Moderasi
Islam ala Al-Azhar
Zuhairi Misrawi, ANALIS POLITIK DAN PEMIKIRAN TIMUR TENGAH;
PENULIS
BUKU AL-AZHAR: MENARA ILMU, REFORMASI, DAN KIBLAT KEULAMAAN
Sumber
: KOMPAS, 2
Februari 2012
Pelan tapi pasti, Mesir memasuki gerbang
demokrasi pasca-jatuhnya Hosni Mubarak. Setelah 74 tahun berada di bawah
represi rezim yang berkuasa, Ikhwanul Muslimin menduduki pucuk pimpinan di
parlemen dengan 47 persen suara.
Muhammad Saad el-Katatny, Sekretaris Jenderal
Partai Kebebasan dan Keadilan yang menjadi sayap politik Ikhwanul Muslimin,
terpilih sebagai ketua parlemen pascarevolusi.
Meskipun demikian, realitas sosial-politik di
luar parlemen masih menyisakan setumpuk persoalan. Masih ada perbedaan antara
demokrasi secara prosedural di parlemen dan demokrasi secara substansial dalam
realitas sosial masyarakat.
Apakah dinamika politik di parlemen akan
mencerminkan realitas sosial-politik dalam kehidupan sehari-hari, terutama yang
berkaitan dengan hak-hak sipil, baik pada kelompok mayoritas maupun minoritas?
Mayoritas vs Minoritas
Kubu islamis, baik Ikhwanul Muslimin maupun
Salafi, merupakan suara mayoritas di parlemen. Jika dikumpulkan, jumlah suara
kubu islamis di parlemen mencapai 72 persen. Sementara kubu liberal, kiri, dan
moderat hanya 28 persen suara. Muncul kekhawatiran, kepentingan kaum islamis
akan mendominasi kebijakan publik.
Fenomena itu tampak dalam rapat paripurna
pertama anggota parlemen terpilih, tatkala kubu Salafi meminta pimpinan sidang
sementara, Muhammad el-Saqa, untuk memasukkan klausul ”bersumpah berdasarkan
syariat Allah” dalam materi sumpah jabatan setiap anggota parlemen.
Sebelumnya, dalam naskah sumpah jabatan tidak
ada kalimat yang mengharuskan seorang anggota parlemen terpilih mengucapkan
klausul tersebut, apalagi tidak semua anggota parlemen beragama Islam.
Kondisi itu adalah gambaran perdebatan yang
lebih serius di parlemen, terutama dalam upaya menegakkan prinsip kesetaraan
dalam paradigma kewarganegaraan. Kubu Salafi yang memperoleh 25 persen suara
bisa menjadi ganjalan serius membangun nasionalisme.
Jika tidak hati-hati, parlemen Mesir akan
menjadi forum diskusi isu-isu keagamaan daripada isu-isu kerakyatan.
Dalam konstitusi Mesir disebutkan bahwa Islam
adalah agama resmi negara, bahasa Arab adalah bahasa resmi negara, dan syariat
Islam sebagai sumber utama perundang-undangan.
Namun, pasal lain menyebutkan bahwa seluruh
warga negara Mesir berkedudukan setara di depan hukum dan mereka harus
diperlakukan secara adil tanpa diskriminasi. Islam dan syariat Islam menjadi
identitas penting konstitusi, tetapi negara harus menjamin kesetaraan dan
keadilan bagi setiap warga negara.
Kedua pasal itu akan menjadi sumber
perdebatan serius dalam merespons isu-isu lintas agama karena Islam bukanlah
satu-satunya agama warga Mesir. Selain Islam, sebagian menganut Kristen Koptik,
Kristen Injili, Katolik, Bahai, dan Yahudi.
Sikap anggota parlemen dari kubu Salafi dapat
menimbulkan kekhawatiran pada kelompok minoritas. Apalagi, setelah revolusi,
kondisi kelompok minoritas tidak lebih baik dibandingkan sebelum revolusi.
Tragedi Maspero dan penutupan sejumlah gereja di beberapa daerah akan menjadi
isu politik yang sangat sensitif.
Piagam Al-Azhar
Al-Azhar sebagai institusi pendidikan
keagamaan di Mesir tidak larut dalam perdebatan politis kaum islamis. Lembaga
ini berdiri di tengah menjaga solidaritas kebangsaan. Sebagai kekuatan
masyarakat sipil, Al-Azhar justru menggalang persaudaraan di antara berbagai
kelompok lintas agama dan aliran politik.
Syaikh Ahmad Thayyeb, Grand Syaikh Al-Azhar,
mendeklarasikan ”Piagam Kebebasan Publik” (watsiqat al-hurriyyat al-’ammah).
Piagam tersebut berisi komitmen untuk
mengawal kebebasan beribadah, kebebasan beragama, kebebasan berpendapat,
kebebasan mengeksplorasi ilmu pengetahuan, dan kebebasan mengekspresikan seni.
Sikap Al-Azhar hendak menegaskan tiga hal
penting. Pertama, kepentingan negara-bangsa harus diutamakan daripada
kepentingan golongan. Demokrasi bukan otomatis turun dari langit, melainkan
proses yang kerap menimbulkan friksi, bahkan benturan antararus politik. Karena
itu, diperlukan sebuah platform yang diusung kekuatan masyarakat sipil untuk
menjaga kesatuan dan persatuan dalam berbangsa dan bernegara. Maka, Al-Azhar
sebagai menara moderasi Islam menggandeng non-Muslim untuk mempererat
solidaritas kebangsaan.
Kedua, kebinekaan merupakan fakta
sosial-politik yang harus dijadikan pijakan bersama. Sejak pemilu bergulir,
muncul proliferasi pemahaman keagamaan yang menafikan eksistensi kalangan
non-Muslim. Mereka mengisyaratkan penolakan terhadap kebinekaan. Karena itu,
Al-Azhar berada di garda terdepan mengawal kebinekaan.
Siapa pun yang menafikan realitas kebinekaan
sebenarnya sedang menafikan titah Tuhan yang telah menciptakan Mesir sebagai
tanah subur bagi kebinekaan agama dan keyakinan.
Ketiga, kebebasan merupakan filosofi yang
harus dijunjung tinggi di tengah kebinekaan agama dan keyakinan. Menurut
Al-Azhar, kebebasan berkeyakinan yang dibangun di atas kesetaraan, baik dalam
hak maupun kewajiban, merupakan pilar penting membangun masyarakat kontemporer.
Kebebasan berkeyakinan dijamin dalam Islam yang menegaskan prinsip ”tidak ada
paksaan dalam beragama” (la ikraha fi al-din).
Piagam yang dicetuskan Al-Azhar, menurut
Mustafa al-Fuqi dalam Al-Tsawrah wa al-Muassasah al-Diniyyah: ”Al-Azhar
Namudzajan telah memainkan peran sentral memperkokoh solidaritas kebangsaan,
bahkan mengusung moderasi dunia Islam. Langkah ini sangat penting dan
diharapkan menginspirasi persaudaraan antara Sunni dan Syiah.”
Belajar
Dalam konteks keindonesiaan, pengalaman
Al-Azhar patut dicontoh. Inisiatif memperkokoh solidaritas kebangsaan harus
muncul dari kekuatan masyarakat sipil. Saat negara absen, bahkan membiarkan
hilangnya hak kebebasan beribadah dan berkeyakinan, kantong-kantong moderasi
Islam harus berperan riil melindungi kelompok minoritas. Kelompok-kelompok
moderat tidak boleh jadi agen pasif, apalagi abai terhadap tindakan
diskriminatif kelompok ekstrem.
Dalam beberapa tahun terakhir, yang absen
tidak hanya negara, tetapi juga peran publik kelompok Muslim moderat. Bahkan,
kelompok ekstrem yang jumlahnya kecil justru menguasai ruang publik dan
mendikte negara dengan sejumlah agenda yang bertentangan dengan prinsip
kewarganegaraan. Pengalaman Al-Azhar harus menjadi model memperkuat pilar-pilar
kebangsaan. Jika kelompok moderat aktif, kalangan ekstremis akan tenggelam.
Sudah saatnya kelompok Muslim moderat bangkit
merangkul kelompok minoritas serta memastikan bahwa mereka akan senantiasa
dilindungi negara dari berbagai macam intimidasi dan diskriminasi. Kelompok
Muslim moderat harus aktif melakukan peran-peran kultural untuk tegaknya
kesetaraan, keadilan, dan kedamaian. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar