Momentum
Tingkatkan Budaya Riset Kampus
M Azhar, LITBANG SINDO
Sumber
: SINDO, 21 Februari 2012
IMBAUAN pemerintah agar mahasiswa
menulis hasil penelitian di jurnal ilmiah tidak perlu diperdebatkan secara
teknis. Yang terpenting adalah bagaimana meningkatkan reputasi pendidikan
tinggi Indonesia melalui riset dan budaya menulis ilmiah.
Surat edaran Dirjen Pendidikan Tinggi (Dikti) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Djoko Santoso berbuah polemik. Belum satu bulan diteken, surat yang berisi mengenai ketentuan yang mewajibkan setiap mahasiswa sarjana untuk membuat karya ilmiah di dalam jurnal, langsung ditolak. Adalah Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Seluruh Indonesia (Aptisi) yang secara mentah-mentah menolak usulan tersebut.
Kelompok ini mengklaim sebanyak 3.150 perguruan tinggi swasta (PTS) dari Sabang sampai Merauke menolak melaksanakan surat edaran tersebut. Ketua Aptisi Edy Suandi Hamid mengatakan, kebijakan itu secara filosofi bertujuan baik namun tidak logis.Rektor Universitas Islam Negeri Indonesia ini menilai jumlah jurnal ilmiah yang dapat menampung karya ilmiah para sarjana tidak cukup.
”Kami tetap menuntut kebijakan ini dikaji ulang,” kata dia. Rektor Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (Uhamka) Suyatno mengatakan, aturan mewajibkan menulis karya ilmiah di jurnal ilmiah sebagai syarat mendapatkan gelar sarjana bisa berujung pada penyusunan jurnal asal-asalan. Dia juga mengeluhkan masih belum meratanya kualitas infrastruktur pendidikan antara daerah satu dan daerah lain. ”Bagi kampus swasta di Papua, komputer itu masih sangat terbatas,” kata dia.
Apa pun itu, yang jelas Kemendikbud jalan terus dengan kebijakan ini. Dirjen Dikti Kemendikbud Djoko Santoso menegaskan bahwa pihaknya tidak akan membatalkan ketentuan tersebut. Mantan rektor ITB itu mengatakan, sejatinya ketentuan calon sarjana wajib menulis jurnal tidak perlu sampai diatur dalam sebuah surat edaran. ”Menulis karya ilmiah itu sudah kewajiban mahasiswa calon sarjana,” tegas dia.
Terlepas dari polemik tersebut, kita tidak bisa menutup mata bahwa kondisi kultur riset yang berujung pada budaya menulis di jurnal ilmiah sangat kompleks. Persoalan itu meliputi rendahnya kuantitas, tingkat rujukan publikasi ilmiah (citation),hingga masalah kualitas dan tidak meratanya infrastruktur pendidikan di daerah. Yang paling utama ialah masalah publikasi ilmiah.
Jika dibandingkan dengan universitas negara tetangga, jurnal dan publikasi ilmiah bereputasi internasional karya perguruan tinggi di Indonesia sangat tertinggal (lihat grafis). Total karya ilmiah dari gabungan empat perguruan tinggi negeri (PTN) top di Indonesia meliputi Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, Universitas Gadjah Mada, dan Institut Pertanian Bogor tahun 2011 hanya sebanyak 4.784 judul.
Total judul karya ilmiah yang dihasilkan para center of excellences ini masih kalah jauh dari judul karya ilmiah yang dihasilkan Universiti Sains Malaysia sebanyak 9.649 judul. Apalagi jika dibandingkan dengan National University of Singapore, yang mencapai 59.290 judul pada tahun yang sama.
Padahal,publikasi ilmiah yang dapat dijadikan acuan komunitas akademik internasional merupakan satu indikator utama dalam perumusan ranking perguruan tinggi di dunia versi THES-QS World University maupun Webometric. Setali tiga uang, pertumbuhan jurnal ilmiah yang dihasilkan lembaga pendidikan tinggi dan institusi riset di Indonesia selama kurun 2009–2011 tak kalah mandeknya.
Pertumbuhannya dari tahun ke tahun tidak sampai positif 10%, bahkan pertumbuhannya cenderung negatif. Belum sampai berbicara mutu, tren pertumbuhan jurnal dari tahun ke tahun ini sudah menunjukkan betapa lemahnya kultur riset di pendidikan tinggi.
Puncak Gunung Es
Rendahnya kuantitas karya ilmiah yang dihasilkan pendidikan tinggi, sejatinya merupakan puncak gunung es dari masih rendahnya kultur riset di pendidikan tinggi, bahkan di dunia pendidikan pada umumnya. Budaya menulis secara ilmiah seperti belum menyatu dengan sistem pendidikan kita.
Kuantitas karya ilmiah tidak dapat dipisahkan dari budaya riset, suatu proses membuktikan suatu tesis dan antitesis untuk menemukan sintesis baru. Adapun untuk membuktikan suatu tesis tersebut tentu diperlukan daya nalar dan sikap kritis dari sivitas akademik. Banyak pengamat mengatakan bahwa budaya riset di Indonesia masih kurang dibandingkan dengan budaya riset di negara-negara lain.
Hal ini disebabkan sistem pendidikan tinggi di Indonesia yang lebih berorientasi pada kegiatan pengajaran ketimbang riset. Model tersebut secara langsung membentuk budaya akademik yang cenderung pasif dan satu arah. Jika budaya ini terus menggerus budaya riset dan penulisan ilmiah, dunia pendidikan tinggi lama-kelamaan akan kehilangan daya nalarnya.
Karena itu, ketentuan yang dirumuskan Kemendikbud jangan dilihat sebagai upaya yang sifatnya membebani perguruan tinggi. Tidak hanya PTS, PTN pun akan kesulitan jika mewajibkan setiap mahasiswanya untuk menulis di jurnal ilmiah. Selain masalah dana, kualitas hasil tulisan juga diragukan apabila karya tersebut dibuat sebagai prasyarat kelulusan saja.
Hal ini sebaiknya dijadikan momentum bersama untuk bangkit dan membangun reputasi pendidikan tinggi Indonesia di mata dunia. Memang, untuk mendorong budaya riset dan tulisan ilmiah tidak semudah membalikkan telapak tangan.Kultur akademik yang semakin terkikis harus digiatkan kembali secara perlahan mulai dari sekarang, mengingat Indonesia sudah jauh tertinggal.
Perubahan status perguruan tinggi negeri menjadi badan hukum milik negara (BHMN) sejak tahun 2003 sebenarnya membuka peluang bagi universitas-universitas untuk mendapatkan dana riset ilmiah.Perguruan tinggi yang telah menjadi BHMN bisa mendapatkan dana melalui pembukaan unit-unit usaha ataupun kerja sama strategis dengan suatu badan usaha.
Kemudian, perlu ada upaya pancingan (trigger) baik dari pemerintah ataupun kerja sama di antara perguruan tinggi agar budaya ilmiah tetap tumbuh dan berkembang. Hal ini bisa dilakukan misalnya melalui kegiatan- kegiatan seperti seminar, lomba penelitian,ataupun call for paper, dan hasilnya diterbitkan dalam bentuk jurnal.
Pemerintah perlu memfasilitasi terbentuknya budaya riset tersebut dan tidak boleh menutup mata bahwa anggaran riset di dalam sektor pendidikan masih rendah. Selain itu, peran yang juga harus dijalankan pemerintah ialah memperluas akses terhadap sumber pengetahuan, misalnya memberikan akses gratis untuk koleksi jurnal online (e-jurnal) sebagai referensi, atau memberikan subsidi bagi jurnaljurnal ilmiah terakreditasi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar