Mencari
Kursi di Mahkamah Konstitusi
Donal
Fariz ; Anggota Badan Pekerja
Indonesia Corruption
Watch (ICW), Divisi Korupsi Politik
|
KOMPAS,
26 Mei 2014
SESUDAH Komisi Pemilihan Umum menetapkan hasil
Pemilu Legislatif 2014, Mahkamah Konstitusi langsung dihadapkan pada
gelombang permohonan sengketa oleh para caleg yang tak puas. Mahkamah
Konstitusi (MK) dalam keterangan resminya mengabarkan bahwa mereka sudah
menerima setidaknya 767 sengketa Pemilu Legislatif 2014 (Kompas, 16/5).
Dibandingkan dengan Pemilu 2009, jumlah permohonan sengketa tahun ini naik
cukup signifikan. Sengketa pemilu lima tahun lalu tercatat 628 perkara.
Sembilan
hakim MK yang dipecah dalam tiga panel akan berkejaran dengan waktu untuk
bisa menyelesaikan tumpukan perkara yang masuk. Waktu mereka tak panjang.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 78 UU MK, tugas mereka dibatasi hanya selama 30
hari saja sejak perkara diregistrasi untuk memutuskan semua perkara tersebut.
Alhasil
saat ini MK bak keranjang sampah pemilu. Berbagai perkara masuk, mulai dari
jenis perkara seorang caleg tengah mencari keadilan karena telah dicurangi
hingga jenis caleg yang hanya mencari untung saja, syukur-syukur kalau MK
mengabulkan.
Jenjang masalah
Memang
disadari, sengketa pemilu tak terhindarkan. Kursi yang tersedia hanya 19.699
kursi di pelbagai tingkat dan terbagi pada 2.471 daerah pemilihan. Angka itu
sangat kontras dengan lebih kurang 200.000 caleg yang memperebutkannya. Menggunakan
teori peluang, jumlah kontestan yang tak sebanding dengan jumlah kursi akan
membuat persaingan semakin keras.
Walaupun
sengketa tak terhindarkan, secara kuantitas tetap bisa ditekan. Praktik di
banyak negara di dunia menunjukkan sengketa pemilu bisa ditekan bila setiap
jenjang penyelesaian masalah dan pelanggaran sudah bekerja sebagaimana
mestinya. Begitu pula sebaliknya. Semakin deras gelombang sengketa dari
pemilu ke pemilu menunjukkan bahwa mekanisme pengawasan dan penegakan hukum
pemilu di pelbagai tahap yang tersedia tidak berfungsi optimal.
Dalam
konteks nasional, walaupun kita sudah memiliki badan khusus yang mengawasi
pemilu/Bawaslu, realitas di lapangan menunjukkan keberadaan lembaga ini tidak
mampu menyelesaikan berbagai sengkarut dan pelanggaran pemilu. Inilah titik
awal masalah.
Mengacu
pada Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu, Bagian
Tugas, Wewenang dan Kewajiban Badan Pengawas Pemilu, maka lembaga pengawas
pemilu diberi mandat besar ihwal pengawasan pemilu itu sendiri. Bawaslu
diberi tanggung jawab mengawasi pergerakan surat suara dan berita acara
penghitungan suara di pelbagai tahap, yang selama ini dituding sebagai biang
kerok sengketa pemilu.
Tidak
hanya itu, Bawaslu juga diberi wewenang menerima laporan dugaan pelanggaran
pemilu dari masyarakat. Dengan lingkup tanggung jawab dan kewenangan yang
dimiliki Bawaslu, kita disadarkan: andaikan lembaga sebesar Bawaslu bekerja sebagaimana mestinya terkait
pelanggaran pemilu, tentu secara alamiah akan tersaring perkara yang akan
masuk ke MK nantinya. Maka, keadaan yang dihadapi MK saat ini tidak perlu
terjadi.
Bawaslu
yang ”gagal fungsi” dalam mengawasi pemilu bukan isapan jempol belaka.
Sejumlah sukarelawan pemantau pemilu yang dibentuk Indonesia Corruption Watch
(ICW) di 15 provinsi menyampaikan keluh kesah menyangkut kinerja mereka.
Beberapa
memberikan testimoni seperti tidak ditindaklanjutinya laporan yang masuk,
proses pemeriksaan yang berbelit-belit, hingga pelaku politik uang yang tak
kunjung dipanggil untuk diperiksa.
Kinerja
yang seadanya itu berakibat timbulnya ketidakpercayaan publik kepada
Bawaslu. Hal ini sesungguhnya bukan
cerita lama karena banyak kasus pilkada juga menunjukkan gejala yang sama.
Salah
satunya, tim sukses dan kandidat dalam pergelaran pemilu lebih banyak memilih
mendokumentasikan berbagai kecurangan lawan politiknya untuk kemudian
disengketakan di MK. Hal ini muncul sebagai reaksi atas ketidakpercayaan
kepada Bawaslu.
Mewaspadai MK
Sulit
dibantah bahwa sebenarnya kita tengah dihadapkan pada dilema penanganan
sengketa pemilu. Tidak hanya karena tingginya jumlah perkara yang masuk dan
sempitnya batas waktu penanganan perkara, tetapi juga MK sebagai pengadil
tengah berada dalam kondisi pincang. Kasus dugaan korupsi mantan Ketua MK
Akil Mokhtar telah mengikis wibawa MK secara kelembagaan. Kasus ini tengah
bergulir dan tidak tertutup kemungkinan akan meluas kepada pejabat hingga
hakim konstitusi yang lain.
Pada
saat yang bersamaan pula legitimasi yuridis dua hakim konstitusi dipertanyakan
karena keputusan presiden tentang pengangkatan hakim MK Patrialis Akbar dan
Maria Farida juga sudah dibatalkan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta
beberapa waktu yang lalu.
Maka,
rasa waswas adanya persekongkolan dalam penanganan sengketa pemilu di MK
tentu sangat tinggi. Terlebih lagi MK secara kelembagaan tampak enggan untuk
diawasi setelah mereka membatalkan UU Nomor 14/2014 tentang Penetapan Perppu
No 1 Tahun 2013 yang secara substansi mengatur desain pengawasan terhadap
mereka.
Tumpukan
perkara dan majelis hakim harus diawasi secara ketat. Kelompok masyarakat
sipil harus lebih intens mengawasi pemilu sampai garis finis (baca: MK) agar
putusannya tidak masuk angin. Para calon anggota badan legislatif yang
bersengketa saat ini berpotensi melakukan tindakan-tindakan curang saat
mencari kursi di Mahkamah Konstitusi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar