Memahami
Pentingnya Kebijakan Ekonomi
Bismar
Nasution ; Guru Besar Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara
|
TEMPO.CO,
24 Mei 2014
Fredrich
August Hayek (1899-1992), pemenang Hadiah Nobel pada 1974, telah memusatkan
perhatiannya pada persoalan membentuk dan membatasi kebijakan ekonomi
pemerintah. Ia mengartikan kebijakan sebagai "upaya pemerintah mencapai tujuan sehari-hari yang konkret dan
senantiasa berubah". Hayek juga mengatakan, "menerapkan kebijakan
dalam pengertian tersebut merupakan tugas administrasi untuk mengarahkan dan
mengalokasikan sumber daya yang tersedia bagi pemerintah guna memenuhi
kebutuhan masyarakat yang senantiasa berubah".
Pandangan
Hayek tersebut dimaksudkan untuk mendisiplinkan pemerintah dalam pengambilan
kebijakan ekonomi sebagai respons terhadap krisis ekonomi pada 1930 yang
dikenal dengan Great Depression
atau Black Tuesday yang terjadi di
Amerika Serikat. Pada waktu itu, Keyness, melalui bukunya, General Theory, mendesak pemerintah
agar mengambil langkah-langkah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi (governmental intervention) sebagai
upaya menyelamatkan perekonomian AS.
Atas
dasar pandangan Keyness tersebut, Presiden Franklin D. Roosevelt mengeluarkan
kebijakan yang kita kenal dengan The
New Deal Program. Inti pendapat Keyness adalah agar pemerintah mendukung
pembangunan proyek-proyek kebutuhan sosial, pembangunan perumahan, rumah
sakit, dan sekolah-sekolah. Di bidang keuangan, pemerintah mengeluarkan
kebijakan baru berupa penerbitan Undang-Undang Perbankan, Undang-Undang Pasar
Modal, dan Undang-Undang Lembaga Penjaminan Simpanan. Sejak itu, pemerintah
AS mendelegasikan pengaturan ekonomi ke tangan pemerintah federal.
Secara
ringkas dapat dikatakan bahwa ketiga undang-undang itu berkenaan dengan
industri keuangan yang diatur secara ketat oleh pemerintah federal. Misalnya,
memisahkan antara kegiatan di perbankan dan pasar modal. Ketika pada 2008
terjadi lagi krisis keuangan di AS, pertanyaan yang sama terulang kembali,
yaitu apakah pemerintah perlu mengatur dengan ketat atau detail industri
keuangan. Jawabannya adalah penerbitan undang-undang lembaga keuangan yang
dikenal dengan Dodd-Frank Act, yang
intinya membatasi keleluasaan industri keuangan untuk menjual produk keuangan
dan/atau mengembangkan bisnis.
Indonesia
juga terimbas krisis keuangan pada 2008 tersebut. Untuk mengatasinya,
pemerintah Indonesia menerbitkan tiga Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
(Perpu) yang berkenaan dengan bantuan kepada bank yang mengalami kesulitan
likuiditas dengan mengajukan permohonan kepada Bank Indonesia untuk
memperoleh Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) dan Perpu yang bertujuan
meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan dengan cara
meningkatkan jumlah simpanan nasabah yang dijamin oleh LPS serta Perpu
tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan.
Ketiga
Perpu tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan serangkaian kebijakan yang
diambil oleh Bank Indonesia, LPS, dan KSSK yang antara lain dalam bentuk
penyempurnaan beberapa peraturan di bidang perbankan. Di sini, perlu diingat
bahwa salah satu syarat pengaturan yang baik adalah dengan memperhatikan
interaksi antar-tiga dimensi, yaitu ekonomi, politik, dan hukum, dalam proses
pembentukan suatu institusi.
Konkretnya,
bentuk pengaturan institusi harus meminimalkan pengaruh negatif dari
pemerintah, pengaruh negatif dari industri keuangan, dan terakhir
kesewenang-wenangan oleh institusi itu sendiri. Sejalan dengan Hayek,
terutama memusatkan perhatian pada persoalan membentuk dan membatasi
kebijakan ekonomi pemerintah. Hayek tidak mendukung pemerintah yang pasif,
melainkan yang mengupayakan berbagai manfaat bagi masyarakat. Ia mengatakan
tujuan akhir kebijakan adalah harus memenuhi kebutuhan atau kepentingan
masyarakat.
Sebagaimana
halnya dengan ajaran Hayek, bahwa intervensi pemerintah harus memenuhi
disiplin tertentu, dalam membuat kebijakan pemerintah harus memperhatikan
asas-asas umum penyelenggaraan negara sebagaimana ditentukan dalam Pasal 3 UU
Nomor 28 Tahun 1999, yaitu asas kepastian hukum, tertib penyelenggaraan
negara, kepentingan umum, keterbukaan dan proporsionalitas, profesionalitas,
serta asas akuntabilitas.
Sayangnya,
undang-undang yang dimaksudkan tidak memberi jawaban kepada pemerintah jika
terjadi krisis. Karena itu, penilaian terhadap kebijakan pemerintah sebagai
tindak lanjut pelaksanaan Perpu harus juga memperhatikan ketentuan yang
dimuat dalam Perpu sebagai dasar hukum yang membolehkan lembaga-lembaga yang
bertanggung jawab di bidang keuangan mengambil kebijakan-kebijakan ekonomi
menghadapi krisis. Meski begitu, semua kebijakan yang diambil pasti sudah
memperhatikan ketentuan UU Nomor 28 tersebut.
Singkat
kata, standar tertinggi yang dipakai untuk menilai kebijakan adalah
kepentingan masyarakat. Hal itu perlu menjadi pemahaman manakala pemerintah
dihadapkan pada kondisi harus membuat suatu kebijakan dalam situasi yang
tidak normal atau keadaan krisis. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar