Senin, 01 Juni 2015

Kisruh Hukum Praperadilan

Kisruh Hukum Praperadilan

Moh Mahfud MD  ;  Guru Besar Hukum Konstitusi
KORAN SINDO, 30 Mei 2015


                                                                                                                                                           
                                                
Tak terbantahkan, beberapa vonis praperadilan atas penetapan tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belakangan ini telah menimbulkan kekisruhan atau komplikasi hukum. Hakim Sarpin dan Hakim Haswandi misalnya telah mengabulkan permohonan praperadilan yang diajukan oleh Budi Gunawan dan Hadi Poernomo.

Pro dan kontra atas sebuah vonis sebenarnya biasa terjadi sehingga boleh saja orang setuju atau tak setuju pada pembatalan atas penersangkaan Budi Gunawan, Hadi Poernomo, atau Ilham Arief Sirajuddin.

Namun, mereka telah melakukan upaya hukum dengan praperadilan dan hakim telah mengabulkannya. Itu harus dihormati.

Tetapi, vonis-vonis atas perkara ini menimbulkan kisruh karena yang terjadi bukan hanya pro-kontra atas kasus konkretnya, melainkan munculnya komplikasi konseptual atas peraturan abstraknya.

Dua hakim itu bukan hanya memutus kasus konkret, melainkan juga secara tidak langsung melakukan pengujian (judicial review) atas isi UU dengan tidak memberlakukan Pasal 77 KUHAP. Pasal 77 KUHAP menyatakan bahwa penetapan status tersangka bukan termasuk objek praperadilan, tetapi oleh dua hakim tersebut, demi keadilan berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa, tidak diberlakukan.

Artinya, secara substantif dua hakim tersebut telah mereviu UU karena isi UU yang abstrak tidak bisa diberlakukan terhadap kasus konkret yang ditanganinya. Padahal, mereviu UU merupakan kewenangan eksklusif Mahkamah Konstitusi (MK). Timbullah dilema: pada satu sisi vonis itu melampaui kewenangan hakim karena telah ”merampas” wewenang MK dalam melakukan pengujian, tetapi pada sisi lain vonis yang sudah inkracht tersebut mengikat, tidak bisa dibatalkan atau dinyatakan batal demi hukum.

Khusus untuk penidakberlakuan Pasal 77 KUHAP komplikasinya memang telah ”terpaksa” selesai karena pada 28 April 2015 MK telah memutus perkara No 21/PUU-XII/2014 yang menegaskan bahwa penetapan tersangka bisa diuji dalam praperadilan. Vonis MK ini pun final dan berlaku seperti UU sehingga sekarang ini penetapan tersangka bisa dilawan dengan upaya hukum melalui praperadilan.

Problemnya hanya menjadi lebih teknis yakni Polri, kejaksaan, KPK, dan pengadilan akan dibanjiri oleh ribuan permohonan praperadilan, bukan hanya dalam kasus korupsi, melainkan dalam semua kasus pidana. Bukan hanya di Jakarta, tetapi juga di daerah-daerah seluruh Indonesia.

Tetapi, komplikasi konseptual hukum ini muncul lagi setelah awal pekan ini Hakim Haswandi memutus permohonan praperadilan Hadi Poernomo yang secara substantif juga menguji UU karena tidak memberlakukan pasal-pasal tertentu di dalam UU. Mendasarkan pada ketentuan Pasal 8 ayat (1) KUHAP Hakim Haswandi memutus bahwa penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan oleh pegawai yang bukan pejabat Polri dan bukan dari kejaksaan sebagai pegawai negeri tertentu, tepatnya yang dilakukan oleh penyelidik dan penyidik yang diangkat oleh KPK dari luar Polri dan kejaksaan, adalah tidak sah.

Padahal, selama ini, berdasar ketentuan Pasal 43 ayat (1) dan Pasal 45 ayat (1) KPK bisa mengangkat penyelidik dan penyidik sendiri sebagai lex specialis.
Putusan praperadilan terbaru ini telah menimbulkan komplikasi baru secara konseptual hukum karena dianggap mengacaukan hubungan keberlakuan antara hukum yang umum (lex generalis) dan hukum yang khusus (lex specialis).

Lebih dari itu, vonis Hakim Haswandi ini, karena erga omnes, telah menyentuh bukan hanya penyelidik dan penyidik KPK, melainkan penyelidik dan penyidik yang diberi kewenangan oleh UU untuk menyelidiki dan menyidik perkara-perkara tertentu seperti perkara keimigrasian, pelanggaran HAM berat, kehutanan, pasar modal, otoritas jasa keuangan, perpajakan, lingkungan, perikanan, bea cukai, bahkan penyelidik dan penyidik peradilan militer yang juga diatur dengan hukum khusus.

Berdasar vonis Hakim Haswandi itu bisa ada puluhan ribu kasus yang menjadi bermasalah dan tidak sah karena penyelidik dan penyidiknya bukan polisi atau jaksa.

Untuk mengatasi itu, ke depan lembaga legislatif harus mengaturnya melalui proses legislasi baru, tetapi untuk tahap awal bisa didahului dengan segera dikeluarkannya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA).

Meski begitu, di dalam kusut masai yang timbul akibat vonis praperadilan tersebut, saya perlu mengemukakan dua catatan lain. Pertama, meski seorang tersangka dinyatakan menang dalam praperadilan, bukan berarti tersangka tersebut langsung lepas dari kasusnya. Menurut putusan MK No 21/PUUXII/ 2014, kasus yang bersangkutan bisa dilanjutkan asalkan diperbaiki dengan penyelidikan dan/atau penyidikan baru yang sesuai dengan UU. Untuk KPK, hal ini tidak terlalu jadi masalah karena di KPK, selain yang bukan jaksa dan polisi, sudah banyak juga penyelidik dan penyidik yang memang berasal dari Polri dan kejaksaan.

Kedua, jangan bermimpi bahwa vonis praperadilan Hakim Haswandi ini bisa dijadikan novum untuk mengajukan upaya hukum peninjauan kembali (PK) oleh mereka yang sudah divonis dan sudah dihukum. Vonis Hakim Haswandi ini tidak bisa dijadikan novum (bukti baru) sebab menurut hukum novum itu adalah bukti yang sudah ada ketika yang bersangkutan diadili di pengadilan, tetapi pada saat itu tidak diketemukan atau tidak diketahui.

Novum tidak bisa diambil dari keadaan atau peristiwa baru yang muncul sesudah vonis dijatuhkan dan sudah inkracht.

Vonis Hakim Haswandi ini adalah baru yang, kalau terpaksa diberlakukan, hanya berlaku untuk kasus-kasus sesudah palu vonis diketokkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar