Rabu, 11 Juli 2012

Ikhtiar PTS Tampil Kian Seksi


Ikhtiar PTS Tampil Kian Seksi
Nasrullah ; Dosen komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)    
JAWA POS, 11 Juli 2012

HASIL ujian Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNM PTN) baru saja diumumkan. Menurut panitia SNM PTN, 618.804 peserta memperebutkan 106.363 kursi dari 61 PTN di Indonesia. Artinya, hanya sekitar 17 persen yang dapat ditampung.

Jumlah lulusan SMA tahun ini 1.517.125 siswa. Padahal, selain lulusan 2012, peserta SNM PTN juga berasal dari lulusan SMA hingga tiga tahun sebelumnya. Dapat dikatakan bahwa lebih dari 60 persen lulusan SMA tidak melanjutkan ke PTN.

Ke mana mereka? Ke mana juga peserta SNM PTN yang dinyatakan tidak lulus hari ini? Seberapa signifikankah perguruan tinggi swasta (PTS) menjadi alternatif ? Ada beberapa sebab hipotetis mengapa tidak semua lulusan SMA mengikuti SNM PTN. Yakni, alasan ketidakmampuan biaya, langsung bekerja, mengikuti kursus pendek, mempersiapkan ikut SNM PTN tahun depan, atau langsung ke PTS. Kenapa ke PTS? Apakah karena tidak percaya diri lolos SNM PTN ataukah melihat PTS lebih menarik daripada PTN.

Bagi mereka yang PTN minded tetapi cukup berduit, tidak lulus SNM PTN tak jadi masalah. Mereka bisa mencoba masuk lewat pintu jalur mandiri. Sebaliknya, yang kurang mampu mungkin harus menunggu tes tahun depan sambil mempersiapkan diri lebih baik lagi. Kalau urusannya kualitas, sebenarnya PTS sudah banyak berbenah.

Persaingan Biaya

Zaman telah berubah. PTS harus dilihat secara positif sebagai partisipasi masyarakat memenuhi kebutuhan pendidikan tinggi yang belum bisa dipenuhi negara. PTS sudah banyak mengejar ketertinggalan dan berupaya tampil "seksi" agar memikat calon mahasiswa. Dari sisi biaya, belum tentu PTS lebih mahal dan dari sisi kualitas, belum tentu lebih rendah daripada PTN. Banyak fakta yang mendukung.

Soal biaya, misalnya. Kini tak jarang tarif di PTN yang sudah disubsidi oleh negara lebih mahal daripada biaya di PTS. Penelusuran Radar Malang (Jawa Pos Group) edisi Jumat (26/6) menemukan biaya masuk jalur mandiri di Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya (UB) ternyata lebih tinggi daripada di dua PTS tetangganya. Di UB, dana masuk sebesar Rp 155 juta, sedangkan di Unisma Rp 135 juta dan UMM Rp 110 juta. Tren yang sama juga terjadi pada jurusan-jurusan lain. Kreativitas dan keberhasilan PTS dalam menggali dana alternatif di luar dana dari mahasiswa, seperti mengembangkan business center, memungkinkan mereka dapat menutupi biaya operasional universitasnya.

Memang, masih banyak gangguan citra PTS. Perilaku beberapa PTS yang menyelenggarakan pendidikan seenaknya, penjual ijazah, serta kinerja kampus pas-pasan bisa turut mendukung kesan itu. Tapi, tentu tak bisa digeneralisasi. Sangat banyak PTS yang serius mengejar prestasi.

Di era keterbukaan seperti saat ini, tak ada alasan untuk tidak mengetahui jeroan PTN maupun PTS. Secara transparan, publik bisa melihat peringkat PT di Indonesia melalui berbagai media. Banyak lembaga baik, termasuk dari luar negeri, yang memeringkat PT Indonesia.

Untuk melihat akreditasi institusi ataupun akreditasi program studi, kita bisa mengintip dari Badan Akreditasi Nasional (BAN) PT. Dirjen Dikti juga pernah membuat rilis "50 Promising Universities" yang tidak membedakan PTN maupun PTS. Beberapa media, seperti Tempo dan Globe Asia, secara berkala memuat peringkat nasional PT dan tak sedikit peringkat PTS mengalahkan PTN.

Di sisi lain sejak 2010, lembaga pemeringkatan yang berpusat di London, QS Star, mulai merilis perolehan bintang untuk PT di Indonesia. Dari rilis itu diketahui tak sedikit PTS yang meraih predikat "bintang dua", sementara banyak PTN yang belum berbintang. Pemberian predikat itu tidak main-main karena penilaiannya diambil dari lima indikator, yakni kesuksesan lulusan, kualitas pengajaran, infrastruktur, internasionalisasi, dan "daya tempur" (engagement).

Di bidang keseriusan mengelola website universitas, saat ini populer dua sumber, yakni Webometrics yang berpusat di Spanyol dan 4icu (4 International College and Universities) yang berpusat di Australia. Keduanya mengumumkan capaian PT di Indonesia, termasuk dibandingkan PT di luar negeri. Sekali lagi, dalam penilaian orang asing itu, banyak PTS yang tak kalah peringkatnya dari PTN.

Bersaing Keunggulan

Di luar itu semua, upaya Kopertis Wilayah VII Jawa Timur yang rutin memberikan penilaian kepada PTS setiap tahun sejak 2008 layak memperoleh apresiasi. Secara serius, Kopertis menilai kampus-kampus swasta di Jawa Timur dan memberikan Anugerah Kampus Unggul (AKU) yang skornya paling baik. Penilaiannya didasarkan pada tiga aspek: tata kelola dan kelembagaan; penelitian dan pengabdian masyarakat; serta pembinaan kemahasiswaan.

Aspek tata kelola dan kelembagaan didasarkan, antara lain, pada keandalan pelayanan administrasi, status akreditasi, dan yang tak kalah penting sebagai kampus swasta adalah keharmonisan hubungan antara pengelola PT dengan yayasan. Aspek penelitian dan pengabdian masyarakat dilihat dari produktivitas PT melaksanakan dua butir dari Tri Dharma PT itu. Aspek kemahasiswaan dinilai dari cara PT mengelola dinamisasi mahasiswa, baik dari kegiatan intra maupun ekstra kampus, dan perolehan prestasi mereka di kancah lokal, nasional, maupun internasional. Hasil AKU rutin dipublikasikan, termasuk di internet.

Perlu mengubah mindset untuk mempertimbangkan PTS sebagai pilihan utama. Di negara-negara maju, seperti Amerika Serikat, kampus-kampus hebat justru merupakan universitas swasta. Sebut saja, Harvard University, Yale University, University of Chicago, Columbia University, dan Stanford University. Mereka tergolong sebagai private universities yang sangat disegani di dunia. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar