Pilot
yang Salah Pesawat
Sri Palupi, KETUA INSTITUTE FOR ECOSOC RIGHTS
Sumber
: KOMPAS, 2
Februari 2012
Para pembantu Presiden SBY menepis tudingan
bahwa Indonesia dijalankan dengan otopilot. Bahkan, Menko Perekonomian Hatta
Rajasa memuji SBY sebagai pilot andal.
Alasannya, di tangan SBY, pertumbuhan produk
domestik bruto 6,5 persen, peringkat utang meningkat, dan status layak
investasi yang diberikan lembaga pemeringkat internasional.
Tak ada yang salah dengan pujian bahwa SBY
pilot andal. Hanya saja, para pemuji SBY tutup mata terhadap kenyataan bahwa
sebagai pilot, SBY salah masuk pesawat. Bukan pesawat RI yang ia terbangkan,
melainkan pesawat asing yang memuat investor asing, komprador, koruptor, dan
kalangan yang diuntungkan kebijakan promodal asing. Rakyat tertinggal di
pesawat tanpa pilot, terombang-ambing di tengah badai korupsi dan investasi.
Pesawat Asing
Pemerintahan SBY dikenal paling ramah
melayani kepentingan asing. Tak heran, banyak pujian dari asing. Bahkan, demi
mencapai target investasi, SBY rela mengorbankan kepentingan hajat hidup
rakyat. Target investasi yang dibuat pemerintahan SBY Rp 3.100 triliun sampai
2014. Investasinya belum mencapai Rp 1.000 triliun, 75 persen sumber daya alam
kita sudah dikuasai asing. Saham-saham penting milik negara sudah beralih
kepemilikan ke korporasi asing.
Kepenguasaan asing di pertambangan emas,
perak, dan tembaga mencapai 90 persen. Sektor energi 90 persen dikuasai asing.
Perbankan nasional juga jatuh ke tangan asing. Sektor telekomunikasi yang strategis,
90 persen dikuasai asing.
Rantai pangan Indonesia tak terlepas dari
penguasaan asing. Aliansi untuk Desa Sejahtera mencatat, korporasi asing telah
mengontrol perdagangan pangan Indonesia. Syn- genta, Monsanto, Dupont, dan
Bayer menguasai bibit dan agro- kimia. Cargill, Bunge, Louis Dreyfus, dan ADM
merajai pangan serat, perdagangan, dan pengolahan bahan mentah. Nestle, Kraft
Food, Unilever, dan Pepsi Co mencengkeram pengolahan pangan dan minuman.
Carrefour, Wal Mart, Metro, dan Tesco jadi penguasa pasar eceran pangan.
Produk petani dan industri dalam negeri
tergusur produk impor. Pasar tradisional terdesak mal dan pusat belanja modern.
Pedagang kecil kehilangan sumber hidup. Bahan baku industri yang berlimpah
lebih banyak dinikmati asing. Negeri ini hanya jadi pasar barang industri
bangsa lain sekaligus pemasok bahan baku industri negara lain. Penguasaan aset
negara oleh asing dibuat mulus dengan banyaknya UU pro-kepentingan asing.
Amat banyak UU dibuat dengan mengabaikan
amanat konstitusi. Setidaknya 76 UU penting terkait hajat hidup rakyat dibuat
dengan intervensi asing. Sebagai bangsa, praktis kita sudah kehilangan
kedaulatan. Tak hanya atas bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya. Dalam berpikir dan menentukan masa depan sendiri pun, kita sudah
defisit kedaulatan. Pertumbuhan ekonomi tinggi, peringkat utang meningkat, dan
status layak investasi kebanggaan pemerintahan SBY tak sebanding dengan risiko
dan harga yang harus dibayar bangsa ini.
Saat pemerintah membanggakan pertumbuhan ekonomi
tinggi dan berbagai pujian pihak asing, saat itu pemerintah meningkatkan target
pengiriman TKI ke luar negeri dan mengampanyekan program perluasan negara
tujuan TKI. Lalu, untuk siapa pertumbuhan ekonomi tinggi dan derasnya arus
investasi kalau rakyat terus didorong menjadi budak bangsa lain?
Pesawat Otopilot
Sepanjang sejarah Republik, belum pernah
rakyat ditelantarkan negara seperti sekarang. Warga mencuri sandal jepit,
pisang, semangka, dan biji kakao hanya sedikit gambaran betapa buruk tingkat
kesejahteraan. Jangankan sejahtera, jaminan rasa aman pun kian sulit didapat.
Pembunuhan, perampokan, penculikan, pelecehan, dan perkosaan di tempat umum
kian marak. Kekerasan atas nama agama dan keyakinan terus dibiarkan. Aparat
negara sibuk menggendutkan rekening sendiri.
Yang disebut sebagai pembangunan kini tak
lebih dari urusan memfasilitasi dan mendorong kalangan berduit gila berbelanja.
Daerah sentra industri berubah wajah jadi daerah wisata belanja, dipadati
dengan pusat belanja dan factory outlet yang memasarkan produk impor. Kawasan
industri dan sentra industri kecil sepi. Pabrik-pabrik tutup.
Deindustrialisasi memaksa rakyat berjuang
menciptakan lapangan kerja sendiri. Hampir 70 persen tenaga kerja di sektor
informal. Buruh dipaksa menerima upah yang bahkan tak cukup untuk makan layak
tiga kali sehari.
Arus deras investasi yang dibanggakan
pemerintahan SBY kian merampas hak hidup rakyat. Yang terjadi di Mesuji dan
Bima hanya puncak gunung es konflik agraria yang tak pernah diselesaikan.
Konsorsium Pembaruan Agraria mencatat: konflik agraria meningkat tajam dari 106
kasus (2010) menjadi 163 kasus (2011), melibatkan 69.975 keluarga dengan luas
areal konflik 472.048,44 hektar. Petani tewas meningkat dari 3 orang (2010)
jadi 22 orang (2011). Ironis bahwa tanah, hutan, dan kekayaan alam diserahkan
kepada pihak asing, sementara rakyat yang hanya mempertahankan sejengkal lahan
dipaksa meregang nyawa.
Program memperbanyak pengiriman TKI yang
dijalankan pemerintahan SBY sesungguhnya upaya menutupi kegagalan pemerintah
membangun sektor pendidikan, pertanian, dan industri. Warga didorong bekerja di
luar negeri: mayoritas pendidikan mereka SMP ke bawah.
Sementara itu, kapasitas dan integritas
pemerintah dalam melindungi TKI sangat rendah. Pada 2011, misalnya, dari 16.014
TKI berkasus, 72,3 persen pulang dengan masa kerja kurang dari enam bulan.
Mereka dipulangkan karena kurang terampil dan tak lolos tes kesehatan. Bahkan,
pemerintah membiarkan perempuan hamil dipaksa berangkat. Pada tahun sama,
sedikitnya 49.000 TKI diberangkatkan tanpa asuransi. Padahal, TKI dibebani
biaya sampai Rp 25 juta, termasuk untuk asuransi.
Kalau saja pilotnya andal, ko- rupsi bisa
diberantas ke akar: anggaran dan kekayaan alam benar-benar dikelola demi
kemakmuran rakyat dan kita tak perlu lagi mengemis pekerjaan dari bangsa lain.
Oh, pilot andal untuk rakyat baru sebatas doa.... ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar