Jumat, 09 Juli 2021

 

Uang Digital Bank Indonesia

Suryatin Setiawan ;  Konsultan Digitalisasi dan Komisaris TelkomTelstra

KOMPAS, 29 Juni 2021

 

 

                                                           

Judul di atas bukan dari Bank Indonesia (BI) tetapi dari angan-angan saya yang muncul setelah menyadari bahwa di tahun 2020 sudah ada 60 negara, atau 80 persen lebih bank sentral di dunia yang sudah mulai setuju, menyiapkan atau melakukan uang digital yang di terbitkan oleh bank sentral (central bank digital currency/CBDC).

 

Momentum CBDC saat ini dipacu oleh China yang sudah mulai menyiapkan diri sejak 2014 ketika uang kripto Bitcoin mulai mendapat perhatian di China. Pada 2020, e-Yuan sudah diuji coba di beberapa kota dan ambisi Pemerintah China berikutnya adalah pada saat Olimpiade Beijing 2022, e-Yuan sudah dapat dipakai bahkan oleh para turis.

 

China diduga ingin mematahkan dominansi global dollar AS sampai saat ini dan sebagai kekuatan ekonomi nomor dua, China punya potensi untuk itu. Di tengah ketegangan antara China dan AS yang memuncak saat ini ambisi e-Yuan itu sangat mungkin makin membesar.

 

Langkah China sudah juga resmi diikuti oleh bank sentral Jepang, dua kekuatan besar ekonomi sudah melangkah dan menjadi dorongan lebih besar seluruh ekonomi untuk menyiapkan diri, termasuk Bank Indonesia (BI), karena CBDC kini hanya soal waktu saja.

 

Faktor penyulut

 

Penyulut awal semua ini adalah Bitcoin yang ikhtiarnya muncul dari tokoh misterius ‘Satoshi Nakamoto’ sebagai sikap berontak atas kegagalan sistem keuangan dunia tahun 2008 maka lahirlah teknologi spektakular yang dikenal dengan nama Blockchain yang ternyata potensinya merambah luas di luar soal uang.

 

Sensasi terakhir yang muncul dari Blockchain adalah NFT (non fungible token, atau cara sertifikasi aset digital yang bersifat unik dan tak bisa dipalsukan atau ditukarkan), berupa seni digital oleh artis Amerika Serikat (AS) Beeple yang laku dijual senilai 69 juta dollar AS!

 

Seni atau aset digital lain, mudah sekali digandakan dan disebarkan dan karenanya versi asli atau originalnya disertifikasi dengan NFT sehingga bisa menjadi sangat bernilai.

 

Bitcoin pada tahun 2010 terbukti bisa dipakai sebagai alat bayar (ditukar dengan pizza) namun demikian kini lebih bersifat aset spekulatif yang diperdagangkan, yang pada April 2021 mencapai nilai 63.000 dollar AS per Bitcoin.

 

Karena sifatnya yang fluktuatif, cara menerbitkannya yang unik atau sangat engineering dan memakan energi listrik dan komputasi yang besar sekali serta ada batas maksimal jumlah Bitcoin yang bisa ada di muka bumi ini maka Bitcoin tak bisa jadi alat bayar normal.

 

Penyulut kedua CBDC adalah Facebook yang memunculkan konsep uang digital dunia dengan nama Libra yang berbeda dengan Bitcoin, Libra dijamin oleh cadangan aset sehingga nilainya lebih stabil dan cara pengelolaannya tidak berdasar demokratisasi total melainkan diawasi oleh sebuah konsorsium dengan berbagai institusi swasta yang ternama sehingga lebih mendekati sifat uang normal.

 

Tentu saja Libra membangkitkan kecemasan baru bagi semua bank sentral dan mendapat hadangan sangat keras dari otoritas. Lalu, Libra surut dan melunak serta lahir kembali dengan nama Diem.

 

Dengan latar belakang itu maka wajarlah jika BI juga sudah memulai menyiapkan diri untuk bisa melahirkan e-Rp atau e-IDR, mata uang digital resmi Indonesia yang diterbitkan dan dijamin serta dikendalikan oleh BI.

 

Sesungguhnya daya tarik CBDC bagi bank sentral itu jelas sekali, di antaranya adalah bahwa CBDC lebih hemat karena tidak usah dicetak khusus agar sulit dipalsukan dan tidak bisa lusuh untuk diganti yang baru (tantangan nyata bagi Peruri).

 

Selain itu, mudah sekali melacak semua transaksi (privasi data jadi isu tambahan) dan uang digital ini tetap inklusif di era ekonomi digital karena bisa dipakai oleh publik yang tidak punya rekening bank.

 

Masyarakat Indonesia, khususnya di kota besar, sudah dibiasakan melakukan pembayaran digital melalui berbagai platform digital swasta sehingga kemudahan uang digital bukan lagi jadi barang baru.

 

Rancang bangun e-IDR

 

Desain e-IDR kemungkinan besar mengambil pendekatan tetap menjaga kestabilan ekosistem keuangan nasional. Membuat semua bank komersial tetap bisa beroperasi walaupun akan ada beberapa perubahan sebab dengan CBDC teoretis, kalau BI mau, setiap WNI dapat bertransaksi langsung dengan BI juga.

 

BI rasanya akan menjaga agar simpanan uang di bank komersial tetap normal dan tetap dengan suku bunga, tidak seperti uang kripto. e-IDR didapat publik dari menukarkan simpanan di rekening lalu e-IDR bisa ditransaksikan melalui aplikasi e-IDR yang dikeluarkan dan dikelola oleh BI langsung. Aplikasi pembayaran digital swasta tentu juga akan menerima transaksi e-IDR.

 

Era e-IDR yang inklusif tadi diwujudkan dengan token digital yang bisa ditransaksikan langsung dari orang ke orang melalui dompet digital di telepon seluler masing-masing.

 

Peredaran token ini biasanya hanya untuk transaksi jumlah terbatas saja karena transaksi peer-to-peer semacam ini tidak lewat aplikasi bank sentral ataupun swasta (walaupun registrasi awal mungkin diharuskan) sehingga tidak bisa ditelusuri dengan mudah. Akan rawan kalau jumlah transaksi token tidak dibatasi.

 

Token digital juga tentu akan jadi sasaran pemalsuan dan benar harus dijaga agar ‘uang token digital palsu’ tidak terjadi. Pemalsuan uang digital dampaknya bisa jauh lebih spektakuler dari uang kertas atau koin palsu karena masif dan lebih sulit dikenali secara awam. Peruri bisa punya peran lagi dalam soal ini.

 

E-IDR kelihatannya juga akan menggunakan sebagian dari teknologi Blockchain dan juga mengadopsi versi modifikasi dari Teknik DLT (distributed ledger technology) yang dipakai uang kripto, seperti halnya Diem.

 

Artinya, tidak hanya BI yang secara sendiri mengawasi dan menjamin semua transaksi e-IDR sah dan legal melainkan dilakukan bersama-sama dengan berbagai lembaga yang diberi otoritas untuk ikut serta mengoperasikan simpul komputasi di dalam jaringan DLT e-IDR. Para bank komersial, misalnya, bisa ikut menjadi authorized DLT node operator sehingga bersama BI memberikan jaminan keamanan transaksi e-IDR.

 

Cara distributed governance ini lebih disukai publik di era CBDC karena lebih memberikan rasa yakin dan aman. Berbeda dengan kalau jaminan keamanan transaksi hanya dilakukan oleh BI semata.

 

Bisa diduga BI akan menjadi inisiator persiapan e-IDR dan melibatkan berbagai pihak termasuk praktisi teknologi agar bisa terwujud dengan aman dan baik. BI akan yang terdepan namun para pemangku kepentingan (stakeholder) sebaiknya bisa diajak mewujudkan e-IDR ini. Melihat derasnya dorongan global, saya memperkirakan e-IDR mungkin bisa menjadi kenyataan pada 2025.

 

Publik tak usah juga khawatir, sebab CBDC e-IDR dan juga semua CBDC tidak akan pernah menggantikan sepenuhnya uang normal yang ada karena banyak pertimbangan, termasuk misalnya pengguna uang yang masih di bawah umur, penyandang cacat, mereka yang tidak punya akses teknologi yang juga punya hak bertransaksi sama dengan yang lain sebagai warga negara. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar