Introspeksi
Mahkamah Konstitusi
Marwan
Mas ; Guru Besar Ilmu Hukum
Universitas 45 Makassar
|
KOMPAS,
26 Mei 2014
RUPANYA MK introspeksi diri atas penanganan
sengketa hasil pemilihan kepala daerah melalui putusannya, Senin (19/5/2014).
Melalui
putusan tertanggal 19 Mei 2014, Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan, Pasal
236C UU No 12/2008 tentang Perubahan Kedua atas UU No 32/2004 tentang
Pemerintahan Daerah dan Pasal 29 Ayat (1) Huruf e UU No 48/2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman tidak konstitusional.
Pasal
236C UU Pemerintahan Daerah mengatur, penanganan sengketa hasil penghitungan
suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh Mahkamah Agung
(MA) dialihkan kepada MK. Sementara Pasal 29 Ayat (1) Huruf e UU Kekuasaan
Kehakiman mengatur pemberian kewenangan lain bagi MK.
MK
mengacu pada tafsir ”original intent” atas Pasal 22E UUD 1945 bahwa
penyelesaian sengketa pilkada tidak masuk dalam kategori ”rezim pemilu” yang
dilaksanakan lima tahun sekali. MK berani membonsai kewenangan yang diberikan
UU sebagai jawaban atas kritik kalau MK acap kali menambah kewenangannya
melalui putusannya.
Sebelum
tahun 2005, pilkada dilakukan oleh DPRD provinsi dan kabupaten/kota. Kemudian
UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah mengatur bahwa kepala daerah
dipilih secara langsung oleh rakyat dan masuk dalam ”rezim pemerintahan
daerah”, dan pertama kali dilakukan pada Juni 2005.
Namun,
saat UU No 22/2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum berlaku, pemilihan kepala daerah/wakil
kepala daerah disebut sebagai ”pemilihan umum” sehingga masuk dalam ”rezim
pemilu”, yang diberi nama ”pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala
daerah”. Ini sejalan dengan maksud Pasal 22E UUD 1945, dan diselenggarakan
pertama kali pada pemilihan gubernur DKI Jakarta tahun 2007.
Kemudian
terbit UU No 15/2011 tentang Penyelenggara Pemilu yang mengganti UU No
22/2007. Dalam Pasal 1 Butir 4 UU No 15/2011, istilah yang digunakan adalah
”pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota”. Penyelenggaranya KPU provinsi
dan KPU kabupaten/kota yang diawasi oleh Panitia Pengawas Pemilu, yang
berubah menjadi Badan Pengawas Pemilu.
Peserta
pilkada menurut UU No 32/2004 adalah ”pasangan calon yang diusulkan oleh
partai politik atau gabungan partai politik”. Tetapi, ketentuan ini diubah
dengan UU No 12/2008 tentang Perubahan Kedua atas UU No 32/2004 yang
menegaskan, peserta pilkada dapat pula berasal dari ”pasangan calon
perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang”. Ketentuan ini
menindaklanjuti putusan MK yang membatalkan beberapa pasal dalam UU No
32/2004 terkait peserta pilkada. Khusus di Aceh, peserta pilkada juga dapat
diusulkan oleh partai politik lokal.
Sebelum
2008, penanganan sengketa hasil pilkada ditangani MA. Namun, dalam
perjalanan, ditemukan banyak borok sehingga dilimpahkan ke MK, sesuai
perintah Pasal 236C UU No 12/2008. Sejak itu, MK telah menyidangkan 729
sengketa pilkada dan 689 di antaranya sudah diputus. Pelepasan kewenangan MK
setidaknya harus segera diantisipasi
sebab tahun 2020 pilkada akan dilaksanakan serentak di seluruh
Indonesia.
Kekosongan hukum
Setelah
putusan MK yang bersifat final dan mengikat sejak dibacakan, publik bisa
mempertanyakan terkait siapa yang berwenang memeriksa dan memutus sengketa
hasil pilkada. Keraguan ini dijawab MK dalam putusannya: untuk mengisi
kekosongan hukum sebelum ada pengadilan yang menangani sengketa pilkada, MK
tetap menyelesaikan sengketa hasil pilkada.
Putusan
itu juga patut diapresiasi lantaran memiliki momentum yang jelas agar tidak
terlalu lama waktu kekosongan hukum. DPR dan pemerintah selaku eksekutor
putusan MK saat ini tengah membahas UU Pilkada. Apakah akan diberikan kepada
MA yang memiliki struktur sampai ke provinsi dan kabupaten atau justru
membentuk peradilan khusus seperti yang diusulkan banyak kalangan.
Namun,
ada wacana yang juga penting diperhatikan, yakni keberadaan putusan yang
langsung bersifat final dan mengikat. Sebab, ada pemikiran agar ketentuan itu
dihapus terhadap putusan hasil sengketa pilkada yang tidak boleh langsung
final pada pemeriksaan tingkat pertama.
Melacak
substansi suatu putusan hakim—selain MK yang memang ditegaskan dalam UUD
1945—tak boleh langsung bersifat final dan mengikat dalam satu kali putusan.
Harus ada lembaga koreksi di atasnya sebab boleh jadi ada kelemahan dalam
putusan tingkat pertama. Berkaca pada kasus bekas Ketua MK Akil Mochtar, yang
ditangkap KPK karena menerima suap dari pihak yang beperkara dalam sengketa
pilkada, layak dijadikan pembenaran agar putusan di tingkat pertama tak
langsung final.
Kemauan
MK mengoreksi diri patut dihargai. Sebab, dikaji secara sosiologis, pemikiran
MK merupakan langkah progresif lantaran selama ini dirusak citranya dalam
menangani sengketa hasil pilkada. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar