ramadan. Kita mungkin bisa tersesat di godaan iklan ketimbang menapaki jalan iman. Ironis!

Kita bisa menilik selebrasi-selebrasi Ramadan di Jawa sebagai referensi bandingan makna. Andre Moller dalam buku Ramadan di Jawa: Pandangan dari Luar(2005) menguraikan bahwa Ramadan di Jawa berlumuran dengan pertemuan tradisi dan ibadah. Kombinasi ini mengangkut urusan identitas, iman, interaksi sosial, dan ekologi. Selebrasi Ramadan mengundang permenungan dan olah diri untuk menapaki jenjang-jenjang religius. Mozaik tradisi di Jawa perlahan ditepikan atau terlupakan. Umat mulai masuk ke ranah pelik. Ramadan jadi sengketa pemaknaan oleh agenda ekonomi dan politik. Iklan-iklan mendefinisikan Ramadan. Para elite politik pun menggunakan Ramadan untuk mengumbar pesan-pesan politis. 

Basis tradisi mirip kenangan di keremangan zaman. Ramadan di abad XXI ini telah mencipta kosmologi sugestif melalui simbol dan bahasa mutakhir. Eksplanasi Ramadan bisa merujuk ke iklan. Suguhan bahasa dan gambar adalah godaan mujarab. Visualitas dan intensitas pesan mungkin lekas menjerat nalar-imajinasi ketimbang khotbah. Ingatan Ramadan adalah ingatan iklan. Pengondisian ini memerlukan modal, ideologisasi, pamrih. Rezim iklan tentang Ramadan bisa mencipta tikungan makna. Kita bakal menempuhi titian kedustaan dan kealpaan.

Frekuensi sajian iklan di televisi, koran, majalah, radio, dan jalan menentukan "pembahasaan" Ramadan. Kuasa iklan adalah lantunan godaan tak usai. Sejarah iklan sebagai sejarah estetisasi hidup dengan laju kencang merebut makna-makna Ramadan. Kathy Myers dalam buku Membongkar Sensasi dan Godaan Iklan (2012) menjelaskan bahwa bahasa dan imaji iklan bisa menggerakkan ajakan belanja. Konsekuensi iklan adalah "pengikatan" nalar-imajinasi dan konstruksi identitas konsumen. Sensasi-sensasi iklan mungkin jadi klaim kebenaran. Godaan-godaan iklan mungkin jadi kiblat pendefinisian zaman. Iklan adalah realisasi ide atau imajinasi menjadi tindakan. Narasi itu bisa dipakai sebagai rujukan "pengambilalihan" makna religius Ramadan ke semburan makna ekonomistik.

Ramadan itu prosaik. Iklan-iklan memprosakan Ramadan dan meminggirkan iman puitik. Belanja sebagai tindakan prosaik mengandung "eksploitasi" identitas di ruang-waktu suci: Ramadan. Misteri-misteri tersajikan secara terang dan gamblang tanpa peta pemaknaan asali. Iklan membujuk publik mengartikan konsumsi sebagai "amalan" Ramadan. Kita pun mengerti bahwa uang adalah narasi besar di kosmologi Ramadan. Puja belanja dengan penghamburan uang menampik ajaran kebersahajaan dan empati bagi kaum miskin. Kontradiksi-kontradiksi berjejalan selama Ramadan.

Jalaluddin Rumi pernah memberikan seruan puitik: "Jika pikiran dan perutmu terbakar oleh api kelaparan, maka bakal terasa seperti senandung surga bagi hatimu." Kalimat ini jauh dari iklanisme. Rumi memang menabur imajinasi untuk pemaknaan Ramadan. Lapar adalah urusan iman dan penghambaan. Ramadan adalah afirmasi imajinasi puitik tentang surga. Imajinasi itu bisa menjelma tindakan atas nama kebersahajaan tanpa kedustaan. Kalimat puitik Rumi mungkin sulit menghinggapi publik saat bergelimang iklan. Rumi masih mengakui Ramadan sebagai selebrasi puitik. Kita seolah meninggalkan anggapan Rumi demi meladeni agenda-agenda prosaik.

Kita sengaja membiarkan iklan-iklan mendefinisikan Ramadan. Televisi terus hidup sepanjang hari. Koran dan majalah bertaburan iklan-iklan. Jalan semakin sesak dan ramai oleh iklan. Kita seolah ingin menjadi "kaum lapar". Jawaban lapar adalah belanja dan menghibur diri. Ramadan pun bertaburan ilusi oleh sensasi dan godaan iklan. Kita diajari berpasrah diri demi ritus konsumsi. Begitu. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar