Bahasa
Figuratif Jelang Pilpres
Fanny
Henry Tondo ; Peneliti pada Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan
Kebudayaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PMB-LIPI)
|
SINAR
HARAPAN, 24 Mei 2014
Genderang
perang menuju RI 1/RI 2 baru saja ditabuh. Deklarasi dua pasangan
capres-cawapres yang akan bertarung pada (Pemilihan Presiden) Pilpres 9 Juli
2014 menjadi awalnya. Pasangan Jokowi-Jusuf Kalla melakukan deklarasi di
Gedung Joeang ‘45 pada 19 Mei 2014.
Sementara
itu, pasangan Prabowo-Hatta melangsungkan deklarasinya di Rumah Polonia, eks
kediaman Bung Karno di Jakarta Timur. Sesudah deklarasi kedua pasangan
langsung mendaftarkan diri ke KPU.
Bagaimana
pertarungan kedua kubu ini nanti dan bagaimana peranan bahasa figuratif yang
sering digunakan para elite partai untuk kemenangan jagoan mereka? Tampaknya
permainan bahasa ini akan tetap mewarnai tahapan pilpres nanti untuk
menyerang pihak lawan.
Sindiran
Bentuk
bahasa ini digunakan dalam semua domain komunikasi, termasuk dalam wacana
politik. Produk wacana politik dapat berupa pidato, kampanye, pernyataan
politik, atau laporan kegiatan politik (Sharifian,
2011).
Maksud
penggunaan bentuk bahasa ini dalam wacana politik, yaitu untuk mencapai makna
atau efek tertentu atau untuk menciptakan kepelikan yang dapat menyebabkan
misinterpretasi atau memanipulasi pikiran. Tentunya hal ini dilakukan dengan
maksud merugikan pihak lawan. Konsekuensinya mendatangkan keuntungan bagi
partai atau capres-cawapresnya.
Dalam
pemilihan legislatif (pileg), bahasa figuratif ini cukup mendominasi ruang
publik, misalnya yang dapat disaksikan pada kampanye atau yang dapat
didengarkan dan dibaca melalui media massa.
Bahasa
figuratif atau kiasan yang mengandung sindiran atau ironi antara lain dapat
diperhatikan pada puisi yang disampaikan Prabowo dalam kampanye di Lapangan
Wagimin Jambe, Tabanan, Bali. Puisi yang sama dibacakan juga di Lapangan GBK,
Senayan, Jakarta.
Puisi
tersebut berbunyi: “Boleh berbohong
asal santun, boleh mencuri asal santun, boleh korupsi asal santun, boleh
menipu rakyat asal santun, boleh menjual negeri pada orang lain asal santun,
boleh merampok asal santun”.
Secara
kasatmata, puisi ini bertaburan dengan kata kerja atau verba, seperti
berbohong, mencuri, menipu, dan seterusnya. Secara eksplisit tidak jelas
ditujukan kepada siapa karena dalam kalimat-kalimatnya tidak mengandung
subjek. Hal ini tentunya dapat menimbulkan misinterpretasi.
Namun,
dalam konteks kampanye tentunya masyarakat sudah bisa memahami pihak mana
yang menjadi tujuan karya sastra tersebut. Kalau diperhatikan, bahasa
figuratif dalam karya sastra tersebut sebenarnya bermakna kebalikannya, yaitu
“tidak boleh berbohong, tidak boleh
mencuri, dan seterusnya”. Dengan demikian, jelas bentuk-bentuk bahasa
tersebut merupakan sindiran.
Ada pula
puisi “Air Mata Buaya” yang
merupakan sajak sindiran Gerindra terhadap Jokowi dan Megawati, yang dinilai
mengingkari komitmen Batu Tulis tahun 2009. Namun, PDIP memiliki perspektif
lain dalam memahami pertemuan Batu Tulis tersebut.
Tidak
sampai di situ, pihak Gerindra terus menyindir PDIP dengan menciptakan sebuah
puisi berjudul “Raisopopo”. Puisi
yang ditulis Fadli Zon, Waketum Gerindra tersebut, diharapkan memiliki efek
terhadap pencalonan Jokowi sebagai capres dari PDIP.
Walaupun
PDIP diharapkan tidak terpancing dengan penggunaan bahasa-bahasa figuratif
dari Gerindra, pihak PDIP ternyata tidak kalah.
Sebelum
deklarasi Jokowi-JK, Sekjen PDIP, Tjahjo Kumolo, sempat mengeluarkan bahasa
figuratif, yaitu “Lulus jenderal dan
tidak dipecat, TNI yang benar-benar TNI, menjalankan sumpah prajurit
saptamarga. Tidak dipecat sampai jabatan tertinggi panglima ABRI dan menjadi
menteri pertahanan”.
Rangkaian
konstruksi kalimat tersebut memang ditujukan kepada Pak Wiranto, tetapi
sebenarnya ini merupakan sindiran terhadap Pak Prabowo.
Apakah
bentuk-bentuk bahasa tersebut cukup efektif dalam menyerang lawan dan membawa
kemanfaatan bagi partai atau capres-cawapres yang dijagokan? Kalau
dibandingkan hasil suara Partai Gerindra, misalnya, pada Pileg 2009 dan 2014,
terjadi peningkatan sebesar 200 persen. Artinya,
kalau pada Pileg 2009 hanya memperoleh 26
kursi, pada 2014 partai ini meraih 73
kursi. Sebuah peningkatan yang signifikan.
Namun,
apakah peningkatan jumlah kursi tersebut berkorelasi dengan penggunaan bahasa
figuratif? Bisa saja ada benarnya karena penggunaan bahasa figuratif
bermaksud memberikan efek tertentu. Jadi, para pemilih terpengaruh dan
memberikan suaranya kepada pihak pencetus bahasa figuratif tadi. Bisa jadi
bahasa figuratif turut berkontribusi terhadap capaian itu.
Tonjolkan Program
Memainkan
bahasa figuratif dalam pileg maupun pilpres nanti sah-sah saja, tetapi
hendaknya jangan sampai menjurus kepada apa yang dinamakan sebagai black campaign. Barangkali, sebaiknya
para pihak pendukung kedua pasangan capres-cawapres lebih mengutamakan
program dalam kampanye mereka nanti.
Mengutamakan
program lebih penting karena dengan menonjolkannya, masyarakat pemilih secara
lebih jernih dapat memberikan suaranya kepada pasangan yang menawarkan
program yang sesuai keinginan pemilih.
Tentunya,
program yang ditawarkan diharapkan dapat membawa kesejahteraaan (prosperity) bagi bangsa dan negara.
Selain itu, program yang dapat memberikan rasa aman bagi masyarakat (security).
Semoga
siapa pun pasangan capres-cawapres yang akan terpilih nanti dapat memberikan
kejayaan bagi Indonesia secara domestik dan global. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar