Sabtu, 10 Juli 2021

 

Mewujudkan Islam yang Toleran

Ulil Abshar-Abdalla ;  Cendekiawan Muslim dan Dosen Pascasarjana di Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia), Jakarta

KOMPAS, 2 Juli 2021

 

 

                                                           

Perkembangan menarik berlangsung sekitar 10 hingga 20 tahun terakhir dalam percakapan Islam di Indonesia. Yaitu, munculnya kesadaran tentang pentingnya identitas keislaman yang khas di kawasan ini vis-a-vis Islam yang dibentuk oleh budaya Arab atau Timur Tengah.

 

Kesadaran ini, dugaan saya, adalah bagian dari bangkitnya gejala ”politik identitas” dalam arti luas di seluruh dunia dalam periode pasca-Perang Dingin. Perkembangan ini semacam echo dari perkembangan serupa di dunia luar. Dengan mengatakan ini, bukan berarti saya menolak aspek ”organis” di dalamnya.

 

Artinya, saya tetap mengakui bahwa perkembangan ini toh ditentukan juga oleh dinamik kebudayaan yang berlangsung di kawasan Indonesia sendiri, tak semata-mata didikte oleh echo atau pengaruh dari luar. Mungkin pandangan yang lebih adil adalah melihat perkembangan ini sebagai resultante, hasil dari jadaliyyah, dialektik, hubungan dua belah pihak antara pengaruh luar dan dinamika dari dalam negeri sendiri.

 

Secara ”epistemologis”, saya memang kurang menggemari cara pandang yang melihat semua hal yang berlangsung di ”dalam” negeri sebagai semata-mata ”gaung” saja dari pengaruh ”luar”, seolah-olah (sebut saja) ”bangsa pribumi” tidak punya ”agency”, kendali, dan otonomi dalam ”menciptakan” sejarahnya sendiri. Setiap peristiwa sejarah, di mana pun, pasti merupakan hasil dari pertemuan antara ”kehendak subyektif” dan ”kenyataan obyektif” yang berdiri di luar sana.

 

Kembali kepada pokok soal tadi: munculnya kesadaran tentang pentingnya menegaskan identitas keislaman yang khas Indonesia/Melayu ini, antara lain melalui wacana tentang ”Islam Nusantara”, jelas ada kaitannya dengan perkembangan dalam negeri kita sendiri.

 

Banyak perkembangan domestik yang bisa disebut, tetapi salah satu yang penting adalah ini: munculnya kelompok-kelompok Islam baru, umumnya setelah era Reformasi, di bawah pimpinan sosok-sosok ”habaib” (tentu saja keturunan Arab) dan membawa pemahaman Islam yang cenderung ”keras” dan kontradiktif dengan corak Islam yang sudah mapan dan mengakar di Indonesia.

 

Corak Islam yang berkembang dan mengakar di Indonesia digambarkan sebagai bentuk yang lebih mempribumi; mampu beradaptasi, bahkan berasimilasi dengan kebudayaan lokal. Islam semacam ini lebih ”rooted”, menghunjam dalam di dalam pengalaman setempat, bukan Islam yang ”dipaksakan” dari luar.

 

Munculnya kelompok-kelompok Islam ”baru” yang cenderung keras itu dipandang sebagai ”bentuk asing” yang tidak bersahabat dengan kultur lokal. Karena itu, ia cenderung dilihat sebagai ”ancaman” atas Islam yang khas Indonesia. Polarisasi Islam Arab vs Islam non-Arab yang muncul dalam percakapan publik belakangan adalah gambaran saja dari perkembangan ini. Kehendak menegaskan ”identitas setempat” kemudian menciptakan ”yang lain” yang dipandang sebagai ancaman.

 

Tulisan ini saya ketengahkan sebagai tinjauan kritis atas perkembangan tersebut. Di satu pihak, saya menyambut baik munculnya kesadaran tentang identitas Islam yang khas Indonesia. Namun, di pihak lain, saya agak kurang ”sreg” dengan sentimen yang cenderung anti-Arab yang tampaknya merupakan ekses dari bangkitnya kesadaran semacam itu.

 

Saya menyambut positif yang pertama, seraya kurang menyetujui yang kedua. Sentimen anti-Arab jelas bukanlah perasaan yang sehat. Sebab, hal ini tak lain adalah sebentuk prasangka sosial yang ”derisive”, merendahkan kelompok lain. Ini adalah bentuk dari sikap ”otherizing”, melainkan yang-lain yang pernah dikritik keras oleh intelektual besar asal Palestina, Edward Said, dalam karyanya yang masyhur, Orientalism.

 

Identitas Islam

 

Bangkitnya kesadaran tentang identitas Islam yang khas Indonesia, bagi saya, perlu disambut dengan baik setidaknya karena dua alasan. Pertama, ada kecenderungan selama ini untuk melihat Islam yang ”murni” adalah Islam sebagaimana hadir dalam ”bungkus” kebudayaan Arab. Bentuk-bentuk Islam yang lain dianggap kurang ”murni”, tidak otentik, dan karena itu dipandang ”less Islamic”. Praktik-praktik Islam yang ada di dan khas Indonesia dianggap kurang sesuai dengan ajaran ortodoks Islam.

 

Lebih jauh lagi ada asumsi ”tersembunyi” bahwa Islam yang layak ”diamati” dan diperhatikan, ya, hanya Islam yang ada di Timur Tengah. Islam yang ada di kawasan Nusantara adalah ”Islam pinggiran” yang secara ontologis memiliki kedudukan yang lebih ”rendah”.

 

Pandangan semacam ini bahkan juga ada di kalangan sarjana Barat yang mengkaji Islam (biasa disebut sebagai ”Islamisis”). Hingga sekarang ini, masih sulit kita jumpai pusat kajian tentang ekspresi Islam di kawasan Nusantara di dunia akademi di Barat. Kalaupun ada, jumlahnya masih kalah jauh dibandingkan dengan pusat-pusat kajian yang mengkaji corak Islam di dunia Arab. Departemen yang mengkaji pokok ini biasa disebut NELC, Near Eastern Languages and Civilizations.

 

Di dunia Arab, pusat kajian semacam ini nyaris nihil, seolah-olah di mata sarjana Arab, Islam yang ada di Indonesia dianggap ”non-existent”, tidak ada sama sekali.

 

Saya sebenarnya memendam kejengkelan yang mendalam atas absennya perhatian pada corak Islam yang berkembang di Indonesia atau Asia Tenggara di kalangan para sarjana Arab ini. Bagi saya, ini menandakan adanya ”cacat epistemologis” dalam praktik keilmuan dan kesarjanaan mereka.

 

Sementara sarjana Muslim Indonesia sangat bersemangat mengkaji Islam Arab, perhatian serupa tak ada dari pihak sarjana-sarjana Timur Tengah. Tidak ada minat yang resiprokal; ibarat cinta yang bertepuk sebelah tangan!

 

Islam Nusantara

 

Hadirnya wacana Islam Nusantara, bagi saya, memiliki kedudukan penting dari aspek penegasan ”agency”, kemandirian umat Islam yang hidup di luar ”ruang pengalaman” non-Arab untuk mendefinisikan keislaman mereka sendiri. Selama ini, pengalaman semacam ini cenderung dinihilkan, diremehkan. Kesadaran tentang identitas Islam yang khas Indonesia (atau Asia Tenggara) adalah semacam manifesto: bahwa ada lho corak Islam yang lain.

 

Yang lebih penting lagi adalah kesadaran bahwa corak Islam yang demikian itu juga tidak kalah validnya dengan corak Islam di negeri asalnya sendiri. Munculnya penolakan keras atas apa yang disebut ”ideologi Islam trans-nasional” yang digaungkan intelektual nahdliyyin dan lain-lain 10 tahun terakhir, bagi saya, adalah ungkapan saja dari sebuah aspirasi bahwa Islam yang berasal dari pengalaman ”pribumi” setempat adalah valid, sah.

 

Akan tetapi, segala sesuatu cenderung memiliki ekses. Ini kecenderungan yang saya pandang alamiah dan manusiawi. Namun, karena mengandung bahaya, tetap harus dikritik.

 

Ekses itu ialah munculnya semacam ”rasisme tersembunyi” terhadap bangsa Arab dan segala ekspresi kultural yang berwarna Arab.

 

Saya kira, salah satu sebabnya adalah ini: wacana Islam lokal ini hadir ke tengah-tengah publik sebagai bagian dari kontestasi politik, sebagai (sebut saja) salah satu ”kubu” dalam pertarungan antara apa yang disebut ”kubu kebinekaan” dan ”kubu pro-Pancasila”. Secara populer, hadirnya dua kubu ini ditandai dengan polarisasi biner antara ”kadrun” versus ”cebong”.

 

Dalam hal ini, kita menyaksikan betapa toksik dan beracunnya politik elektoral dalam membentuk opini publik. Menurut saya, ini racun yang harus segera dihentikan dan dicari antidote-nya. Saya setuju dengan hadirnya wacana Islam yang khas budaya lokal, tetapi saya tidak bisa mengamini sentimen anti-Arab yang menyertainya. Saya mulai melihat sentimen ini muncul ke tengah-tengah percakapan publik, baik dalam konteks yang populer di media sosial atau yang serius di dunia akademia. Sentimen semacam ini jelas sangat tidak sehat.

 

”Demonisasi”

 

Menarik garis demarkasi yang terlalu tegas antara ”Islam domestik” dan ”Islam impor”, sebagaimana kita baca dalam seloroh-seloroh populer, harus dipandang dengan sikap kritis.

 

Mula-mula garis ini dibuat dengan niat yang boleh jadi valid: untuk menegaskan validitas identitas Islam lokal. Akan tetapi, jika penggarisan ini melewati batas, lalu menimbulkan sentimen negatif untuk melakukan ”demonisasi”, penghantuan atas segala hal yang berasal dari ”luar” (Islam atau agama impor, misalnya), jelas berbahaya.

 

Bagaimanapun, Islam, baik sebagai doktrin atau peradaban, tidak bisa dipisahkan dari pengalaman panjang yang berkembang di tanah Arab dan sekitarnya. Peradaban literer atau susastra dalam bentuknya yang luas, termasuk buku-buku fikih yang banyak diajarkan di lembaga-lembaga Islam di seluruh tanah Nusantara, berasal dari dan ditulis oleh sarjana-sarjana besar dari Arab (juga Persia).

 

Suka atau tidak suka, apa yang disebut ”lapisan-lapisan geologis” (meminjam istilah sejarawan besar Perancis, Denys Lombard) dalam peradaban Nusantara untuk sebagian dibentuk oleh peradaban tekstual yang berasal dari tanah Arab. Peradaban ini telah memperkaya tekstur peradaban di tanah Nusantara.

 

Sekali lagi, menegaskan identitas Islam setempat patut disambut dengan baik. Akan tetapi, penegasan identitas yang dibarengi dengan sikap anti-Arab jelas tidak sehat. Seluruh percakapan dan argumentasi keislaman yang dipakai dalam menjustifikasi hadirnya Islam lokal ini memakai kitab-kitab dan literatur yang berasal dari peradaban Islam yang berkembang di Timur Tengah.

 

Bahkan, argumen untuk menerima eksistensi negara Indonesia sebagai ”dar al-salam/dar al-’ahd”, negara damai yang tak mengenal pembedaan antara warga Muslim dan non-Muslim, juga hampir semuanya bersumber pada literatur yang ditulis sarjana Arab. Jadi, amat ironis jika identitas keislaman lokal ini ditegakkan sambil mencibir kearaban. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar