Rabu, 18 Juli 2012

Banyak Tapi Tak Berkembang

Banyak Tapi Tak Berkembang
Dinna Wisnu ; Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi Universitas Paramadina 
SINDO, 18 Juli 2012


Di seluruh dunia kita menyaksikan bertambahnya tokoh-tokoh perempuan dalam posisi-posisi tertinggi di dunia politik.Informasi dari CNN (28/6/12),saat ini dari 179 kepala pemerintahan ada 14 posisi yang dijabat oleh perempuan.

Negara-negara yang pemerintahnya sedang dipimpin oleh perempuan adalah Argentina, Australia, Bangladesh, Brasil, Kosta Rika, Denmark, Jerman, Islandia, Jamaika, Liberia, Malawi, Swiss, Thailand, serta Trinidad dan Tobago. Lima di antara mereka menjabat juga sebagai kepala negara. Sejumlah kepala pemerintahan dan kepala negara ini memimpin masa-masa sulit di negara dan kawasannya.

Misalnya saja Kanselir Angela Merkel yang merupakan tokoh terpandang dalam penanganan krisis ekonomi di Eropa, Perdana Menteri Yingluck Shinawatra yang meredakan ketegangan internal di Thailand, serta Presiden Joyce Banda yang menyelamatkan kerusakan hubungan internasional akibat kelalaian Presiden sebelumnya di Malawi. Untuk posisi di kabinet, di seluruh dunia saat ini cuma 14 negara yang sama sekali tidak punya anggota kabinet perempuan. Kebanyakan dari negara ini adalah negara-negara kecil seperti Vanuatu atau Belize, tapi juga ada tetangga dan negara kawan yang kita kenal seperti Singapura, Brunei Darussalam, dan Arab Saudi.

Yang menarik adalah kabinet di Prancis di bawah pemerintahan Presiden Francois Hollande, separuh anggota kabinetnya adalah perempuan. Untuk posisi di parlemen, cuma 7 negara yang sama sekali tidak punya anggota parlemen perempuan, yakni Saudi, Kuwait, Qatar, Kepulauan Solomon, Nauro, Palau, dan Federasi Mikronesia. Rata-rata jumlah perempuan di parlemen di dunia tahun 2011, menurut Guardian (22/6/12), adalah 19,5%, jadi ada kenaikan 0,5% dibandingkan tahun 2010.

Dalam hubungan internasional, perkembangan ini menumbuhkan harapan akan nuansa baru dalam hubungan antarnegara karena sejak 1950-an sebenarnya sudah terbangun suatu jaringan global untuk mengangkat harkat perempuan dalam politik. Naiknya politisi perempuan diharapkan dapat menyuarakan dan mengedepankan sejumlah agenda pemerintahan yang selama ini terbengkalai, termasuk hal-hal yang terkait dengan pemerataan kesempatan dan hak bagi warga negara.

Dalam isu-isu sulit seperti krisis ekonomi, perang, dan ketegangan antarnegara serta kekerasan, para politikus perempuan diharapkan punya daya ubah dalam pendekatan solusi yang selama ini didominasi konsep power. Kenyataannya, jalur reformasi dalam berpolitik lebih rumit daripada logika perubahan dalam teori-teori selama ini. Meskipun jumlah perempuan hampir sama dengan laki-laki, hanya terpaut beberapa puluh juta orang di seluruh dunia, tak berarti bahwa ide-ide perubahan itu dapat berkembang dengan baik.

Hal ini dialami di seluruh dunia. Pada 1990-an, diyakini oleh teori bahwa pemenuhan critical mass (jumlah massa yang cukup untuk melakukan perubahan) akan lebih mudah mendorong perubahan dalam cara-cara berpolitik. Itu sebabnya berbagai kampanye merebak untuk menjamin hak sementara menambah jumlah politisi perempuan di parlemen (dikenal sebagai affirmative action). Sistem pemilu di berbagai negara dievaluasi agar lebih ramah bagi perempuan, termasuk dengan dipromosikannya sistem pemilu proporsional dengan daftar tertutup dan konsep zipper (selang-seling antara laki-laki dan perempuan dalam daftar nominasi caleg).

Namun, selama bertahuntahun tidak ada tren peningkatan yang signifikan dalam hal pemenuhan critical mass perempuan yang berpolitik. Mencari perempuan bermutu yang mau berpolitik praktis seperti layaknya mencari jarum di tumpukan jerami. Keluhan ini bahkan dirasakan di Amerika Serikat. Itu sebabnya kemudian menguat keyakinan jika ada tokoh-tokoh perempuan yang naik sebagai pimpinan eksekutif, entah itu sebagai presiden atau perdana menteri, maka lebih banyak inspirasi bagi perempuan untuk menjadi bagian dari perubahan politik. Kenyataannya tidak juga.

Bahkan agendaagenda penting yang lekat dengan pemenuhan hak bagi warga negara seperti pemerataan hasil-hasil pembangunan, perlindungan tenaga kerja, danperbaikan skor Millennium Development Goals terpinggirkan oleh isu lain seperti penanganan krisis ekonomi, bahkan perang. Di sini kita semua perlu mawas diri. Kenyataannya, sistem bisa dipromosikan dan didorong untuk diterima, tetapi pelaksanaan dan keberlangsungannya membutuhkan lebih dari sekadar sistem pemilu atau terpilihnya perempuan di pucuk pimpinan.

Perlu diingat lagi perjuangan memperluas kepemimpinan politik bagi perempuan bukan semata-mata untuk menambah jumlah politisi perempuan atau memberi kepercayaan diri pada perempuan. Agenda lebih besar yang diusung dalam politik gender adalah pembukaan jalan yang lebih mulus bagi ide-ide pemerataan kesempatan dan hak bagi seluruh warga negara, perlindungan warga negara dari berbagai bentuk kekerasan, serta perbaikan kualitas hidup karena pengakuan akan keragaman identitas dan preferensi sosial yang berbeda-beda.

Artinya perjuangan yang dibangun di sini membidik perubahan cara pikir yang serba-ingin membesarkan pertumbuhan ekonomi atau berkonfrontasi dengan yang tidak sepaham. Ketika ketimpangan sosial ekonomi meluas, kekerasan muncul, dan keragaman identitas serta preferensi ditekan, para perempuan yang pertama-tama akan menjadi korbannya. Mereka akan berpusing-pusing mengelola keuangan rumah tangga, tertekan karena menyaksikan kekerasan, dan menyaksikan anak-anak mereka tumbuh menjadi orang yang tidak paham makna toleransi.

Tentu dapat dipahami kesadaran tersebut harus ditunjang oleh kondisi sosial ekonomi dan, ternyata, faktor psikologis serta keberanian perempuan juga. Sebab realitasnya di mana-mana saat ini,bahkan di Amerika Serikat sekalipun, perempuan masih masuk dalam golongan masyarakat yang terdiskriminasi. Dalam survei di Washington DC seperti dirilis the National Journal (13/7/12), 50% responden mengaku mengalami diskriminasi seksual di tempat kerjanya, bahkan di antara responden berusia di atas 60 tahun, pengalaman itu dirasakan oleh 71% responden.

Di dunia politik, seperti diungkapkan oleh beberapa rekan perempuan yang juga politisi di negara-negara lain, diskriminasi seksual kerap digunakan untuk memojokkan politisi perempuan. Dan bagi publik, cerita-cerita macam ini adalah skandal menggiurkan bagi pers. Artinya gerakan global bagi perbaikan partisipasi perempuan dalam politik praktis bukan sekadar mengubah sistem pemilu. Ada sistem-sistem lain yang juga perlu menunjang seperti sistem partai politik, sistem tata kelola parlemen, sistem rekrutmen politisi, bahkan sistem pemantauan etika politisi. Sistem-sistem ini perlu dihidupkan oleh roh perubahan yang tadi disebutkan di awal.

Meskipun jumlah perempuan yang berpolitik praktis ikut menentukan nuansa politik, ide dan tujuan akhirnya bukanlah di situ.Justru harus dipupuk sistem yang membuka pertanggungjawaban politik dari partai maupun parlemen agar semua kalangan (termasuk perempuan) punya kemudahan dan dukungan untuk mendorong ide-ide perubahan. Pada akhirnya, apalah artinya politik jika bukan untuk memperbaiki kekurangan dari sistem yang selama ini berjalan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar