Desain
Ulang Raskin
Khudori
; Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat,
Pegiat
Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Penulis Buku ”Ironi Negeri Beras”
|
KORAN
SINDO, 24 Mei 2014
Program
beras untuk rakyat miskin (raskin) jadi sorotan. KPK meminta pemerintah
mendesain ulang program Raskin.
Dari
kajian KPK menemukan banyak penyelewengan dalam program Raskin. KPK menemukan
enam tidak tepat: tidak tepat sasaran, jumlah, mutu, waktu, harga, dan
administrasi. Bahkan, KPK mencium indikasi ada jaringan kartel penyaluran
raskin. Raskin yang seharusnya diterima rumah tangga sasaran justru dijual ke
pengepul, akhirnya beras itu dijual lagi ke rumah tangga sasaran.
Sebenarnya
penyelewengan Raskin bukan hal baru. Sejak program dimulai 15 tahun lalu,
sejumlah kajian menemukan adanya penyimpangan. Studi 35 perguruan tinggi
menyimpulkan efektivitas program Raskin berada di level sedang (Indef, 2004).
Saat itu beras apek dan berkutu, tidak tepat jumlah, tidak tepat harga dan
tidak tepat sasaran adalah keluhan yang selalu muncul. Survei penyaluran
Raskin oleh BPS, Januari– Maret 2013, menemukan, raskin dinikmati 31,23 juta
rumah tangga. Padahal, sasaran rumah tangga penerima raskin hanya 15,5 juta.
Artinya
separuh penerima itu tidak berhak. Dari lima lapisan masyarakat versi BPS,
lapisan 1 atau termiskin yang berjumlah 12,5 juta rumah tangga seharusnya
semua menerima raskin. Kenyataannya hanya 9,41 juta rumah tangga (75%) yang
menerima dengan jatah rata-rata bulanan 13,79 kg beras atau 92% dari
seharusnya (15 kg). Sebanyak 3 juta rumah tangga penerima Raskin sisanya
seharusnya di lapisan 2. Kenyataannya, di lapisan ini penerima raskin
berjumlah 8,4 juta rumah tangga atau 66,27% dari jumlah rumah tangga di
lapisan 2 dengan jatah 13,31 kg.
Ironisnya,
lapisan 3-5 yang seharusnya tidak kebagian justru mendapatkan raskin: 6,85
juta rumah tangga atau 54,25% dari rumah tangga lapisan 3; 4,88 juta rumah
tangga (38,6% dari lapisan 4); dan 1,71 juta rumah tangga (13,63% dari
lapisan 5). Melencengnya penyaluran raskin dan pelbagai program
antikemiskinan lain inilah yang membuat penurunan kemiskinan lambat. Dari
tiga strategi perlindungan sosial, raskin termasuk pendekatan yang dianjurkan
karena mencegah munculnya risiko (ex-ante)
warga miskin.
Kenaikan
harga kebutuhan pokok bakal memicu inflasi. Ini menggerogoti pendapatan riil
warga. Kelompok miskin yang porsi pengeluaran pangannya cukup besar, antara
60–75%, pasti menderita. Di masa lalu, keluarga penerima raskin mendapat 20
kg per bulan. Ini bisa memenuhi 40–60% total kebutuhan beras bulanan. Ini
memungkinkan mereka mempertahankan tingkat konsumsi energi dan protein.
Mereka tak banyak menyunat biaya pendidikan dan kesehatan buat pangan.
Keharusan
mendesain ulang program Raskin merupakan keniscayaan. Desain ulang bisa
dimulai dari penghapusan operasi pasar (beras). Di zaman Presiden Soeharto,
operasi pasar menuai kritik. Maka sejak 1998 operasi pasar beras
ditanggalkan, lalu diganti pendekatan subsidi terarah lewat Raskin. Tapi
sejak Presiden SBY beleid operasi
pasar kembali dipakai sebagai instrumen stabilisasi harga. SBY lupa, operasi
pasar beras tidak adil karena bukan hanya rakyat miskin, tapi kelompok kaya
dan pedagang/pengecer juga bisa menikmatinya. Kelompok terakhir ini bisa
membeli dan menyimpan beras dalam jumlah besar.
Setelah
ada raskin, seharusnya tak ada lagi operasi pasar beras. Saat keduanya
berlaku terjadi double standard:
subsidi umum dan subsidi terarah. Opsi penghapusan operasi pasar harus
dibarengi penyediaan data rumah tangga sasaran penerima raskin yang akurat
agar distribusi/penyaluran tak mengundang moral
hazard. Raskin memiliki kaitan kuat dengan program pengembangan SDM (horizontal integration) dan program
ketahanan pangan (vertical integration).
Sebagai
program yang bersifat transfer energi, keberhasilan Raskin akan membantu
keberhasilan program lain, seperti peningkatan kualitas nutrisi, kesehatan,
pendidikan dan produktivitas SDM. Jadi, Raskin bisa dipandang sebagai
investasi SDM yang lebih tahan berbagai risiko. Raskin juga bisa dipandang
sebagai indirect income transfer. Beras itu dibeli dari produksi petani kecil
yang rentan fluktuasi harga saat panen. Pembelian hasil produksi petani lewat
harga yang ditetapkan pemerintah (baca: harga pembelian pemerintah atau HPP)
merupakan bentuk perlindungan pada petani kecil agar mendapat insentif.
Jadi,
ada kaitan kuat antara program kesejahteraan petani melalui pembelian
pemerintah dengan pemberian subsidi beras murah lewat Raskin pada kelompok
miskin dan rawan pangan. Selama ini tujuan program Raskin bersifat parsial,
yakni sebagai transfer energi untuk peningkatan kualitas nutrisi, kesehatan,
pendidikan, dan produktivitas SDM. Raskin belum dipandang sebagai bagian dari
strategi stabilisasi harga gabah/ beras. Ini tampak dari anggaran Raskin yang
naik-turun, tergantung kepentingan politik penguasa. Ketika ada syahwat
politik penguasa, anggaran Raskin dibengkakkan.
Seharusnya
anggaran Raskin tidak semata-mata untuk memenuhi kepentingan transfer energi
kepada warga miskin, tapi dikaitkan dengan pagu pengadaan gabah/beras dalam
negeri untuk cadangan beras pemerintah (CBP). Besar-kecilnya CBP harus
dikaitkan dengan tujuan menyerap surplus produksi (gabah/ beras) petani agar
harga stabil. Desain ulang ini tak hanya menjamin Raskin tepat sasaran, pada
saat yang sama instabilitas harga gabah/ beras bisa dicegah.
Terakhir,
karena pangan bukan hanya beras, melanggengkan Raskin sama saja mengajari
warga daerah penghasil nonberas terus beradaptasi pada pangan (beras) yang
diintroduksi dari luar. Akibatnya, produk pangan lokal yang beraneka ragam
dengan segenap derivatnya musnah. Hilangnya pangan lokal berarti musnahnya
keanekaragaman hayati sekaligus kearifan lokal yang tak ternilai harganya.
Sebagai bagian desain ulang Raskin, ke depan perlu dipikirkan beras diganti
ekuivalen dengan pangan selain beras.
Karena
bukan lagi beras, Raskin diubah jadi pangkin (pangan untuk orang miskin).
Secara gradual, cara ini membuat budaya pangan lokal yang mati suri hidup
kembali. Ekonomi setempat menggeliat. Secara politik, stabilitas sosial akan
lebih terjamin karena warga tak lagi tergantung hanya pada beras. Sebagai
konsekuensinya, pelaksanaan pangkin harus didesentralisasikan ke daerah.
Desentralisasi
akan membuat pemda lebih bertanggung jawab mendistribusikan dan mengawasi
pelaksanaan pangkin. Tanggung jawab itu diwujudkan dengan pendataan warga
penerima secara tepat, pengadaan stok (pangan lokal) yang cukup, kualitas
pangan yang prima, dan tepat harga serta jumlah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar