SIN,
Bukan Hanya E-KTP
Rhenald
Kasali ; Guru Besar FE UI, Pendiri Rumah Perubahan
|
JAWA
POS, 06 Mei 2014
|
COBALAH
periksa isi dompet Anda dan hitung ada berapa banyak kartu plastik. KTP, SIM,
kartu pajak (NPWP), kartu pegawai, beberapa kartu kredit dan debit, kartu
asuransi, serta kartu rumah sakit. Mungkin juga bisa ditambahkan kartu
keanggotaan untuk klub kebugaran, golf, frequent
flyer dari maskapai penerbangan, dan keanggotaan profesi.
Wow, itu
saja sudah 13. Tak banyak yang menyadari, semakin hari saku orang Indonesia
semakin tebal.
Saya
saja sudah tak lagi menaruh dompet di saku celana. Tidak enak rasanya.
Maka,
sebenarnya saya senang ketika pemerintah menggagas e-KTP. Mulanya bayangan
saya, e-KTP ini bakal menjadi semacam single
identity number (SIN) yang pernah marak sebagai bahan diskusi pada awal
2000-an. Di Amerika Serikat ada social
security number. Nomor itu menjadi nomor pembayaran pajak saya, nomor
mahasiswa, SIM, asuransi, rumah sakit, dan seterusnya.
Nomor dan Data
Dari
bentuknya, kartu SIN sama persis dengan KTP biasa, tetapi di dalamnya ditanam
chip yang bisa diisi berbagai data.
Apa saja data yang bisa di-input di dalamnya? Sangat beragam.
Mungkin
Anda pernah membaca berita tentang inovasi yang dilakukan I Gede Winasa
ketika menjabat bupati Jembrana selama dua periode (2000-2005 dan 2005-2010).
Dia menjadikan KTP sekaligus sebagai kartu kesehatan dan kartu kredit. Dengan
kartu itu, setiap warganya yang sakit bisa berobat cuma-cuma ke rumah sakit
atau puskesmas.
Di sana
warga Jembrana tinggal menyerahkan KTP-nya. Di dalam KTP itu ada chip yang berisi, antara lain, data
riwayat kesehatan si pemilik kartu. Untuk mengetahui data tersebut, dokter
tinggal memasukkan KTP ke peranti card
reader. Berbekal data itu, dokter bisa memberikan obat yang pas buat
pasiennya. Dan, di Jembrana kala itu, semua biaya berobat ditanggung
pemerintah kabupaten.
Kartu
SIN lebih dari sekadar itu. Banyak fungsi yang bisa diintegrasikan di
dalamnya. Nomor kartu SIN, misalnya, bisa berfungsi sebagai nomor rekening
bank atau kartu kredit. Jadi, kita bisa bertransaksi hanya dengan memakai
KTP.
Tapi,
bagi sebagian orang, kartu SIN juga berpotensi membuat mereka bertambah
repot. Misalnya jika nomor kartu SIN sekaligus menjadi nomor pajak atau NPWP.
Jadi, di kartu ini tersimpan semua data pajak Anda, misalnya PPh atau PBB.
Kalau
semua data pada kartu tersebut diintegrasikan, profil Anda yang sebenarnya
bakal terungkap. Misalnya, Anda seorang pegawai negeri sipil dengan gaji,
katakanlah, Rp 10 juta per bulan. Tapi, kalau merujuk pada data PBB, ternyata
Anda tinggal di kawasan elite. Lalu, dari pajak kendaraan yang Anda bayarkan,
terungkap mobil milik Anda ternyata bukan mobil murah.
Data
tersebut juga bisa dikroscek dengan uang Anda yang tersimpan di bank dan pola
belanja Anda. Misalnya, rekening tabungan Anda ternyata mencapai miliaran
rupiah. Kemudian, belanja Anda dengan kartu kredit per bulan ternyata
mencapai Rp 10-an juta. Setiap musim libur Anda dan keluarga selalu
berwisata ke Eropa. Pada gilirannya, Anda tentu harus menjelaskan semua
"ketidakwajaran" tersebut kepada PPATK. Merepotkan kalau Anda ingin
sembunyi, bukan? Tapi, itulah awal sebuah penegakan keadilan.
Mungkin
itu pula sebabnya gagasan SIN yang ramai dibahas pada awal 2000-an dengan
cepat mengempis. Penerapan SIN bakal membuat repot banyak kalangan yang biasa
menelikung. SIN tentu kurang cocok dengan selera sebagian kecil elite kita,
seperti teman-teman di DPR atau di instansi pemerintahan lainnya yang sudah
biasa menikmati transaksi kas tanpa ada yang melacaknya.
Alhasil,
ide SIN akhirnya "turun pangkat", menjadi e-KTP. Menurut saya, ini
perkembangan yang sangat mengecewakan. Maka, saya sangat antusias ketika
perkara ini akhirnya ditelisik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dengan
anggaran senilai Rp 5,9 triliun, rakyat kita membayar terlalu mahal jika
hanya mendapatkan e-KTP. Seharusnya SIN. Kira-kira begitulah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar