Jumat, 09 Juli 2021

 

Jalan Berliku Parpol Baru

Zennis Helen ;  Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Ekasakti, Padang

KOMPAS, 30 Juni 2021

 

 

                                                           

Perubahan UUD 1945 yang dilangsungkan sejak 1999 hingga 2002 diikuti juga dengan perubahan regulasi yang mengatur tentang partai politik, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik. Perubahan hukum dasar dan UU Parpol itu membuat pembentukan parpol baru tidak lagi mudah. Saat ini butuh proses yang panjang dan berliku dalam membentuk parpol baru.

 

Parpol sebagai organ utama demokrasi harus menjadi badan hukum yang terdaftar di Kementerian Hukum dan HAM. Agar berbadan hukum, parpol harus mempunyai akta notaris, nama, lambang atau tanda gambar yang tidak boleh sama dengan partai politik lain, kepengurusan pada setiap provinsi dan paling sedikit 75 persen dari jumlah kabupaten/kota pada provinsi yang bersangkutan dan paling sedikit 50 persen dari jumlah kecamatan pada kabupaten/kota yang bersangkutan, kantor tetap pada tingkatan pusat, provinsi, kabupaten/kota, dan rekening parpol (Pasal 3 UU No 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik).

 

Segala persyaratan di atas dibebankan kepada parpol agar diakui sebagai badan hukum di kementerian dan ini belum menjadi persyaratan menjadi peserta pemilu. Kita yakin tiga parpol pendatang baru dalam belantika politik nasional saat ini, yakni Partai Gelora Indonesia, Partai Ummat, dan Partai Rakyat Adil Makmur (Prima), sudah terdaftar sebagai badan hukum dan sudah memenuhi persyaratan pembentukan parpol yang disyaratkan UU.

 

Seluruh persyaratan itu harus dilengkapi apabila parpol ingin dicatat sebagai sebuah organisasi yang berbadan hukum di republik ini. Melihat itu, persyaratan membentuk parpol tidaklah mudah dan membutuhkan tenaga, pikiran, dan uang yang tidak sedikit. Akibatnya, orang-orang yang membentuk parpol hanya orang-orang tertentu saja yang tak saja mempunyai jaringan yang banyak, tetapi juga modalitas yang tak sedikit.

 

Tulisan ini hendak menyigi dua hal penting. Pertama, apa lagi yang dilakukan parpol agar ia benar-benar menjadi peserta pemilu? Kedua, apa tantangan parpol baru untuk mendapatkan kursi di parlemen? Dua pertanyaan di atas sangat penting dijawab. Sebab, sesuatu yang berbeda parpol menjadi peserta pemilu dan parpol memperoleh kursi di parlemen. Kendati parpol sudah menjadi peserta pemilu, belum tentu ia menjadi parpol yang ada di parlemen (baca: peserta parlemen).

 

Ujian pertama

 

Kendati parpol sudah dinyatakan sebagai organisasi berbadan hukum, untuk menjadi peserta pemilu, ia harus lulus ujian pertama, yakni verifikasi administratif dan faktual yang diselenggarakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) di berbagai tingkatan. Di tingkat pusat, parpol diverifikasi oleh KPU pusat, di tingkat provinsi oleh KPU provinsi, dan tingkat kabupaten/kota, kecamatan, dan lurah oleh KPU kabupaten/kota. Pada Pemilu 2024 mendatang, parpol baru akan menghadapi dua jenis verifikasi itu dan termasuk parpol nonparlemen yang telah diverifikasi untuk menghadapi Pemilu 2019.

 

Ini berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 55/PUU-XVIII/2020 yang pada pokoknya menyatakan bahwa parpol baru dan parpol nonparlemen harus mengikuti dua jenis verifikasi di atas. Mahkamah Konstitusi memperlakukan secara berbeda antara parpol parlemen dan parpol nonparlemen. Parpol parlemen yang telah lolos ambang batas parlemen 4 persen dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum itu hanya mengikuti verifikasi administratif dan tidak lagi mengikuti verifikasi faktual.

 

Aneh memang. Karena dua jenis verifikasi itu saling berkaitan. Verifikasi faktual sesungguhnya adalah lanjutan dari verifikasi administratif untuk mengecek kebenaran dokumen-dokumen parpol. Organisasi parpol bersifat dinamis dan bukan statis. Ia selalu bergerak dari waktu ke waktu. Misalnya, ketika ada konflik internal di parpol, dan kemudian muncul parpol pecahan baru, bisa saja ada kader parpol pindah dari parpol lama ke parpol baru. Ini mengakibatkan struktur keanggotaan parpol pun mengalami perubahan.

 

Akan tetapi, MK dalam putusannya tidak mempertimbangkan ini. Banyak kalangan yang berpandangan bahwa putusan MK ini janggal dan berubah dari putusan-putusan sebelumnya. Akan tetapi, yang namanya putusan, apalagi putusan lembaga pengawal konstitusi itu, bersifat final dan mengikat dan tidak ada upaya hukum untuk menantangnya. Putusan itu harus dihormati karena sejak dibacakan dalam persidangan yang terbuka untuk umum sudah mempunyai kekuatan mengikat umum dan sudah berkekuatan hukum tetap. Putusan itu tidak bisa dibatalkan melalui mekanisme banding, kasasi, dan peninjauan kembali (PK).

 

Ujian kedua

 

Setelah ujian pertama berhasil dilewati oleh parpol baru, jika pada ujian pertama lolos, ia diberikan rapor sebagai parpol peserta pemilu. Sudah cukupkah sampai di situ? Tentu saja belum. Jika ditanya dalam hati parpol, ia tidak akan puas jika hanya menjadi peserta pemilu, tentu ia berharap naik kelas, yakni ingin menjadi parpol peraih kursi di DPR. Untuk meraih itu, parpol harus lolos ujian kedua, yakni lolos ambang batas parlemen sebesar 4 persen sebagaimana diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 2017. Ambang batas ini diukur dengan cara menghitung jumlah suara yang diperoleh parpol bersangkutan secara nasional.

 

Akhirnya, Pemilu 2019 menjadi tahun mencekam bagi parpol baru. Banyak yang tidak lolos pada ujian kedua ini. Penyebabnya adalah kejamnya ambang batas parlemen ini. Ia sudah banyak memakan korban. Taringnya yang tajam tidak saja merobek parpol baru, tetapi juga merobek parpol lama yang sudah pernah ikut pemilu dan meraih kursi parlemen. Inilah ujian terberat bagi parpol, dan beratnya ujian ini, saking menunjukkan pembentukan parpol baru memang berliku. Wallahualam. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar