Sabtu, 24 Mei 2014

Antara Popularitas dan Strategi

Antara Popularitas dan Strategi

James Luhulima  ;   Wartawan Senior Kompas
KOMPAS,  24 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
AKHIRNYA hanya dua calon presiden yang maju dalam pemilihan umum presiden secara langsung pada 9 Juli mendatang. Calon presiden pertama adalah Joko Widodo, Gubernur DKI Jakarta. Joko Widodo diajukan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, yang meraih 18,95 persen suara dari 124.972.491 suara sah nasional dalam pemilihan umum legislatif atau 109 kursi dari 520 kursi di DPR, Partai Nasdem (6,72 persen suara, 35 kursi), Partai Kebangkitan Bangsa (9,04 persen suara, 47 kursi), dan Partai Hanura (5,26 persen suara, 16 kursi). Secara total, Jokowi mendapatkan dukungan 39,97 persen suara (49.962.738 pemilih) atau 207 kursi DPR (37 persen dari kursi DPR).

Sementara capres kedua adalah Prabowo Subianto. Prabowo diajukan Partai Gerindra (11,81 persen suara, 73 kursi), Partai Persatuan Pembangunan (6,53 persen suara, 39 kursi), Partai Amanat Nasional (7,57 persen suara, 49 kursi, Partai Keadilan Sejahtera (6,79 persen suara, 40 kursi), Partai Golkar (14,75 persen suara, 91 kursi), dan Partai Bulan Bintang (1,46 persen suara, 0 kursi). Secara total, Prabowo mendapatkan dukungan 48,93 persen suara (61.137.746 pemilih) atau 292 kursi DPR (52 persen dari kursi DPR).

Menarik untuk melihat hasil pertarungan dari kedua capres itu karena pemilu presiden langsung pada 9 Juli mendatang merupakan pertarungan popularitas melawan strategi.

Dalam survei yang diadakan harian Kompas, awal Januari 2014, Jokowi memiliki tingkat elektabilitas yang tertinggi, yakni 43,5 persen, dan Prabowo di tempat kedua dengan angka 11,5 persen. Namun, dalam pemilu legislatif, 9 April lalu, raihan suara PDI-P dengan mengusung Jokowi sebagai calon presiden hanya 18,95 persen. Dalam survei Kompas, sebelum Jokowi ditempatkan sebagai capres, diperkirakan perolehan suara PDI-P 21,8 persen dan dengan kehadiran Jokowi sebagai capres diperkirakan raihan suara PDI-P akan lebih tinggi. Namun, ternyata keadaan tidak seperti itu. Total raihan suara PDI-P dalam pemilu legislatif ternyata 2,85 persen lebih rendah daripada yang diperkirakan survei.

Orang dapat berdebat mengenai faktor Jokowi berpengaruh atau tidak, tetapi sulit membuktikan kebenarannya, kecuali jika pemilu legislatif diadakan dua kali, satu kali tanpa menempatkan Jokowi sebagai capres dan yang kedua dengan menempatkan Jokowi sebagai capres. Namun, dengan Jokowi sebagai capres, raihan suara PDI-P 4,95 persen lebih besar daripada hasil pemilu legislatif pada tahun 2009, yang hanya 14,03 persen.

Adapun Gerindra, yang dalam survei Kompas, diperkirakan meraih 11,5 persen suara, ternyata dalam pemilu legislatif meraih 11,81 persen atau 0,31 persen lebih tinggi daripada yang diperkirakan survei. Itu suatu raihan suara yang cukup baik. Capaian tersebut tidak terlepas dari strategi tepat yang dilakukan Gerindra.

Ada hal lain yang juga harus diperhitungkan dalam Pemilu Presiden 2014 ini, apakah masyarakat dapat menerima Jokowi dipasangkan dengan Jusuf Kalla? Hal sama juga berlaku bagi Prabowo. Apakah masyarakat dapat menerima Prabowo dipasangkan dengan Hatta Rajasa?

Melihat semua perkembangan akhir-akhir ini, baik PDI-P dan kawan-kawan maupun Gerindra dan kawan-kawan harus berusaha sebaik-baiknya untuk dapat meraih kemenangan dalam pemilu presiden yang akan berlangsung 46 hari ke depan. Pertarungan pasti sangat sengit, tidak ada yang meragukan hal itu, tinggal kita menunggu mana yang lebih berhasil, popularitas atau strategi yang tepat.

Kali ini Gerindra dan kawan-kawan maju ke pemilu presiden dengan amunisi yang lebih besar daripada PDI-P dan kawan-kawan. Gerindra dan kawan-kawan maju dengan 48,93 persen suara atau 292 kursi (52 persen dari kursi DPR), sedangkan PDI-P dan kawan-kawan maju dengan 39,97 persen suara atau 207 kursi (37 persen dari kursi DPR). Itu jauh di atas presidential threshold, yang mensyaratkan 25 persen suara atau 20 persen dari kursi DPR.

Namun, hasil pemilu presiden pada masa lalu memperlihatkan bahwa suara atau kursi yang banyak itu tidak cukup untuk meraih kemenangan dalam pemilu presiden. Dalam pemilu legislatif pada tahun 2004, urutan teratas diraih Golkar dengan 23,27 persen dan PDI-P di urutan kedua dengan 19,82 persen. Sementara Partai Demokrat berada di urutan keempat dengan 10 persen.

Ketika pemilu presiden berlangsung, dalam putaran pertama, Golkar yang mengajukan Wiranto dan Salahuddin Wahid hanya meraih suara 22,19 persen, sedangkan PDI-P yang mengajukan Megawati Soekarnoputri dan Hasyim Muzadi meraih 26,24 persen. Adapun Demokrat yang mengajukan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla meraih 33,58 persen. Karena dalam putaran pertama tidak ada yang meraih suara 50 persen plus satu, dua calon presiden yang meraih suara terbanyak maju ke putaran kedua. Dan, dalam putaran kedua, Yudhoyono dan Kalla meraih 60,62 persen, sedangkan Megawati dan Hasyim meraih 39,38 persen.

Pemilu Presiden 2009 dianggap sebagai pengecualian. Popularitas Presiden Yudhoyono membuat Partai Demokrat dalam Pemilu Legislatif 2009 meraih urutan pertama dengan 20,85 persen. Dan, dalam pemilu presiden, Yudhoyono yang dipasangkan dengan Boediono menang dengan 60,80 persen dalam satu putaran.

Kini, ketika Yudhoyono tidak dapat dicalonkan lagi, dalam pemilu legislatif, Demokrat hanya menempati urutan keempat dengan 10,19 suara. Demokrat telah mencoba memancing perolehan suara dengan mengadakan konvensi untuk memilih calon presiden yang akan diajukan Demokrat, tetapi ternyata upaya itu tidak memberi hasil sebagaimana yang diinginkan.

Yang paling menyedihkan adalah Golkar. Dalam Pemilu Legislatif 2014, Golkar berhasil menempatkan diri di urutan kedua dengan raihan suara 14,75 persen, tetapi tidak berhasil mengajukan calon presiden yang diusungnya. Kalah dengan Gerindra, yang berada di urutan ketiga dengan raihan suara 11,81 persen. Golkar yang seharusnya dapat mengambil keuntungan dari posisinya di tempat yang kedua malah mengalami perpecahan di dalam. Ketika calon presiden yang diusungnya tidak laku dijual, Golkar malah memaksakan calon presidennya, tetap menjadi calon presiden atau calon wakil presiden, sehingga Golkar sulit melakukan manuver. Dan, ketika pada akhirnya Golkar memutuskan mendukung Prabowo, banyak tokohnya yang menentang.

Pemilihan Gubernur DKI Jakarta pun memperlihatkan bahwa dukungan dari banyak partai saja tidak cukup. Itu sebabnya, PDI-P dan kawan-kawan serta Gerindra dan kawan-kawan harus bekerja sekeras mungkin untuk keluar sebagai pemenang. Kita tunggu….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar