Rabu, 11 Juli 2012

Genderang Perang MUI


Genderang Perang MUI
Ismatillah A Nu’ad ; Peneliti dari Pusat Studi Islam dan Kenegaraan
Universitas Paramadina Jakarta    
SUARA MERDEKA, 11 Juli 2012

Corruption is worse than prostitution. The latter might endanger the morals of an individual, the former invariably endangers the morals of the entire country” - Karl Kraus, Morality and Criminal Justice (1908)

BENAR kiranya satire di atas, bahwa korupsi lebih menjijikkan ketimbang prostitusi. Yang ditulis terakhir membahayakan moral individu, sementara korupsi membahayakan moral bangsa. Karena itulah, kita perlu mengapresiasi setinggi-tingginya sekaligus mendukung fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) ”sita aset koruptor”.

Fatwa MUI adalah gertakan cerdas dan terobosan menggembirakan bagi kita semua, sebagai bangsa. Demi apapun, korupsi (rasuah, risywah) haram hukumnya. Terlalu ringannya hukum negara selama ini, plus tak adanya jaminan uang korupsi kembali ke negara maka fatwa MUI diharap menjadi endorsement sehingga perlawanan terhadap koruptor kembali digelorakan.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menganggap korupsi sebagai kejahatan luar biasa. Untuk kasus di Indonesia, hukuman koruptor lazimnya penjara sekaligus subsider.

Tapi tidak sedikit terpidana korupsi lebih memilih penjara ketimbang membayar denda karena hukuman penjara relatif singkat, 2-5 tahun setelah itu koruptor bisa melenggang-kangkung dengan hasil korupsinya. Karena itu, selain hukuman penjara dalam waktu cukup lama, koruptor harus mengembalikan uang negara. Selain bertujuan menimbulkan efek jera, tuntutan hukuman penjara lebih tinggi mendorong terpidana berusaha keras membayar denda atas perbuatannya. Dengan begitu, lebih banyak uang negara bisa diselamatkan.

Takut Korupsi

Selama ini penyitaan terhadap aset koruptor jarang dilakukan. Akibatnya, orang yang didakwa korupsi tetap punya kesempatan untuk memiliki dan menggunakan harta hasil korupsinya. Bahkan, orang yang masih berstatus tersangka korupsi dapat kabur membawa asetnya. Pemberantasan korupsi memang tidak sekadar mengembalikan uang negara. Lebih penting dari itu, KPK atau kejaksaan harus menindak tegas pelaku korupsi dan menjatuhkan hukuman seberat-beratnya. Selain subsider dan pengembalian aset negara yang telah dikorupsi, koruptor juga harus dihukum seberat-beratnya.

Pasalnya, pelaksanaan hukuman koruptor yang sekarang belum mampu mengurangi jumlah koruptor dan menghilangkan korupsi. Maka koruptor perlu diberi hukuman yang berefek menjerakan, bukan sekadar memenjarakan dalam waktu singkat seperti selama ini. Dengan hukuman berat, siapapun diharapkan merasa takut korupsi. Itu harus sungguh-sungguh dilakukan pemerintah karena korupsi adalah penyakit akut yang mendera bangsa ini dan menyengsarakan generasi sekarang dan yang akan datang. Karena itulah, pihak-pihak yang selama ini memperjuangkan pemberantasan korupsi, termasuk MUI dengan fatwanya itu, harus terus berada di garda terdepan supaya koruptor benar-benar enyah dari republik tercinta ini.  

Berbagai pihak pendukung hukuman berat bagi koruptor selama ini selalu mengacu ke China, dan memuji berbagai usaha Negeri Tirai Bambu itu dalam menumpas korupsi yang mewabah di ranah para penentu kebijakan. Salah satu cara ekstrem adalah memperkenalkan hukuman mati bagi pelaku korupsi.

Menurut Amnesty International, sekitar 1.770 orang dieksekusi di China tahun 2005, dan 3.900 orang dijatuhi hukuman mati. Beberapa ahli hukum China memperkirakan sebetulnya jumlah yang sesungguhnya jauh lebih besar, dan mendekati 8.000 eksekusi per tahun. Pihak-pihak lain bahkan menyebutkan 10.000. Bahkan akibat terlalu banyaknya kasus eksekusi mati terhadap pelaku korupsi, hakim tertinggi di Cina, Xiao Yang, Ketua Mahkamah Agung, mendesak para hakim untuk tidak menjatuhkan hukuman mati apabila masih mungkin memberi hukuman lebih ringan. Mahkamah Agung China menyetujui amendemen terhadap undang-undang kriminal yang memusatkan kontrol atas eksekusi.

Tiap negara memang memiliki alasan tersendiri memberlakukan hukuman bagi koruptor. Kasus di China mungkin paling ekstrem karena koruptor harus berakhir di tiang gantungan. Atau di Asia umumnya,  termasuk di Indonesia, masih memberlakukan hukuman mati. Aurilia Placias (2004), tokoh HAM, optimistis bahwa keadaan ini akan berubah. Menurut dia, di Asia terjadi pengurangan jumlah eksekusi. Selain itu, sudah jauh lebih banyak aktivis dan organisasi HAM di Asia yang menentang hukuman mati.

Melihat alasan hukuman mati yang masih kontroversial dan dianggap bertentangan dengan HAM maka hukuman penjara yang berat plus pengembalian aset koruptor dirasa sudah cukup sehingga koruptor benar-benar jera. MUI telah mengawali sebuah inisiatif yang bagus, dan mudah-mudahan gayung bersambut dieksekusi oleh para penentu kebijakan, baik pemerintah, DPR, KPK, maupun kejaksaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar