Nota
Kecil untuk Badan Bahasa
Sudaryanto
; Dosen FKIP UAD, Pengajar Tamu Bahasa Indonesia
di Guangxi
University for Nationalities, Nanning, Tiongkok
|
HALUAN,
24 Mei 2014
Kongres
Bahasa Indonesia (KBI) X di Jakarta telah tujuh bulan berlalu, sejak Oktober
2013. Lewat kongres itu pula, dihasilkan 33 butir rekomendasi yang menjadi
keputusan KBI X. Salah satu butirnya ialah mendorong bahasa Indonesia agar
bisa dipelajari dan dikenalkan di berbagai negara, termasuk di Tiongkok.
Pertanyaannya kini, apakah butir rekomendasi ini sudah terlaksana? Jika ya,
apakah berhasil atau sebaliknya? Apa-apa saja yang dapat dicatat di sini?
Dalam
pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar FKIP UNS, Andayani (2013)
menyatakan, semakin banyak negara yang mengajarkan bahasa Indonesia sebagai
bahasa asing kedua setelah bahasa Inggris. Dia mencatat, di Australia
terdapat 500 sekolah tingkat menengah yang sudah mengajarkan bahasa
Indonesia. Demikian pula, catatnya, di kawasan Asia Tenggara atau ASEAN yang
telah memiliki pusat studi bahasa Indonesia seperti di Thailand.
Di
Tiongkok, pada 23 Maret 2012 lalu, Mendikbud telah meresmikan Indonesia
Center (Pusat Studi Indonesia) di Beijing Foreign Studies University (BFSU).
Prof Wu Wenxia, seorang pensiunan pengajar bahasa Indonesia di BFSU, diangkat
menjadi Direktur Indonesia Center. Peresmian Indonesia Center di BFSU kian menunjukkan
betapa bahasa Indonesia telah dikenal dan dipelajari oleh mahasiswa Tiongkok.
Beberapa Catatan
Saya
merasa perlu memberikan beberapa catatan, khususnya yang terkait dari Tiongkok.
Pertama, prodi Bahasa Indonesia di sejumlah kampus di Tiongkok mengalami
krisis staf pengajar. Saya catat, selain BFSU, masih ada empat kampus milik
pemerintah yang menaungi prodi Bahasa Indonesia. Keempatnya ialah Peking University,
Guangdong Foreign Studies University, Guangxi University for Nationalities
(GXUN), dan Shanghai Internasional Studies University.
Prodi
Bahasa Indonesia GXUN, misalnya, hanya memiliki tiga staf pengajar lokal dan
seorang staf pengajar asing (tamu dari Indonesia). Sementara itu, merujuk Han
(2012), prodi Bahasa Indonesia BFSU hanya memiliki seorang Prof Wu Wenxia.
Lantas, prodi Bahasa Indonesia Peking University hanya memiliki dua orang
staf pengajar lokal, Prof Liang Liji dan Prof Kong Yuanzhi. Kondisi serupa
juga terjadi di kampus swasta di Tiongkok.
Di
Xiangsihu College, misalnya, prodi Bahasa Indonesia hanya memiliki dua staf pengajar
lokal minus staf pengajar asing. Padahal, jumlah mahasiswa prodi Bahasa Indonesia
Xiangsihu College cukup banyak sekitar 20 orang per angkatan. Belum lagi
mahasiswa jurusan lainnya yang mengambil mata kuliah Bahasa Indonesia sebagai
bahasa asing mereka. Bisa Anda bayangkan, betapa padatnya jadwal mengajar
kedua staf pengajar lokal tersebut.
Kedua,
prodi Bahasa Indonesia di sejumlah kampus di Tiongkok mengalami krisis bahan
bacaan. Mengutip Han (2012), karena adanya keterbatasan sumber bacaan dan
tenaga ahli bahasa Indonesia saat itu, akhirnya Prof Liji dan Prof Yuanzhi
memilih lebih menekuni bahasa Melayu. Di perpustakaan kampus GXUN, alih-alih
menjumpai koran berbahasa Indonesia, justru yang ada buku-buku tebal
berbahasa Mandarin. Di mana sumber bacaan bahasa Indonesia?
Hemat
saya, keberadaan sumber bacaan bahasa Indonesia sangatlah penting. Betapa
tidak, mahasiswa Tiongkok yang kuliah di prodi Bahasa Indonesia dan mengambil
mata kuliah Bahasa Indonesia dapat mengetahui seluk-beluk informasi mengenai
Indonesia dari bacaan yang dibacanya. Bahkan, jika perlu, sumber bacaan juga
berbentuk e-book atau e-paper sehingga dapat dibaca di mana
pun, baik di kelas, di taman, maupun di asrama mahasiswa.
Saya
pikir, pihak Badan Bahasa tak akan keberatan jika mengirimkan sumber bacaan
berbahasa Indonesia per bulan ke seluruh kampus di Tiongkok yang memiliki
prodi Bahasa Indonesia. Apalagi, jika hal itu telah didukung oleh
pemerintah Tiongkok melalui Kedutaan Besar RRT di Jakarta, misalnya. Jadi,
Badan Bahasa tidak perlu repot-repot membayar ongkos kirimnya. Apakah hal itu
mungkin terjadi? Jawabnya: kenapa tidak!
Ketiga,
prodi Bahasa Indonesia di sejumlah kampus di Tiongkok mengalami krisis
komitmen pemerintah. Di Peking University, prodi Bahasa Indonesia digabungkan
dengan prodi Bahasa Melayu, padahal tata bahasa antarkeduanya jauh berbeda
meski serumpun. Alhasil, pola pembelajaran di prodi tersebut lebih mengarah
ke pembelajaran bahasa Melayu. Ditambah lagi Prof Liji diberikan medali
kehormatan oleh PM Malaysia Abdullah Ahmad Badawi pada 2004 lalu.
Sampai
hari ini, saya belum pernah dengar berita penganugerahan medali kehormatan
kepada Prof Wu Wenxia, atas jasa-jasanya mempromosikan bahasa Indonesia dari
Presiden SBY. Juga, saya belum pernah dengar berita penganugerahan serupa
kepada para dosen Indonesia yang telah mengajar bahasa Indonesia di luar
negeri. Di UNY, misalnya, ada Dr Nurhadi dan Ari Kusmiatun yang telah mengajar
bahasa Indonesia di Thailand dan Tiongkok.
Catatan Penutup
Sebagai
penutup, saya perlu sampaikan dua hal berikut ini. Pertama, pihak Badan
Bahasa dan Dikti perlu bekerja sama untuk mengatasi krisis staf pengajar
asing atau tenaga ahli bahasa Indonesia. Dikti dapat berkoordinasi dengan
seluruh universitas negeri dan swasta yang memiliki prodi Bahasa Indonesia,
seperti UI, UNJ, UMJ, UPI, Unpas, dan sebagainya. Tiap-tiap staf pengajar
yang dikirimkan diikat kontrak mengajar selama setahun di luar negeri, termasuk
di Tiongkok.
Kedua,
pihak Badan Bahasa dapat mengusulkan kepada Presiden SBY untuk memberikan
medali kehormatan kepada para pengajar bahasa Indonesia di luar negeri.
Misalnya, Prof Berthold Damhauser yang menjabat Ketua Jurusan Bahasa
Indonesia di Universitas Bonn, Jerman. Lantas, Prof Wu Wenxia (BFSU) dan Prof
Yuanzhi (Peking University). Mereka telah berjasa dalam mempromosikan bahasa
Indonesia di negaranya masing-masing.
Akhir
kata, seperti halnya nota, tulisan ini saya tujukan kepada pihak Badan Bahasa
agar lebih serius dalam menangani program Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing
(BIPA) di luar negeri, termasuk di Tiongkok. Di samping itu, yang tak kalah
penting ialah adanya pemberian medali kehormatan bagi para pengajar bahasa
Indonesia di luar negeri, baik pengajar yang berasal dari dalam negeri (baca:
orang Indonesia sendiri) maupun luar negeri. Semoga! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar