Kontroversi
Bahasa Cia-cia Indonesia
Maryanto, PEMERHATI
POLITIK BAHASA
Sumber
: KORAN TEMPO, 21 Februari 2012
Bahasa ibu--yang momentum historisnya berawal
dari bahasa Bengali di Bangladesh (dulu Pakistan Timur) pada 21 Februari
1952--mudah menyulut kontroversi atas trikotomi bahasa: Indonesia, daerah, dan
asing. Kontroversi bahasa ini tidak main-main ketika bahasa (daerah)
Cia-cia--yang diakui sebagai sebuah bahasa ibu di Baubau, Buton, Sulawesi
Tenggara--tidak diindonesiakan. Malah bahasa daerah ini diasingkan dengan
bahasa Korea.
Dalam bahasa Cia-cia sekarang sudah berlaku
sistem bahasa Korea. Ortografi Hangeul Korea dipilih dengan dalih menyelamatkan
bahasa ibu suku Cia-cia yang dianggap terancam punah karena keberadaan bahasa
Indonesia. Bukan hanya oleh warga suku minoritas seperti Cia-cia, tapi juga
warga suku mayoritas di Indonesia (suku Jawa dan Sunda), bahasa Indonesia
sering dipandang sebagai musuh bahasa daerah kesukuan dan dilihat pula sebagai
pemusnah bahasa ibu. Sebaliknya, khusus oleh suku Cia-cia, bahasa asing (Korea)
dianggap sebagai penyelamat bahasa ibu.
Jika penyelamatan bahasa ibu ala perencanaan
bahasa daerah ini berhasil di Sulawesi Tenggara, anak-anak suku Cia-cia akan
bangga menyebut dirinya penutur bahasa Cia-cia Korea, bukan bahasa Cia-cia
Indonesia atau bahasa Indonesia Cia-cia. Sangat kontroversial kebijakan bahasa
daerah yang ditempuh tak searah dengan semangat bahasa persatuan Indonesia ini.
Perdebatan bahasa Cia-cia perlu dihadirkan pada saat Indonesia ikut merayakan
Hari Bahasa Ibu, pada 21 Februari 2012.
Kecolongan
Dalam berbagai perbincangan bahasa ibu,
bahasa Indonesia sudah kehilangan momentum terbentuknya bahasa persatuan.
Perkembangan wacana bahasa ibu--baik di kalangan masyarakat pengguna maupun
peneliti bahasa--terus menyuburkan sentimen kedaerahan yang paralel dengan
kendurnya ikatan kebangsaan Indonesia. Menguatnya sentimen kedaerahan ini sudah
melemahkan posisi bahasa Indonesia. Sekarang nyaris hilang gagasan bahasa
persatuan untuk mewadahi keanekaragaman linguistik bangsa Indonesia.
Cerita pun berlanjut. Kabar bahasa Indonesia
ditolak masuk dalam perbincangan bahasa ibu tidak hanya datang dari Kongres
Bahasa Jawa (baca Koran Tempo, 7 Januari 2012). Pada Kongres Bahasa
Sunda--termasuk yang tahun lalu berlangsung untuk yang kesembilan--bahasa
Indonesia juga tidak punya suara. Seorang kawan--peneliti bahasa
Indonesia--mengaku sangat kecewa ketika tidak boleh berpendapat dengan
berbahasa Indonesia dalam sebuah diskusi bahasa (daerah) Sunda.
Cerita hilangnya ideologi bahasa persatuan
berlangsung ketika wacana bahasa ibu sebesar daerah Jawa dan Sunda itu tidak
pernah memakai konteks bahasa Indonesia sebagai wadah berafiliasi. Wadah bahasa
persatuan Indonesia juga tersingkir dari wacana bahasa ibu daerah lain ketika
penutur bahasa Cia-cia memilih berafiliasi dengan bahasa Korea. Kabar
kontroversi bahasa Cia-cia ini mencuat pada 2009, setelah Wali Kota Baubau
menyambut positif rayuan pemerintah Korea.
Chun Thai Yun, seorang guru besar
berkebangsaan Korea, adalah orang yang berinisiatif menggabungkan bahasa
Cia-cia dengan bahasa Korea. Dengan penggabungan bahasa ini, investor dan turis
Korea dijanjikan akan berdatangan ke daerah Baubau. Pemerintah Baubau pun
tergiur mendapatkan keuntungan ekonomi. Pihak yang mendukung afiliasi bahasa
ini berpegang teguh pada alasan bahwa masyarakat penutur bahasa Cia-cia
memerlukan perbaikan kehidupan ekonomi.
Afiliasi bahasa Cia-cia dengan bahasa Korea
ditolak oleh pihak yang beralasan bahwa pembentukan bahasa Cia-cia Korea
merupakan kegiatan penjajahan model baru. Alasan ini bisa dirujukkan pada teori
geolinguistik Mackey (1973), yang menyebutkan bahwa iming-iming keuntungan
ekonomi biasa digunakan untuk menanamkan kekuasaan bahasa tertentu agar
tersebar ke luar wilayah induk penutur aslinya. Cara lain penyebaran bahasa
penjajahan bisa ditempuh melalui kekuatan perang (militer), yang pada saat
sekarang ini (belum tentu pada era generasi mendatang) tidak mungkin dilakukan
di daerah Indonesia, termasuk di daerah Sulawesi Tenggara.
Kontroversi bahasa Cia-cia tentu merupakan
pelajaran sangat berharga bagi bahasa persatuan Indonesia. Perlu terus
diselisik sebab dan musabab mengapa bahasa Indonesia tidak dipilih sebagai
wadah afiliasi bahasa daerah ini. Fakta tergabungnya bahasa Cia-cia dengan
bahasa Korea membuktikan agen pelembagaan bahasa Indonesia belum optimal
difungsikan di daerah Sulawesi Tenggara. Fakta lain menunjukkan setiap
pemerintah daerah sudah bisa melepas tanggung jawab mengurus bahasa Indonesia,
karena urusan bahasa persatuan ini hanya tanggungan pemerintah pusat.
Pemilihan bahasa Korea demi penyelamatan
bahasa ibu daerah Cia-cia merupakan bukti penegasan sikap masyarakat Indonesia
sendiri yang sekarang bertabiat lebih menghargai bahasa asing daripada bahasa
Indonesia. Di luar daerah penuturan bahasa Cia-cia pun, penghargaan terhadap
bahasa Indonesia cenderung merosot. Jika kecenderungan ini terus berlanjut dari
generasi ke generasi, bangsa Indonesia bakal mengalami kecolongan terbesar.
Pendidikan
Dukungan atas afiliasi bahasa Cia-cia dan
Korea meluas tidak hanya terbatas untuk perbaikan kehidupan ekonomi, tapi juga
untuk peningkatan mutu pendidikan. Pihak yang menolak bahasa Cia-cia Korea
beralasan bahwa tidak benar mutu pendidikan masyarakat penutur Cia-cia akan
meningkat. Afiliasi bahasa ini justru akan membuat pendidikan rakyat Cia-cia
terpuruk dan tertinggal. Dengan afiliasi bahasa ini, ketika masuk sekolah, anak
daerah suku Cia-cia akan terisolasi dari anak daerah lain.
Pendidikan anak sekolah yang sekarang
dirancang berbasis karakter Hangeul Korea hanya akan menyulitkan anak daerah
suku Cia-cia. Bisa dibayangkan betapa sulit bagi anak kalau apa yang secara
nasional disebut "sekolah" itu dipaksa tertulis |||. Sementara itu,
anak Cia-cia terbiasa menuturkan sigola. Mereka juga akan merasa asing
dan terpaksa membaca tulisan || untuk bentuk kata boku di daerah Cia-cia
atau kata buku yang sudah berlaku antardaerah di Indonesia.
Afiliasi bahasa Cia-cia dengan bahasa Korea
tidak akan membentuk ikatan bahasa Cia-cia dengan bahasa Indonesia. Padahal
sudah terbuka ruang budaya masyarakat untuk mewujudkan bahasa (persatuan)
Cia-cia Indonesia. Masukkan saja, sekadar contoh, bentuk tuturan sigola
dan boku, ke dalam satu ruang budaya berbahasa Indonesia. Ketika bentuk
bahasa Cia-cia itu bersatu dengan bentuk kata sekolah dan buku,
perbedaan (bunyi segmental atau suprasegmental) tuturan seperti itu perlu
dihargai sebagai khazanah keanekaragaman linguistik pada bahasa Indonesia
(lokal) Cia-cia. Keanekaragaman itu jalan terbaik untuk transisi kebahasaan
menuju pencapaian tujuan pendidikan nasional.
Pendidikan Indonesia yang dikelola oleh
pemerintah daerah Baubau sekarang sudah membuka ruang budaya baru untuk
membentuk bahasa Cia-cia Korea. Patut disayangkan--di tengah maraknya program
pembudayaan karakter bangsa Indonesia, tentunya termasuk karakter berbahasa
Indonesia--pengelolaan pendidikan itu kontraproduktif. Pendidikan yang berbasis
bahasa ibu itu akan tetap kontroversial. Mengapa bahasa Cia-cia Korea? Mengapa
bukan bahasa Cia-cia Indonesia?
Anak-anak suku Cia-cia sekarang memang tidak
berkarakter atau bertabiat seperti penutur bahasa Bengali, yang pernah berjuang
menuntut kemerdekaan bahasa ibu dari Pakistan. Pakistan juga bukan Indonesia.
Namun, jika pemerintah Indonesia gagal mengelola kontroversi bahasa Cia-cia,
tidak mustahil tuntutan berbahasa ibu ala Cia-cia Korea itu makin liar. Penutur
bahasa itu pun bisa jadi nakal dan bengal! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar