Hakikat
Seberkas Makalah Ilmiah
Terry Mart, PENGAJAR FISIKA FMIPA UI
Sumber
: KOMPAS, 21 Februari 2012
Tajuk rencana Kompas, 8 Februari lalu, jernih
dan obyektif membeberkan masalah sebenarnya di balik ”Polemik Sekitar Jurnal
Ilmiah”.
Kita tentu berharap langkah berani Dirjen
Dikti dapat memperbaiki kesalahan masyarakat ilmu kita yang sangat mungkin
telah menjadi penyebab ketertinggalan prestasi kita dibandingkan dengan negara
tetangga. Namun, tulisan Franz Magnis-Suseno yang berdampingan dengan tajuk
rencana tersebut dengan kesimpulan yang sangat berseberangan menggelitik hati
saya untuk mempertanyakan hakikat seberkas makalah ilmiah yang jadi pokok soal.
Saya khawatir hakikat ini telah dilupakan.
Hakikat Makalah Ilmiah
Pada hakikatnya, seberkas makalah ilmiah tak
lebih dari sebuah laporan hasil salah satu kegiatan tridarma perguruan tinggi:
penelitian dalam bentuk ringkas, tetapi padat dan mengikuti kaidah yang telah
disepakati komunitas penelitian itu. Tentu jika ada pelaporan harus ada penerima
dan pemeriksa laporan. Siapa lagi yang kompeten memeriksa laporan itu jika
bukan kolega sejawat dan sebidang yang sangat paham makna hasil penelitian itu.
Karena laporan itu bersifat ilmiah, kebenaran
di dalamnya harus dapat disanggah secara universal, menembus kungkungan negara,
bahasa, bahkan budaya. Itulah tujuan publikasi makalah, terutama publikasi
internasional. Hasil penelitian yang dilaporkan pada akhirnya harus diakui
semua anggota komunitas global sebagai temuan si pelapor jika tak ada lagi, atau
paling sedikit minim, gugatan.
Makalah ilmiah sebagai laporan hasil
penelitian kepada komunitas ilmiah sudah menjadi prosedur baku sejak lebih dari
100 tahun lalu. Boleh dibilang, proses ini telah menjadi bagian integral dari
kegiatan ilmiah, bahkan sudah menghasilkan produk sampingan berupa faktor
dampak, indeks-h, indeks-g, dan sebagainya yang bertujuan mengukur seberapa
penting laporan ilmiah tadi.
Lazimnya para penyandang dana penelitian tak
begitu paham detail hasil penelitian yang mereka danai. Mereka harus
berkonsultasi dengan kolega sejawat peneliti. Cara paling praktis tentu saja
melihat apakah hasil pene- litian itu dapat ”menembus” pemeriksaan ketat kolega
itu: berhasil diterbitkan di jurnal standar komunitasnya. Karena kebenarannya
universal, komunitasnya harus global.
Jika penelitian didanai masya- rakat,
masyarakat yang relatif awam terhadap penelitian itu juga berhak bertanya
apakah dana yang mereka bayar melalui pajak menghasilkan sesuatu yang
bermanfaat. Jika produk penelitian adalah barang jadi yang dapat langsung
dilempar ke industri atau paten, pertanyaan tentang manfaat segera terjawab.
Namun, bagaimana halnya dengan produk berupa
simulasi, metode, teori, pandangan filsafat, atau ideologi baru yang boleh jadi
di negara ini hanya segelintir orang yang mengerti makna pentingnya? Jika hasil
penelitian sudah dimuat di jurnal internasional, para juri jurnal itulah yang
mengambil alih tugas menjawab pertanyaan ini.
Di dekat kota Osaka, Jepang, tersua fasilitas
sinkrotron bernama SPRING8 yang dibangun dengan dana sekitar Rp 12 triliun
dengan biaya operasional per tahun sekitar Rp 1 triliun. Siapa yang menanggung
biaya ini kalau bukan Pemerintah Jepang dan pengguna fasilitas.
Namun, ada kebijakan unik di sana. Jika hasil
penelitian pema- kai fasilitas dipublikasikan, pemakai tak dikenai biaya. Jika
hasil penelitian dirahasiakan, pemakai dikenai biaya yang dihitung per jam!
Unik, tetapi pesannya jelas. Jika dipublikasikan, hasil penelitian menjadi public goods, sudah dipertanggungjawabkan
kepada khalayak. Sementara itu, hasil penelitian yang dirahasiakan akan
selamanya menjadi milik si peneliti. Masuk akal jika ia harus membayar untuk
itu.
Sekarang pertanyaan kita: apa sebenarnya
tujuan penelitian di perguruan tinggi? Karena kegiat- an di perguruan tinggi
adalah proses transfer dan pengembangan ilmu, sejatinya mayoritas penelitian
perguruan tinggi bersifat pengembangan ilmu yang cakupannya sangat spesifik,
hanya diketahui segelintir manusia di negara ini. Maka, agar kebenaran hasilnya
dapat diperiksa, ia harus dipublikasikan (secara internasional).
Ironisnya, mayoritas masyarakat perguruan
tinggi kita sudah lama dan terbiasa meninggalkan budaya ilmiah ini. Contoh
paling jelas, meski akhir-akhir ini sudah mulai dikurangi, produk sebuah
penelitian cukup berupa laporan tebal plus laporan keuangan. Kalaupun ada
review hasil penelitian, sudah lazim pula jika pelakunya tak sebidang dan tak
tahu persis apakah hasil penelitian yang dilaporkan bermakna saking spesifiknya
penelitian itu. Itulah pola yang sudah berlangsung lama dan telah membuat kita
terjebak dalam ketertinggalan ilmu yang sangat parah.
Tak perlu digugat lagi betapa banyak manfaat
publikasi ilmiah, terutama publikasi internasional: klaim hak cipta,
mempercepat pengembangan ilmu, mencegah plagiarisme, membangun komunikasi dan
kerja sama ilmiah, menjaga mutu penelitian dan lulusan perguruan tinggi, serta
menjaga eksistensi peneliti Indonesia di komunitasnya.
Yang terakhir ini juga penting sebab saya
sering menghadapi sapaan basa-basi saat berkenalan dengan kolega dari negara
maju: ”Oh, you are from Indonesia! Nice
to meet you, I’ve never seen an Indonesian scientist is working in this field
before.”
Publikasi Mahasiswa?
Menulis makalah di sebuah jurnal ilmiah
merupakan bagian integral dari proses pengembangan ilmu. Jadi, harus juga
dikenalkan kepada mahasiswa. Mereka yang pernah mengenyam pendidikan S-3 di
negara maju tahu persis bahwa hampir semua tesis di sana dipublikasikan di
jurnal internasional. Hal ini sudah berlaku di negara tetangga.
Untuk program S-2, kondisinya berbeda. Di
Inggris, S-2 dapat ditempuh tanpa tesis. Di Jerman, isi sebuah Diplomarbeit
umumnya dapat dipublikasikan di jurnal internasional karena dikerjakan secara
serius selama satu tahun.
Bagaimana dengan S-1? S-1 unik karena ia
bukan tingkat bachelor ataupun master. Karena S-1 merupakan bagian formal dari
institusi ilmiah, budaya ilmiah pun sepatutnya diterapkan meski tingkat
penerapannya berbeda dengan S-2 dan S-3. Jika tidak, kita harus berhenti
menganggap seorang sarjana berbeda dengan lulusan sekolah vokasi.
Sebagai kesimpulan, usul Franz Magnis-Suseno
agar Dikti membuka perwakilan di Timor Leste untuk memfasilitasi pembuatan
jurnal internasional ala Indonesia jelas salah besar. Justru kewajiban kita
membuat publikasi mahasiswa S-3 memenuhi kualitas standar jurnal internasional
yang sudah mapan sehingga mutu lulusan S-3 kita tak perlu dipertanyakan.
Selama ini kita dan generasi pendahulu kita
sudah membuat kesalahan besar dalam pengembangan budaya ilmiah di perguruan
tinggi yang, jika tak segera dibenahi, akan meruntuhkan bangunan peradaban
bangsa ini. Pembenahan harus multilevel, bahkan mungkin dari tingkat pendidikan
anak usia dini sekalipun. Namun, jelas pembenahan harus mulai dari detik ini.
Jangan menunggu lagi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar