Sabtu, 10 Juli 2021

 

Ivermectin dan Obat untuk Covid-19

Sampurno ;  Direktur Jenderal POM 1998-2001; Kepala Badan POM RI

KOMPAS, 1 Juli 2021

 

 

                                                           

Hari-hari terakhir ini kasus Covid-19 di Indonesia mengalami lonjakan sangat tajam. Kasus baru yang semula per hari berkisar 3.000-4.000 kasus melonjak menjadi 20.500 kasus. Pelonjakan kasus ini menjadi perdebatan publik yang sangat ramai di media sosial.

Ada yang mengatakan penyebabnya virus korona varian Delta dari India, ada juga yang mengatakan dampak liburan panjang Idul Fitri. Masyarakat menjadi ketakutan dan sangat tercekam karena, selain menyerang mereka yang sudah divaksin dua kali, varian ini juga menyerang anak-anak balita.

 

Lebih dari 200 tenaga kesehatan di RS Kariadi, Semarang, terpapar Covid-19. Di tengah kepanikan ini, tiba-tiba ada isu Ivermectin sebagai obat yang dapat mencegah dan mengobati Covid-19 dengan efikasi tinggi.

 

Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA) telah cukup lama menyetujui Ivermectin sebagai obat spektrum luas antiparasit, terutama untuk obat cacing (Ascariasis). Di luar negeri, Ivermectin telah digunakan sekitar 35 tahun dan selama itu belum ada laporan efek samping serius yang merugikan kesehatan pasiennya. Penggunaan dosis lazim dapat dikategorikan praktis aman (practically safe).

 

Untuk pengobatan penyakit cacing, Ivermectin memang obat pilihan (drug of choice). Hanya saja, di Indonesia, obat ini belum pernah beredar untuk digunakan pada manusia. Baru 1-2 bulan lalu diizinkan beredar dengan indikasi untuk obat cacing. Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) memberikan peringatan kepada masyarakat luas Ivermectin adalah obat cacing tergolong obat keras dan dapat diperoleh hanya dengan resep dokter. BPOM menyebut secara tegas Ivermectin bukan obat untuk Covid-19.

 

Namun, dalam kenyataannya, Ivermectin digunakan secara off label untuk pengobatan Covid-19. Laporan tak resmi menyebutkan penggunaannya memiliki tingkat penyembuhan tinggi untuk kasus Covid-19, baik tingkat ringan, sedang, maupun parah. Dalam penggunaan off label ini masyarakat tak bisa serta-merta dipersalahkan karena mereka menghadapi pilihan antara hidup dan mati.

 

Uji ”in vitro” dan uji klinis

 

FDA telah menyetujui uji in vitro Ivermectin dengan klaim dapat menghambat replikasi SARS-CoV-2 penyebab Covid-19. Selain mampu sebagai inhibitor virus, Ivermectin memiliki khasiat sebagai antiinflamasi/antiradang. Hasil uji in vitro ini sangat atraktif untuk dilanjutkan dengan uji klinis yang tuntas. Logikanya, jika uji in vitro menunjukkan hasil positif yang bagus, diprediksi juga akan mempunyai korelasi positif dengan hasil uji klinisnya.

 

Studi kolaboratif Monash Biomedicine Discovery Institute dengan Institut Infeksi dan Imunitas Peter Doherty (Doherty Institute) melaporkan, uji in vitro Ivermectin pada sel kultur dapat membunuh 99,8 persen virus SARS-Cov-2 dalam waktu 48 jam. Dalam dosis tunggal, Ivermectin dapat mereduksi 93 persen RNA virus itu dalam waktu 24 jam.

 

Seperti diketahui, vaksin untuk Covid-19 bertujuan untuk meningkatkan imunitas terhadap infeksi virus korona. Adapun Ivermectin berperan menghambat replikasi virus sehingga jumlah virus yang masuk ke tubuh sangat sedikit dan karena itu dengan mudah dapat dimatikan oleh antibodi.

 

Dengan demikian, dapat dipahami, antara vaksin Covid-19 dan Ivermectin dapat saling melengkapi dalam pengobatan untuk Covid-19. Kelebihan Ivermectin dapat digunakan dalam skala jauh lebih luas dengan biaya jauh lebih murah jika dibandingkan dengan vaksin.

 

Beberapa hari lalu, WHO masih menyatakan secara eksplisit, Ivermectin bukan obat untuk Covid-19 karena tak ada data ilmiah yang mendukungnya. BPOM yang tentu saja berorientasi pada kebijakan WHO juga menyatakan Ivermectin adalah obat cacing dan tak digunakan untuk terapi Covid-19.

 

Ketua Satgas Covid-19 Ikatan Dokter Indonesia mengatakan hal yang sama. Tiba-tiba arah angin berbalik dan WHO menyarankan agar segera dilakukan uji klinis Ivermectin untuk pengobatan Covid-19. BPOM malah telah memberikan surat persetujuan uji klinisnya.

 

Negara maju, termasuk AS dan Inggris yang selama ini tak menaruh perhatian pada uji klinis Ivermectin, tiba-tiba tergerak mendukung dan memfasilitasi. Universitas Oxford di Inggris akan melakukan uji klinis skala besar. Selevel Universitas Oxford, tentu telah melakukan kajian ilmiah lebih dahulu dan telah memprediksi hasil yang akan dicapai sebelum melakukan uji klinis.

 

Sebetulnya, beberapa negara telah melakukan uji klinis ini, tetapi dalam skala relatif kecil dan umumnya belum multisenter. Penelitian di Dakha, Bangladesh, melibatkan 72 pasien di rumah sakit. Pasien dibagi dalam tiga kelompok: yang menggunakan Ivermectin oral selama lima hari, yang menggunakan kombinasi Ivermectin dan Doxycycline, dan kelompok plasebo.

 

Peserta yang terlibat dalam uji klinis ini pasien dewasa yang menderita Covid-19 kategori ringan. Dilaporkan penggunaan pada pasien kategori ringan selama lima hari ternyata efektif dan aman. Jika penelitian dilakukan dalam skala lebih besar, diyakini hasilnya akan memvalidasi temuan uji klinis ini.

 

Studi uji klinis lainnya di Bangladesh melibatkan 118 tenaga kesehatan yang kontak dengan pasien Covid-19. Dilaporkan, tenaga kesehatan yang tidak diintervensi Ivermectin (kontrol) 73,3 persen positif Covid-19, sedangkan yang diintervensi Ivermectin hanya 6,9 persen yang terpapar.

 

Penelitian di Mesir melibatkan 304 peserta yang telah kontak dengan Covid-19. Pasien diintervensi dengan Ivermectin pada hari ke-1 dan ke-3. Setelah 14 hari, mereka yang diintervensi 7,4 persen positif Covid-19. Yang tak diintervensi, yang positif 58,4 persen. Studi ini juga melaporkan, selain menurunkan tingkat keparahan, intervensi Ivermectin juga menurunkan tingkat mortalitas pasien.

 

Studi di Mazandaran, Iran, mencakup 70 pasien: 35 mendapat pengobatan Ivermectin dan 35 mendapatkan pengobatan standar. Hasilnya, penggunaan Ivermectin dapat mengurangi lamanya tinggal di RS, menghilangkan sesak napas (dyspnea) dan batuk, serta limfosit rendah (lymphopenia).

 

Produksi Ivermectin

 

Produksi Ivermectin dengan klaim sebagai obat untuk Covid-19 belum dilakukan di negara mana pun karena belum ada dukungan data uji klinis yang sahih. Namun, sekitar 20 negara diperkirakan sudah menggunakan Ivermectin untuk pengobatan Covid-19. Alasannya, selain karena sulit mendapat akses untuk memperoleh vaksin, mereka juga tak cukup memiliki dana untuk membeli vaksin bagi jutaan rakyatnya.

 

Di masa pandemi global ini, bisnis vaksin untuk Covid-19 luar biasa besar dengan nilai penjualan puluhan miliar dollar AS. Produsen vaksin tentu merasa terancam jika, dari uji klinis, Ivermectin terbukti dapat mencegah dan mengobati Covid-19. Harga Ivermectin yang jauh lebih murah dan terjangkau masyarakat luas merupakan daya tarik tersendiri dalam perspektif keekonomian ataupun kesehatan rakyat banyak.

 

Untuk memproduksi Ivermectin, produsen diwajibkan memakai bahan baku yang disetujui WHO. Ketentuan ini berdampak pada produsen Ivermectin Indonesia karena harga bahan baku dengan kualifikasi itu sangat mahal dan langka. Saat ini produksi Ivermectin hampir terhenti karena ketersediaan bahan baku sangat menipis. Bisa jadi ini bentuk tekanan tak langsung dari perusahaan multinasional (MNC) untuk mempersulit produksi dan pemasaran Ivermectin. MNC akan mengeksplotasi maksimal pandemi Covid-19 ini untuk keuntungan korporasinya. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar