Selasa, 13 Juli 2021

 

Kabar dari India

Linda Christanty ;  Sastrawan dan Pegiat Budaya

KOMPAS, 10 Juli 2021

 

 

                                                           

Kekhrievoü Yhome tidak mirip perempuan India pada umumnya. Kulitnya terang. Matanya agak sipit. Ia mengenakan mekhala, kain tenun khas Nagaland, bukan sari.

 

Kami bertemu di Guwahati, ibukota negara bagian Assam, untuk menghadiri diskusi sastra pada akhir 2010. Saya terbang dari Banda Aceh. Khrievoü, sapaam Kekhrievoü Yhome, naik bus selama enam jam dari Kohima, ibukota negara bagian Nagaland.

 

Persahabatan saya dan Khrievoü terjaga melalui surat elektronik, pesan WhatsApp, percakapan telepon dan video.

 

Pada 9 April 2020, ketika dunia sudah digerogoti virus Covid-19, Khrievoü mengatakan Kohima aman. Sebulan kemudian kasus pertama ditemukan di Nagaland. Sekarang lebih 25 ribu orang terinfeksi virus ini di Nagaland, yang dihuni sekitar 2,3 juta jiwa. Tingkat kesembuhan masih 93 persen. Di Assam, jumlah orang terinfeksi melebihi 500 ribu dari 36 juta jiwa dan 94 persen pulih. India menjadi negara ketiga di dunia, setelah Amerika Serikat dan Brazil, yang memiliki kasus corona terbanyak.

 

“Kebijakan pemerintah selanjutnya, tidak divaksin tidak digaji, tidak bisa berbisnis dan tidak bisa bepergian,” kata Khrievoü. Kebijakan pemerintah di masa pandemi kadang terdengar seperti penghukuman.

 

Ia hanya ingat nama dua jenis vaksin, yaitu Covishield dan Covaxin. AstraZeneca di India disebut Covishield. Vaksin aktif ini terbuat dari virus flu simpanse yang dimodifikasi. Covaxin dibuat perusahaan bioteknologi di India, Bharat Biotech, yang bekerja sama dengan Dewan Penelitian Medis India dan Institut Virologi Nasional. Ini jenis vaksin tidak aktif, yang berbahan virus mati dan bebas efek patologis, tetapi sanggup memerintah sistem kekebalan tubuh manusia melawan virus. Selain itu, ada Remdesivir atau obat antivirus untuk mengobati pasien dewasa hingga anak berusia di atas 12 tahun. Namun, Organisasi Kesehatan Dunia melarang penggunaan Remdesivir, dengan alasan tidak efektif.

 

“Setiap hari saya berdoa untuk penduduk di seluruh dunia yang sedang susah,” ujar Khrievoü di telepon. Ia menganut Kristen Baptis.

 

Ayah dan ibunya petani kecil. Suku mereka, Angami Naga. Bahasa ibu Khrievoü adalah Bahasa Tenyidie. Lima suku penutur Bahasa Tenyidie di Nagaland disebut Tenyimia, yaitu Angami, Chakhesang, Rengma, Pochury, dan Zeliang. Khrievoü menulis 15 buku dalam Bahasa Tenyidie. Beberapa menjadi bahan bacaan siswa di sekolah menengah. Novel pertamanya, Azuo Kekhrie Menguyalie (1999), diterjemahkan dalam Bahasa Inggris dengan judul, Longing for My Mother’s Love (2005).

 

Sebelum pandemi Covid-19, hubungan antar pemeluk agama semakin memanas di India. Perdana Menteri Narendra Modi dari Partai Bharatiya Janatha telah mengubah libur Hari Natal menjadi Hari Pemerintah Baik sejak tujuh tahun lalu. Gerakan perobohan masjid oleh ekstremis Hindu berlangsung di mana-mana. Belum lama ini Masjid Badi di Padua, Odisha, hendak dirobohkan, karena dianggap sebagai situs kuil pemujaan Dewi Shrinkhala Devi.

 

Salah satu peristiwa paling berdarah dalam sejarah demokrasi di India adalah aksi penghancuran Masjid Babri di Ayodhya, Uttar Pradesh, pada 6 Desember 1992. Masjid ini dibangun pada abad ke-16. Massa aksi diperkirakan mencapai seratus ribu orang. Beberapa pemimpin Vishva Hindu Parishad dan Partai Bharatiya Janata ditangkap, karena terlibat. Aksi-aksi kekerasan dan pembalasan menjalar ke sejumlah kota. Sekitar 2.000 orang meninggal.

 

NS Madhavan, seorang penulis dalam bahasa Malayalam, menggambarkan kecemasan, kecanggungan, dan empati manusia yang dipicu peristiwa ini dalam cerita pendeknya, “Thiruthu” (“Pensil Biru”) pada 1993. Pensil biru merupakan sebutan untuk pensil editor saat mengoreksi naskah berita.

 

Tokoh cerita Madhavan, Chulliat, pemimpin redaksi sebuah suratkabar, memutuskan pulang cepat, karena demam di hari peristiwa Ayodhya. Ia pun mengunjungi Dokter Iqbal, putra sahabatnya Masood, teman seperantauan dulu di Inggris. Chulliat selalu mengenang Iqbal sebagai anak kecil pemalu yang “berbaring di bawah tenda putih kecil; baru disunat.” Setelah disuntik, Chulliat memutuskan kembali ke kantor untuk memeriksa judul berita utama sebelum naik cetak. Ia mengganti kata pertama pada judul “Bangunan yang Disengketakan Hancur” dengan “Masjid Babri”. Chulliat tidak ingin menyamarkan kebenaran.

 

Pada akhir 2019, hampir tiga dasawarsa setelah penghancuran tersebut, Mahkamah Agung India menyetujui pembangunan kuil Hindu di bekas Masjid Babri.

 

Saya bertemu Madhavan yang berpembawaan tenang dan humoris di Guwahati. Ia datang dengan istrinya, penulis Sheela Reddy.

 

Nagaland, menurut Khrievoü, terhitung aman dari jangkauan ekstremis Hindu, walau memiliki sejarah panjang melawan India. Dewan Nasional Naga (DNN) berdiri pada 2 Februari 1946 untuk menyongsong masa transisi kekuasaan dari penjajah Inggris kepada bangsa jajahan, tetapi akhirnya bertransformasi menjadi organisasi pembebasan nasional dari pendudukan India, dipimpin Angami Zapu Phizo. Sekarang putri Zapu, Adinno Phizo, memimpin DNN. Ia pernah bergerilya bersama ayahnya. Usianya 89 tahun. Tampaknya ia terlalu lemah untuk mengangkat senjata.

 

“Tiap kecamatan, mungkin ada pemberontak,” tutur Khrievoü. Pemberontakan itu atas dasar keterikatan wilayah, suku dan sejarah. Tetapi ia merasa aman pergi sendirian dengan mengemudi mobilnya ke kampung New Chumukedima di Dimapur, sekitar 70 kilometer dari Kohima. Ia punya kebun buah di sana, yang ditumbuhi pohon leci, pisang, dan mangga.

 

Kemarin saya memeriksa Twitter Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Keluarga Nagaland untuk mengetahui data Covid-19. Sebanyak 12 orang dirawat di rumah sakit dan 295 orang menjalani isolasi mandiri. Angka kematian nol.

 

Pandemi ini membuat orang-orang yang terpisah makin sukar bertemu. Namun, pengalaman saya dengan Khrievoü membuktikan hubungan manusia dapat bertahan lama, tidak semata-mata didukung teknologi, melainkan rasa peduli dan ketulusan. Pernah suatu kali Khrievoü mengirim pesan pendek, “Saya merasa Indonesia itu dekat dan kamu adalah tetangga sebelah rumah saya.” ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar