Palsu
Putu Setia ; Pengarang; Wartawan Senior Tempo
|
TEMPO.CO, 31 Mei 2015
DULU yang saya cemaskan hanya uang palsu.
Mencari uang itu sulitnya setengah mati, sementara saya tak ahli menerawang
dan meraba untuk tahu uang asli apa palsu. Kalau gigi palsu saya tak peduli,
orang bilang apa saja, saya cuek. Toh gigi palsu sangat pribadi, tak
menyangkut hajat hidup orang lain.
Kini saya cemas terhadap palsu-palsu yang
lain. Misalnya, beras palsu, baik yang terbuat dari plastik sejenis paralon
maupun plastik lainnya. Syukurlah beras plastik itu sudah dibantah
keberadaannya, meskipun saya bingung kok semudah itu mengatakan tidak ada.
Kalau tidak ada, bagaimana sampai ada penjelasan yang rinci berhari-hari agar
masyarakat waspada terhadap beras plastik? Beras plastik itu putih mulus,
beras asli ada bintiknya, beras plastik mengambang di air, beras asli
terbenam. Dan seterusnya. Lho, kalau bendanya tidak ada, bagaimana bisa
membandingkan?
Oke, saya tak pakai istilah beras plastik,
takut diperiksa polisi. Saya harus percaya benda itu tidak ada. Tetapi beras
palsu itu tetap mencemaskan saya. Palsu, misalnya, beras merah ternyata bukan
asli merah (yang umumnya organik), tetapi diberi zat pewarna. Beras
pandanwangi ternyata hanya beras jenis C4 yang diberi cairan pewangi beraroma
daun pandan. Saya resah karena memang ada kebutuhan untuk mengkonsumsi beras
seperti itu disebabkan berbagai alasan yang panjang untuk dijelaskan.
Adapun jenis kepalsuan yang lain, yang
ternyata begitu banyak belakangan ini bagai virus yang menyebar cepat, tak
membuat saya resah. Cukup geli saja. Ini kan negeri paling lucu, asalkan kita
pandai mencari sudut pandangnya.
Bayangkan saja ada Keppres pengangkatan
Direktur Jenderal Imigrasi yang palsu. Trauma dengan kepalsuan itu, maka seorang
Dirjen di Kementerian ESDM "diusir" oleh anggota DPR karena tak
membawa Keppres
pengangkatannya. Apakah mulai saat ini setiap pejabat negara
ke mana-mana harus membawa surat pengangkatannya yang asli? Tapi jangan dulu
menyebut DPR itu bersih dari kepalsuan. Ternyata ada anggotanya-kalau diusut
bisa jadi banyak-menggunakan gelar palsu. Waduh, kalau batu akiknya yang
palsu masih bisa ditoleransi, kini banyak orang yang tiba-tiba sok tahu batu
akik.
Gelar palsu ini laris karena dikaitkan dengan
pangkat dan jabatan untuk seorang pegawai negeri. Semasih gelar itu dijadikan
acuan naik pangkat, dan bukan prestasi yang terukur, semakin marak kepalsuan,
baik palsu karena membeli dari perguruan tinggi abal-abal, maupun palsu
karena penerima gelar tak "memadai ilmunya". Saya sering membantu
mahasiswa menyusun skripsi, sesekali membantu menulis tesis untuk gelar
master. Ketika mahasiswa itu diwisuda, saya menggerutu setengah berdoa:
"Ya Tuhan, seharusnya hamba ini menyandang gelar itu."
Apa yang mau saya nyinyiri? Kepalsuan itu
harus diberantas dengan dua cara: hukum ditegakkan, etika dan moral
diperbaiki. Pengoplos beras harus ditindak tegas, bukan pelapornya yang
diperiksa. Pengedar uang palsu harus diusut sampai ke ujungnya, siapa yang
mencetak. Penjual gelar palsu harus dihukum.
Pembeli gelar palsu juga
dihukum, karena sanksi moral tak membuatnya malu.
Masyarakat harus dididik untuk menilai
seseorang bukan dari gelarnya yang berderet-deret, tetapi dari intelektual
kesehariannya, apa karyanya, bagaimana dia berargumentasi dan sebagainya.
Kepalsuan harus dihina, kecuali gigi palsu yang memang penting untuk
mengunyah makanan membantu kerja pankreas. Akan halnya pemakai akik palsu,
ya, sudahlah, pasrahkan saja. Ini cuma mode, sebentar lagi dilupakan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar