Kabar
dari India Linda Christanty ; Sastrawan dan Pegiat Budaya |
KOMPAS, 10 Juli 2021
Kekhrievoü Yhome tidak
mirip perempuan India pada umumnya. Kulitnya terang. Matanya agak sipit. Ia
mengenakan mekhala, kain tenun khas Nagaland, bukan sari. Kami bertemu di Guwahati,
ibukota negara bagian Assam, untuk menghadiri diskusi sastra pada akhir 2010.
Saya terbang dari Banda Aceh. Khrievoü, sapaam Kekhrievoü Yhome, naik bus
selama enam jam dari Kohima, ibukota negara bagian Nagaland. Persahabatan saya dan
Khrievoü terjaga melalui surat elektronik, pesan WhatsApp, percakapan telepon
dan video. Pada 9 April 2020, ketika
dunia sudah digerogoti virus Covid-19, Khrievoü mengatakan Kohima aman. Sebulan
kemudian kasus pertama ditemukan di Nagaland. Sekarang lebih 25 ribu orang
terinfeksi virus ini di Nagaland, yang dihuni sekitar 2,3 juta jiwa. Tingkat
kesembuhan masih 93 persen. Di Assam, jumlah orang terinfeksi melebihi 500
ribu dari 36 juta jiwa dan 94 persen pulih. India menjadi negara ketiga di
dunia, setelah Amerika Serikat dan Brazil, yang memiliki kasus corona
terbanyak. “Kebijakan pemerintah
selanjutnya, tidak divaksin tidak digaji, tidak bisa berbisnis dan tidak bisa
bepergian,” kata Khrievoü. Kebijakan pemerintah di masa pandemi kadang
terdengar seperti penghukuman. Ia hanya ingat nama dua
jenis vaksin, yaitu Covishield dan Covaxin. AstraZeneca di India disebut
Covishield. Vaksin aktif ini terbuat dari virus flu simpanse yang dimodifikasi.
Covaxin dibuat perusahaan bioteknologi di India, Bharat Biotech, yang bekerja
sama dengan Dewan Penelitian Medis India dan Institut Virologi Nasional. Ini
jenis vaksin tidak aktif, yang berbahan virus mati dan bebas efek patologis,
tetapi sanggup memerintah sistem kekebalan tubuh manusia melawan virus.
Selain itu, ada Remdesivir atau obat antivirus untuk mengobati pasien dewasa
hingga anak berusia di atas 12 tahun. Namun, Organisasi Kesehatan Dunia
melarang penggunaan Remdesivir, dengan alasan tidak efektif. “Setiap hari saya berdoa
untuk penduduk di seluruh dunia yang sedang susah,” ujar Khrievoü di telepon.
Ia menganut Kristen Baptis. Ayah dan ibunya petani
kecil. Suku mereka, Angami Naga. Bahasa ibu Khrievoü adalah Bahasa Tenyidie.
Lima suku penutur Bahasa Tenyidie di Nagaland disebut Tenyimia, yaitu Angami,
Chakhesang, Rengma, Pochury, dan Zeliang. Khrievoü menulis 15 buku dalam
Bahasa Tenyidie. Beberapa menjadi bahan bacaan siswa di sekolah menengah.
Novel pertamanya, Azuo Kekhrie Menguyalie (1999), diterjemahkan dalam Bahasa
Inggris dengan judul, Longing for My Mother’s Love (2005). Sebelum pandemi Covid-19,
hubungan antar pemeluk agama semakin memanas di India. Perdana Menteri
Narendra Modi dari Partai Bharatiya Janatha telah mengubah libur Hari Natal
menjadi Hari Pemerintah Baik sejak tujuh tahun lalu. Gerakan perobohan masjid
oleh ekstremis Hindu berlangsung di mana-mana. Belum lama ini Masjid Badi di
Padua, Odisha, hendak dirobohkan, karena dianggap sebagai situs kuil pemujaan
Dewi Shrinkhala Devi. Salah satu peristiwa
paling berdarah dalam sejarah demokrasi di India adalah aksi penghancuran
Masjid Babri di Ayodhya, Uttar Pradesh, pada 6 Desember 1992. Masjid ini
dibangun pada abad ke-16. Massa aksi diperkirakan mencapai seratus ribu
orang. Beberapa pemimpin Vishva Hindu Parishad dan Partai Bharatiya Janata
ditangkap, karena terlibat. Aksi-aksi kekerasan dan pembalasan menjalar ke
sejumlah kota. Sekitar 2.000 orang meninggal. NS Madhavan, seorang
penulis dalam bahasa Malayalam, menggambarkan kecemasan, kecanggungan, dan
empati manusia yang dipicu peristiwa ini dalam cerita pendeknya, “Thiruthu”
(“Pensil Biru”) pada 1993. Pensil biru merupakan sebutan untuk pensil editor
saat mengoreksi naskah berita. Tokoh cerita Madhavan,
Chulliat, pemimpin redaksi sebuah suratkabar, memutuskan pulang cepat, karena
demam di hari peristiwa Ayodhya. Ia pun mengunjungi Dokter Iqbal, putra
sahabatnya Masood, teman seperantauan dulu di Inggris. Chulliat selalu
mengenang Iqbal sebagai anak kecil pemalu yang “berbaring di bawah tenda
putih kecil; baru disunat.” Setelah disuntik, Chulliat memutuskan kembali ke
kantor untuk memeriksa judul berita utama sebelum naik cetak. Ia mengganti
kata pertama pada judul “Bangunan yang Disengketakan Hancur” dengan “Masjid
Babri”. Chulliat tidak ingin menyamarkan kebenaran. Pada akhir 2019, hampir
tiga dasawarsa setelah penghancuran tersebut, Mahkamah Agung India menyetujui
pembangunan kuil Hindu di bekas Masjid Babri. Saya bertemu Madhavan yang
berpembawaan tenang dan humoris di Guwahati. Ia datang dengan istrinya,
penulis Sheela Reddy. Nagaland, menurut
Khrievoü, terhitung aman dari jangkauan ekstremis Hindu, walau memiliki
sejarah panjang melawan India. Dewan Nasional Naga (DNN) berdiri pada 2
Februari 1946 untuk menyongsong masa transisi kekuasaan dari penjajah Inggris
kepada bangsa jajahan, tetapi akhirnya bertransformasi menjadi organisasi
pembebasan nasional dari pendudukan India, dipimpin Angami Zapu Phizo.
Sekarang putri Zapu, Adinno Phizo, memimpin DNN. Ia pernah bergerilya bersama
ayahnya. Usianya 89 tahun. Tampaknya ia terlalu lemah untuk mengangkat
senjata. “Tiap kecamatan, mungkin
ada pemberontak,” tutur Khrievoü. Pemberontakan itu atas dasar keterikatan
wilayah, suku dan sejarah. Tetapi ia merasa aman pergi sendirian dengan
mengemudi mobilnya ke kampung New Chumukedima di Dimapur, sekitar 70
kilometer dari Kohima. Ia punya kebun buah di sana, yang ditumbuhi pohon
leci, pisang, dan mangga. Kemarin saya memeriksa
Twitter Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Keluarga Nagaland untuk
mengetahui data Covid-19. Sebanyak 12 orang dirawat di rumah sakit dan 295
orang menjalani isolasi mandiri. Angka kematian nol. Pandemi ini membuat
orang-orang yang terpisah makin sukar bertemu. Namun, pengalaman saya dengan
Khrievoü membuktikan hubungan manusia dapat bertahan lama, tidak semata-mata
didukung teknologi, melainkan rasa peduli dan ketulusan. Pernah suatu kali
Khrievoü mengirim pesan pendek, “Saya merasa Indonesia itu dekat dan kamu
adalah tetangga sebelah rumah saya.” ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar