Satria
Piningit
Sarlito
Wirawan Sarwono ; Guru Besar
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
|
KORAN
SINDO, 25 Mei 2014
Dalam
pewayangan ada kisah tentang ksatria (biasanya Arjuna) yang mengembara untuk
menuntut ilmu kasekten (kesaktian) kepada seorang begawan (petapa) yang
sangat sakti mandraguna di tengah rimba belantara, di puncak gunung.
Biasanya
dalam pakem cerita, sang ksatria jatuh cinta kepada putri begawan yang cantik
jelita. Akhirnya mereka pun menikah dan melahirkan seorang putra yang bagus
(bahasa Jawa, artinya: tampan) rupawan, seperti artis idola zaman sekarang:
Ahmad Al Ghazali atau yang biasa dipanggil ”Al”. Ketika sang ksatria pulang
ke kerajaannya, ksatria putra bagus berwajah Al itu tinggal di pertapaan,
belajar ilmu kasekten, mengikuti jejak ayahnya.
Pada
suatu hari, dia pun akan menjadi ksatria yang lebih sakti dari ayahnya,
tetapi tidak ada yang mengenalnya, karena selama ini dia dipingit (
diisolasi) di pertapaan di atas gunung. Dialah yang dinamakan ”satria
piningit” . Ketika pada suatu ketika kerajaan ayahnya sedang porak-poranda,
yang dalam ramalan Joyoboyo disebutkan sebagai ”...banjir bandhang ono ngendhi-endhi, ghunung njebhlug tan
anjharwani, tan angimpeni...”, yang artinya dalam bahasa Indonesia ”...dilanda banjir dan gempa bumi, gunung
meletus, konflik sosial, huru-hara pilkada, diserang wabah MERS dan listrik
PLN mati melulu...,” maka datanglah Satria Piningit yang dibantu oleh
para dewa untuk membantu ayahandanya.
Dengan
kedatangan Satria Piningit, maka kaburlah para raksasa dan ruh jahat, bencana
alam mereda, kerusuhan padam, tetapi listrik justru menyala kembali. Negara
pun kembali tenang, tata tentrem kerta raharja (aman sejahtera). Orang Jawa
(dan juga kebanyakan orang Indonesia) sangat percaya pada mitos Satria
Piningit ini. Karena itu pada setiap pergantian kekuasaan, selalu diharapkan
hadirnya satria piningit yang datang di ajang goro-goro (istilah wayang di
mana setan dan raksasa jahat memorak-porandakan jagat raya) dan mengusir
semua bencana sehingga situasi negara bisa kembali aman dan terkendali.
Di zaman
pasca-Perang Dunia II, hadir Bung Karno, satria piningit untuk memproklamasikan
NKRI. Ketika Bung Karno mulai kelihatan gagal memimpin negara, datanglah
satria piningit berikutnya, Soeharto, yang entah dari mana, tiba-tiba muncul
untuk menyelamatkan perekonomian negara. Setelah itu giliran satria piningit
SBY hadir untuk membereskan pekerjaan presiden- presiden pasca-Soeharto. Dan
setelah SBY bolak-balik didemo lantaran kasus Bank Century dan banyak kasus
yang lain, terjadilah Pemilu 2014 sekarang ini.
Reaksi
masyarakat pun sama, mengharapkan hadirnya seorang satria piningit lagi.
Siapakah satria piningit itu? Jokowi atau Prabowo? Siapa begawan-begawan yang
telah mengajarkan mereka ilmu kasekten ? Tidak ada yang tahu. Yang jelas saat
ini rakyat Indonesia terbagi dua antara pendukung Jokowi dan penganut
Prabowo. Dua-duanya bersemangat, dua-duanya militan.
Tetapi
siapa pun yang nanti jadi presiden, akan menghadapi tugas yang mahaberat
selama mentalitas satria piningit masih ada. Mentalitas ini menunjukkan sikap
menyerahkan segala persoalan kepada yang berkuasa, kepada raja, atau pemerintah,
bahkan kepada Tuhan. Seringnya seruan ”Allahu
Akbar” yang diteriakkan dalam unjuk rasa, konflik sosial, bahkan dalam
mendukung salah satu capres menunjukkan sikap yang sama saja dengan
kepercayaan kepada satria piningit, yaitu yang dalam istilah psikologi
disebut locus of control external.
Psikolog
JB Rotter (1954) mengemukakan bahwa ada dua tipe manusia, jika dilihat dari
pusat kendali (locus of control )
atas perilakunya sendiri. Pertama locus
of control external (LoCE) dan yang kedua adalah locus of control internal (LoCI). Orang-orang dengan LoCI percaya
bahwa segala sesuatu (kegagalan maupun keberhasilannya) adalah hasil
perbuatan dia sendiri. Kalau dia lulus ujian, karena ia merasa telah belajar
giat, kalau gagal ia merasa karena kurang serius belajar. Sebaliknya seorang
LoCE, kalau lulus adalah berkat Yang Mahakuasa (karena itu ia salat hajat
sebelum ujian), sedangkan kalau tidak lulus karena dosennya sentimen padanya.
Maka
orang yang percaya pada satria piningit menurut pendapat saya adalah orang-orang
LoCE. Sifat kebanyakan orang Indonesia yang LoCE bisa dengan mudah kita lihat
dalam kehidupan sehari-hari. Pada setiap keramaian sampah dibuang sembarangan
dan berserakan ke mana-mana, karena orang percaya bahwa nanti kan ada tukang
sampah yang membersihkan. Kalau ada kecelakaan lalu lintas sopir menyalahkan
nasib, padahal dia yang lupa menyervis rem kendaraannya. Kalau banjir, minta
bantuan pemerintah, atau mengeluh bahwa pemerintah lamban mengedrop bantuan,
padahal penduduk sendiri yang membuangi sampah di kali.
Begitu
juga dengan pilpres. Rakyat sudah pasti mengharapkan siapa pun yang terpilih
bisa segera memakmurkan rakyat, menyediakan sekolah dan pengobatan gratis
serta lapangan kerja dan sebagainya. Padahal, siapa pun yang terpilih jadi
presiden akan menghadapi tantangan yang terberat, yaitu sikap LoCE yang masih
sangat kuat, bukan hanya pada rakyat, tetapi juga pada jajaran aparat dan
birokrasi pemerintah. Sikap ini harus secepatnya diubah. Dari sikap LoCE
menjadi LoCI. Seluruh lapisan masyarakat harus diajak kerja keras. Pasal 33
UUD 45 harus dicapai melalui keringat semua insan Indonesia.
Aparatur
pemerintah harus mewujudkan rencana Presiden dengan membantu, memudahkan dan
memfasilitasi masyarakat yang akan bekerja. Kapal-kapal modern untuk para
nelayan, jaringan irigasi dan distribusi pupuk murah untuk petani,
pembangunan infrastruktur jalan raya dan seterusnya dan semuanya harus
dibangun dengan duit pemerintah (dari pajak rakyat) atau dari uang investor
ditopang oleh tenaga rakyat. Jangan lagi ada ganjal-mengganjal, jangan lagi
ada BLT (Bantuan Langsung Tunai), karena BLT bisa berarti ”bukan langkah terpuji”. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar