Ormas
dan Partai Islam Vital dalam Pilpres 2014
Ardi
Winangun ; Pengamat Politik
|
OKEZONENEWS,
23 Mei 2014
Meski
partai-partai yang disebut berbasis dan berhaluan Islam dalam Pemilu
Legislatif 2014 tidak masuk 4 besar, di bawah PDIP, Golkar, Gerindra, dan
Demokrat namun keberadaan partai-partai Islam sangat menentukan bentuk dan
susunan koalisi dalam mengusung pasangan capres dan cawapres dalam Pemilu
Presiden 2014.
Meski
PDIP dan Nasdem sudah merasa cukup untuk mengusung pasangan capres dan
cawapres sendiri namun gereget mereka terasa kurang bila PKB tidak ikut dalam
koalisi yang akan mendorong Jokowi sebagai capres.
Pun
demikian ketika Ketua Umum PPP Surya Dharma Ali digoyang-goyang oleh pengurus
partai berlambang Kabah ketika secara sorangan mendukung Ketua Dewan Pembina
Partai Gerindra, Prabowo Subianto, menjadi capres dan membuat PPP untuk
sementara mengurungkan niatnya mendukung Prabowo, kondisi yang demikian
membuat kubu Prabowo ketar-ketir sebab Gerindra masih sendiri dan belum ada
partai yang 100 persen berkoalisi dengannya. Bila Gerindra terus sendiri,
tamatlah riwayat Prabowo dalam Pilpres tahun ini.
Untunglah
masalah internal di PPP bisa diselesaikan secara adat hingga akhirnya PPP
mendukung Prabowo kembali. Dukungan ini memberi nafas segar bagi Gerindra
sebab membuka peluang untuk bisa mengusung Prabowo menjadi capres. Dukungan
PPP juga akan memancing PAN dan PKS
untuk segera merapat ke koalisi partai yang dipimpin Gerindra itu.
Ketika
PDIP dan Gerindra sibuk lobby sana-sini, lain halnya dengan Partai Golkar,
Demokrat, dan Hanura. Ketiga partai itu cenderung pasif. Golkar dan Demokrat
yang berkeinginan membentuk poros ketiga terbentur tak adanya figur yang
memiliki elektabilitas dan popularitas yang tinggi. Prabowo pun sepertinya
enggan ketika Ketua Golkar Aburizal Bakrie menawarkan diri menjadi cawapres.
Tak ada
figur yang kuat di Golkar dan Demokrat bertambah parah ketika partai-partai
Islam emoh merapat kepada mereka. Partai Islam melihat bila berkoalisi dengan
mereka seperti menembak di ruang hampa, tak memperoleh apa-apa. Akhirnya
ketiga partai yang berhaluan non agama itu memilih bergabung ke Prabowo dan
Jokowi.
Uraian
di atas menunjukkan partai-partai Islam meski bukan sebagai pemenang pemilu
namun keberadaannya sangat signifikans untuk memperkuat koalisi.
Partai-partai berhaluan non agama merasa koalisi sehaluan, contohnya PDIP dan
Nasdem saja, terasa hambar. Meski mereka merasa sudah cukup untuk memenuhi syarat
pendaftaran pasangan capres dan cawapres namun pesimis bila partai Islam
tidak ikut berkoalisi. Dasar pemikiran mereka bahwa partai Islam memiliki
basis massa yang sangat berpengaruh untuk memenangkan Pilpres.
Setelah
menggaet partai Islam untuk memenuhi syarat pendaftaran, para capres
menggarap kantong-kantong berbasis Islam seperti NU, Muhammadiyah, LDII, dan
lain sebagainya. Para capres serius menggarap kantong berbasis Islam,
buktinya Jokowi dan Prabowo, susul menyusul mendatangi tokoh-tokoh Muhammadiyah,
NU, pesantren, dan LDII.
Mereka
datang ke para tokoh Islam itu bukan sekadar minta restu dan doa namun juga
berharap agar dukungan mereka nyata adanya. Para capres berpikiran bahwa
masyarakat kita masih berpatron sehingga ketika tokoh panutan bila A maka
jamaahnya akan mengamini dan mengikuti. Hal inilah yang diharapkan para
capres agar tokoh Islam itu mendukungnya dan secara serentak jamaahnya akan
mengikuti.
Jamaah
yang berbasis Islam ini jumlahnya jutaan dan wilayahnya berpusat di Jawa sehingga
cara mendekatinya sangat efisien dalam waktu dan perjalanan. Istilahnya
sekali merengkuh dayung, satu, dua, tiga pulau terlampaui.
Menjadi
pertanyaan mengapa basis-basis yang lain tidak didekati? Ada kemungkinan
basis-basis yang lain tanpa didekati pun sudah merapat dan mendukung para
capres namun ada kemungkinan yang lain, basis-basis lain suaranya tidak
signifikans sehingga secara strategi tak perlu didekati. Kalaupun didekati
dengan cara ala kadarnya.
Dalam
paparan di atas menunjukkan bahwa ummat Islam yang terhimpun dalam partai dan
ormas meski disebut-sebut tidak pernah memenangi pemilu dari masa ke masa
namun keberadaannya sangat berpengaruh besar. Bila mereka bersatu sebenarnya
mampu menjadi pemenang, lihat Poros Tengah, himpunan partai-partai berbasis
Islam seperti PKB, PAN, PK(S), PBB, PPP, ketika mengusung Gus Dur menjadi
Presiden dalam pemilihan yang diadakan di MPR tahun 1999 mampu mengalahkan
PDI yang mengusung Megawati jadi capres padahal PDIP sebagai pemenang Pemilu
Legislatif.
Sayangnya
saat ini partai berbasis Islam lebih memilih jalannya sendiri-sendiri, entah
dilandasi masalah pragmatis atau idealis. Ketidakbersatunya partai-partai
Islam sangat menguntungkan partai lainnya. Mereka selain mendapat tambahan
suara dari partai dan ormas Islam untuk memenangi pemilu, juga membuka
peluang lebih besar menang ketika partai Islam tidak mengusung pasangan
capres dan cawapres sendiri.
Dengan
paparan di atas perlunya optimis bagi partai Islam untuk terus hidup dan
berkiprah. Analisa para akademisi dan peneliti politik yang menyebutkan
partai-partai Islam akan terus terpuruk dan tak lolos dari parlement
threshold bahkan ada yang berani menyimpulkan partai berhaluan Islam tak
perlu lagi membuat para aktivis partai Islam menjadi minder dan kalah sebelum
bertarung dalam pemilu.
Rupanya
analisa para akademisi dan peneliti politik tadi, entah karena pesanan atau research yang teledor, tidak terbukti
dan salah. Buktinya, partai Islam tetap eksis dan mempunyai peran yang sangat
signifikans. Untuk itu partai Islam harus terus bergiat dalam berpolitik yang
amanah agar tetap dipilih dan melekat di hati rakyat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar