Worls
Class Islamic Institute
Bramastia, MAHASISWA PROGRAM DOKTOR ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
SEBELAS MARET SURAKARTA
Sumber
: REPUBLIKA, 1
Februari 2012
Dalam
perkembangannya, ke beradaan pergu ruan tinggi agama Islam (PTAI) di Indonesia
sedang mengalami kemajuan signifikan. Saat ini, ada sekitar 612 lembaga PTAI,
dimana dari 52 lembaga adalah PTAI berstatus negeri dan 560 PTAI yang berstatus
swasta. Dari jumlah PTAI negeri yang ada, sekitar 15 lembaga sudah berstatus
institut agama Islam (IAIN), enam lembaga sudah berstatus universitas (UIN),
dan 31 yang berstatus sekolah tinggi agama Islam (STAIN).
Adapun
proses dari penentuan status PTAI ini dilakukan secara berjenjang, mulai dari
STAIN, IAIN, hingga UIN. Lalu, bagaimanakah dengan keberadaan institut agama
Islam negeri (IAIN) saat ini? Adakah perubahan status ini dimaknai sekadar
formalitas, ataukah sudah menjadi transformasi berpikir?
Pascakelahiran
menjadi IAIN, secara internal institut tersebut memerlukan banyak pembenahan. Dengan
status IAIN, seharusnya pula diikuti pemantapan internal, misalnya mulai dari
akreditasi program studi, pembangunan fisik, hingga sarana dan prasarana
pelayanan untuk mahasiswa. Begitu pula dengan peningkatan kualitas SDM,
perbaikan mata kuliah yang harus disesuaikan dengan penyesuaian perkembangan
zaman, serta peningkatan kualitas output dari mahasiswa yang memiliki basis
keislaman kuat.
Tiga Persimpangan
Di
sisi lain, keberadaan IAIN sesungguhnya adalah lembaga yang sedang mencari bentuk
sesuai dengan potensinya. Keberadaan IAIN harus melakukan sebuah rekonstruksi
terhadap seluruh sistem dalam pranata yang ada di dalamnya. Meski, pada lembaga
itu secara internal akan terjadi tarik ulur gagasan atau kepentingan yang
paling tidak terpecah menjadi tiga persimpangan jalan.
Pertama,
IAIN tetap berada pada tradisi keilmuan yang bernuansa keislaman. Sebagai
lembaga pendidikan Islam, maka tradisi ke islaman pun harus menjadi keutamaan
dalam semua sektor aka demik. Pemikiran ini perlu untuk dihargai, mengingat
kekhawatiran akan kooptasi modernitas yang nantinya menggerus budaya keislaman
pada mahasiswa IAIN.
Kedua,
IAIN akan mengikuti tun tutan hajat masyarakat dan ne gara. Makna lain dari
mengikuti hajat masyarakat dan negara sama artinya dengan mengikuti permin taan
pasar. Dalam hal ini, IAIN lambat laun diharuskan membuka program studi yang
sedang diminati dan memiliki animo besar agar mendapat mahasiswa baru. Jika tak
hati-hati, bisa jadi ke de pan IAIN akan terjebak dalam kapitalisme pendidikan
Islam.
Ketiga,
IAIN akan mengolabo rasikan antara pendidikan agama dan ilmu umum. Pada ranah
ini, IAIN tak hanya konsentrasi pada pendidikan agama, namun juga mulai membuka
diri dengan ilmu umum. Jika pilihan kolaborasi ke ilmuan agama dan keilmuan
umum yang akan diambil, maka seyogianya IAIN tetap menyiner gikan keduanya.
Alangkah baik nya bila IAIN mulai menyatukan segala aktivitas yang bernuansakan
keislaman, atau dengan kata lain jangan memisahkan antara keilmuan agama dan
keilmuan umum.
Dalam
rangka mencari titik temu di tiga persimpangan ini, maka IAIN harus menjadi
lembaga pendidikan yang mampu merumuskan konsep keislaman dengan
mengakomodasikan keistimewaan sistem Barat modern sekaligus sistem lokal,
seperti pesantren. Artinya, keberadaan IAIN harus melahirkan kerangka konseptual
secara berjamaah, tersistem, dan berkelanjutan sehingga eksistensinya sebagai
lembaga pendidikan Islam yang bersaing dalam ranah global menjadi jelas.
Berkelas Dunia
Dengan
demikian, maka tantangan untuk ke depan bagi IAIN dalam menghadapi persaingan
global adalah persoalan kemampuan institusi agar dapat menempatkan diri dan sejajar dengan lembaga
pendidikan tinggi terkemuka di Indonesia serta dunia. Maka dari itu, segenap
sistem nilai yang menjadi kunci untuk mencapai tingkatan IAIN sebagai institut
Islam yang bertaraf inter nasional—atau yang penulis sebut sebagai world class
Islamic institute—harus dikembangkan dengan sungguh-sungguh.
Untuk
itulah, IAIN harus menggerakkan seluruh daya dan upaya untuk mencapai beberapa
langkah world class Islamic institute secara sinergis. Mulai saat ini, perlu
penataan internal dengan membuat target-target minimal, misalnya seperti 40
persen tenaga pendidik harus bergelar S3, dosen harus rajin melakukan publikasi
internasional (dua paper/staf/tahun), jumlah mahasiswa pascasarjana harus 40
persen dari total populasi dari mahasiswa (student body), anggaran riset mi
nimal 1300 dolar AS/staf/tahun, jumlah mahasiswa dari asing lebih 20 persen,
serta akses internet 10 KB/mahasiswa.
Artinya,
langkah memperbaiki instrumen legal di IAIN hingga terbentuk budaya yang
berkualitas global dari setiap komponen institut sangatlah penting. Namun
demikian, yang menjadi unsur terpenting dan utama dalam mencapai tingkat world
class Islamic institute adalah nilai dan moralitas secara keislaman yang harus
dimiliki tenaga pendidik dan ke pendidikan dalam melaksanakan kegiatan di
bidang akademik.
Jika
keberadaan IAIN ingin menuju world class Islamic institute, maka jangan hanya
karena tuntutan peran dalam pengembangan kesejahteraan rakyat yang justru
menjadi sangat mendesak. Konsep world class Islamic institute harus berpijak
guna meletak kan basis kuat bagi IAIN sebagai pembangun karakter pendidik dan
tenaga kependidikan yang me miliki napas keislaman secara rasional, objektif, dan
normatif.
Dengan
status world class Islamic institute, IAIN harus meletakkan nilai dan moralitas
Islami secara akademik dalam mengha dapi perkembangan sosial, ekonomi, politik,
budaya, dan iptek. Untuk itu, ada harapan atas kelahiran cendekiawan Muslim dari
IAIN yang mengutamakan kompetensi profesional, kejujuran, integritas, dan
objektivitas dalam masyarakat. Bahkan, secara institusi pun IAIN dituntut mampu
mempertanggungjawabkan nilai keislaman secara publik, hormat kepada martabat
dan hak asasi manusia, serta dapat menjadi sum ber acuan budaya keislaman secara
global. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar