Permen
Pahit Penyiaran
Iswandi Syahputra, KOMISIONER BIDANG INFRASTRUKTUR DAN PERIZINAN
KOMISI
PENYIARAN INDONESIA
Sumber
: KOMPAS, 2
Februari 2012
Baru-baru ini, pemerintah melalui Kementerian
Komunikasi dan Informatika mengeluarkan Peraturan Menteri Nomor 22 Tahun 2011
tentang Penyelenggaraan Penyiaran Televisi Digital Terestrial Penerimaan Tetap
Tidak Berbayar.
Peraturan menteri (permen) tersebut antara
lain mengatur tentang penataan dan persiapan awal migrasi dari sistem penyiaran
analog ke sistem penyiaran digital. Ini seperti permen pahit yang harus ditelan
dunia penyiaran Indonesia, tidak bisa tidak, mau tidak mau, siapa tidak siap,
dunia penyiaran di Tanah Air memang harus masuk dalam sistem siaran digital.
Penyiaran digital mengandaikan satu frekuensi
yang digunakan oleh satu stasiun televisi saat ini dapat menawarkan 12 slot
siaran. Selain itu, teknologi penyiaran berbasis digital tersebut juga
menjanjikan tampilan gambar lebih bersih dan suara yang lebih jernih. Pendek
kata, teknologi siaran digital merupakan proyeksi siaran masa depan yang
menguntungkan siapa saja.
Dalam sistem penyiaran digital dikenal dua
penyelenggara yang berbeda. Pertama, disebut dengan Lembaga Penyiaran
Penyelenggara Penyiaran Multipleksing (LPPPM) yang dapat disebut juga sebagai
penyedia jaringan (networking provider). Kedua, Lembaga Penyiaran Penyelenggara
Program Siaran (LPPPS) yang dapat disebut juga sebagai penyedia konten (content
provider).
Migrasi dari sistem siaran analog ke sistem
siaran digital ini seperti revolusi teknologi yang kelak berimplikasi pada
sektor ekonomi, politik, dan sosial. Revolusi teknologi penyiaran ini mutlak
dilakukan oleh seluruh negara yang tergabung dalam International
Telecommunication Union (ITU), termasuk Indonesia. Ibarat setir kemudi pada bus
kota, peralihan sistem penyiaran ini seperti memindahkan setir mobil dari
semula berada di sebelah kanan dipindahkan ke sebelah kiri.
Perpindahan setir tersebut secara masif tentu
akan berimplikasi pada perubahan banyak hal, seperti perubahan posisi pintu
masuk penumpang, perubahan posisi halte, perubahan kebiasaan menyetir sopir,
perubahan kebiasaan penumpang, dan perubahan rambu lalu lintas, serta perubahan
lain yang menyertainya. Karena itu, peralihan ini bukan persoalan sederhana.
Penataan peralihan ini persoalan fundamental penyiaran masa depan. Sebab itu,
tidak cukup hanya diatur oleh peraturan menteri belaka.
Sebagai hal fundamental dalam menata sistem
siaran, seharusnya pengaturan tentang penyiaran digital diatur dalam sebuah
undang-undang, tidak cukup hanya dengan sebuah peraturan menteri.
Bertentangan
Kendati gagasan pokok migrasi dari sistem
siaran analog ke sistem siaran digital dalam peraturan menteri tersebut dapat
diterima sebagai sebuah keharusan yang tidak dapat dihindarkan, terdapat
beberapa prinsip dalam peraturan menteri tersebut yang bertentangan dengan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.
Pertama, dalam
Undang-Undang Penyiaran hanya diakui empat terminologi lembaga penyiaran, yaitu
lembaga penyiaran swasta (LPS), lembaga penyiaran publik (LPP), lembaga
penyiaran berlangganan (LPB), dan lembaga penyiaran komunitas (LPK).
Namun, Peraturan Menteri Nomor 22 Tahun 2011
tersebut membuat kategori baru berupa LPPPM dan LPPPS. Selain tidak dikenal
dalam Undang-Undang Penyiaran, dua varian baru lembaga penyiaran tersebut, juga
berpotensi menimbulkan polemik hukum di kemudian hari.
Kedua, varian lembaga penyiaran baru dalam
peraturan menteri tersebut berimplikasi pada proses pemberian izin bagi lembaga
penyiaran. Peraturan menteri tersebut mengatur pelaksanaan LPPPM cukup dengan
memperoleh penetapan dari menteri. Padahal, dalam Undang-Undang Penyiaran,
pelaksanaan penyiaran dapat diselenggarakan setelah memperoleh izin berdasarkan
kesepakatan antara Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan pemerintah dalam suatu
forum rapat bersama.
Penetapan dan pemberian izin bagi lembaga
penyiaran tentu merupakan dua hal yang berbeda. Penetapan cenderung berdasarkan
penggunaan kekuasaan yang bersifat otoritatif. Sementara pemberian izin seperti
yang diatur dalam Undang-Undang Penyiaran mensyaratkan adanya partisipasi atau
representasi publik. Hal ini sesuai dengan filosofi dasar frekuensi sebagai
ranah publik.
Dalam perspektif ini, menteri sebagai pihak
yang memiliki otoritas mengeluarkan penetapan bagi LPPPM dapat dinilai
bertindak mengabaikan kepentingan publik.
Ketiga, dalam Undang-Undang Penyiaran
disebutkan bahwa Komisi Penyiaran Indonesia sebagai lembaga negara yang
bersifat independen mengatur hal-hal mengenai penyiaran. Faktanya, dalam penyusunannya,
peraturan menteri tersebut tidak melibatkan Komisi Penyiaran Indonesia yang
memiliki kewenangan untuk mengatur hal-hal mengenai penyiaran.
Bagaimanapun, penyiaran digital tetap
bersandar pada ketersediaan dan penggunaan spektrum frekuensi. Oleh karena
frekuensi untuk penyiaran merupakan sumber daya alam terbatas dan merupakan
kekayaan nasional yang harus dijaga dan dilindungi, dibentuklah Komisi
Penyiaran Indonesia untuk seluruh penyelenggaraan penyiaran. Komisi Penyiaran
Indonesia seharusnya ditempatkan sebagai pemangku kepentingan utama dalam
menata seluruh sistem penyiaran di Tanah Air.
Kepentingan Publik
Industri penyiaran Tanah Air saat ini memang
menjanjikan pertumbuhan yang signifikan. Pertumbuhan tersebut tidak saja
menarik perhatian para investor, tetapi juga mampu mencuri perhatian pelaku
politik domestik. Memasuki era pencitraan saat ini, media massa, khususnya
media penyiaran, menjadi sangat strategis karena memiliki kemampuan membangun
citra dan membentuk opini publik.
Hal ini dinilai jauh lebih efektif dipilih
sebagai sarana membangun citra dan menyusun opini publik mengingat banyaknya
jumlah penduduk dan luasnya wilayah Republik Indonesia. Pada konteks ini, media
penyiaran, terutama televisi, menjadi semacam titik pertemuan antara kepentingan
ekonomi dan kepentingan politik sehingga sulit bagi publik untuk melakukan
penilaian.
Informasi yang disajikan melalui media
penyiaran tersebut sulit diurai apakah informasi itu yang benar-benar
dibutuhkan publik atau kebutuhan informasi yang sengaja diciptakan untuk
pencitraan politik atau pembentukan opini publik.
Dalam perspektif inilah terkadang kepentingan
publik sering diabaikan karena kepentingan ekonomi-politik jauh lebih dominan.
Kondisi ini akan semakin riuh dan gempita saat praktik penyiaran berbasis
digital yang menjanjikan 12 slot bagi LPPPS pada satu frekuensi tersebut justru
akan diterapkan menjelang tahun politik pada 2014 mendatang.
Dapat dibayangkan riuh dan gempitanya
industri penyiaran jika ada enam LPPPM yang menggunakan enam saluran frekuensi
masing-masing menyediakan 12 slot yang disewakan. Maka, sedikitnya ada 72
saluran program siaran pada setiap zona wilayah layanan siaran. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar