Mengantisipasi
El Nino 2014
Paulus
Agus Winarso ; Pengajar Akademi
Meteorologi dan Geofisika
|
KOMPAS,
26 Mei 2014
MENJELANG kuartal II tahun 2014, media massa
Australia santer menginformasikan gejala alam global dengan naiknya suhu muka
air laut kawasan Samudra Pasifik sekitar Mei-Juli 2014. Informasi ini
diperkuat oleh Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA) yang dalam ”NASA Science News” 19 Mei 2014
menjelaskan, di perairan global ada indikasi akan hadirnya gejala alam yang
mirip dengan kegiatan El Nino periode 1997/1998.
El Nino
pada tahun 1997/1998 berdampak terhadap munculnya bencana kekeringan dan
kebakaran hutan di kawasan Asia dan Afrika, sebaliknya bencana banjir di
kawasan Amerika dan Eropa.
Di
Indonesia selain telah menghancurkan swasembada pangan juga melahirkan
bencana kebakaran lahan dan hutan. Untuk pertama kalinya, bencana asap meluas
dan merebak lintas batas (transboundary
haze pollution) ke negara-negara anggota ASEAN.
Organisasi
PBB seperti FAO dan UNESCO menyimpulkan, ada hubungan dampak bencana ini
dengan lahirnya krisis ekonomi global tahun 1998. Artinya, kegiatan gejala
alam El Nino dengan kenaikan suhu muka laut di kawasan Samudra Pasifik di
atas 3-4 derajat celsius dari normal bulanannya telah terjadi pada abad
ke-20. Akankah kondisi ini terulang sekarang? Penjelasan berbagai pusat iklim
negara yang lebih menguasai ilmu cuaca dan iklim global seperti Australia,
Jepang, Inggris, dan AS mengiyakan akan hadirnya kegiatan gejala alam yang
dampaknya pada kawasan global. Namun, beberapa kalangan pakar cuaca dan iklim
dari NOAA (Mike McPhaden dari NOAA’s
Pacific Environmental Laboratories di Seattle, AS) masih belum dapat
memastikan bahwa indikasi dan hasil pengamatan satelit pada 6 Mei 2014 akan
berlanjut dengan giatnya gejala alam El Nino seperti El Nino episode
1997/1998.
Karena
hingga kini masih belum ada informasi yang tersedia, tulisan ini akan mencoba
untuk meninjau situasi dan kondisi cuaca khususnya wilayah Indonesia. Ulasan
dan pemikiran ini bersifat pribadi yang terbuka untuk didiskusikan sebagai
langkah dan upaya mengantisipasi aktivitas El Nino 2014.
Curah hujan berkurang
Berdasarkan
kajian kegiatan El Nino periode sebelum 1980-1990 yang berlangsung di Pusat
Meteorologi dan Geofisika (PMG) atau BMKG sebelum tahun 1990, dampak gejala
alam El Nino 1981/1982 dan 1987/1988 adalah pengurangan curah hujan di
sebagian besar wilayah Indonesia tengah dan timur serta sebagian kecil
Indonesia bagian barat.
Pada
awal kegiatan El Nino turun hujan dengan kecenderungan curah hujan di atas
normal. Kajian terbatas ini memberi petunjuk bahwa sebelum episode gejala
alam El Nino meningkat, umumnya diawali dengan tingginya curah hujan di
sebagian besar kawasan Indonesia.
Kondisi
dampak mulai berubah kala memasuki periode El Nino terpanjang dalam catatan
sejarah kegiatan El Nino (episode 1991-1994) dan kegiatan El Nino tertinggi
kenaikan suhu muka air laut 1997/1998. Kedua kegiatan El Nino ini—dengan
kondisi curah hujan yang berbeda—berdampak pengurangan curah hujan.
Artinya,
kondisi alam khususnya peredaran udara selalu beragam dan berubah meski nama
kegiatan tetap sama.
Mengapa
dampak kegiatan gejala alam El Nino berbeda? Sebab, ada unsur pendukung lain
seperti intensitas matahari yang menjadi sumber energi bumi. Dengan
mempertimbangkan masih adanya kelemahan, para ahli cuaca dan iklim belum
berani memastikan akan hadirnya El Nino ini meski indikasi telah tampak bulan
Mei 2014 ini.
Dengan
perkembangan kondisi cuaca dan iklim kawasan Indonesia yang curah hujannya
masih berlangsung hingga menjelang akhir Mei 2014, sebenarnya ada kemiripan
dengan gejala setiap menjelang musim kemarau untuk sebagian besar wilayah
sejak 2010.
Musim
hujan 2013 juga berlangsung hingga Agustus 2013 dan musim kemaraunya
cenderung pendek. Apakah kondisi ini akan menghantar ke episode gejala alam
El Nino 2014? Ini tentu pertanyaan bagi kita yang ingin mengetahui
perkembangan kondisi cuaca dan iklim.
Di Jawa
khususnya ibu kota negara, Jakarta, hadirnya hujan yang mirip musim hujan
bulan Januari ini merupakan kondisi langka. Curah hujan berkepanjangan mulai
siang hingga malam meski mulai berkurang.
Dari
kondisi awan harian yang menunjukkan adanya pola awan di sekitar ekuator
merupakan bentuk adanya pumpun (pertemuan angin) yang dalam ilmu cuaca meteorologi disebut Inter Tropical Convergence Zone (ITCZ)/Zona
(Daerah) Pertemuan Angin Antar Tropik. Lebih jauh kondisi ITCZ terpantau
jelas pada setiap musim kemarau di sebagian besar wilayah Indonesia sejak
2010. Akankah kondisi akan berubah?
Untuk
menjawab ini, tentu penting mencermati dan memperhatikan dari perkembangan
kegiatan matahari khususnya perkembangan bintik (sunspot). Ada hubungan hampir linier bahwa naiknya sunspot akan
menaikkan pancaran radiasi ke bumi dan menaikkan suhu muka laut dan terjadi
El Nino. Data NASA menunjukkan, aktivitas sunspot
sangat tinggi 1985-1995 yang melahirkan El Nino terpanjang (1991-1994) dan
suhu laut tertinggi di Pasifik (1997/1998).
Kondisi 2014
Kini
tahun 2014 masuk dalam periode sunspot 2010-2020 dan saat ini hingga lewat
kuartal I tahun 2014 berada pada puncak. Namun, kegiatan ternyata cenderung
turun atau separuh dari kondisi sunspot sebelumnya.
Akibatnya
muka bumi cenderung dingin daripada hangat. Dengan mengacu pada kondisi ini,
maka yang akan berkembang adalah kegiatan episode dingin. Ini tecermin dari
pola aliran udara selama Mei 2014 yang menunjukkan belum hadirnya tekanan
rendah di belahan bumi utara di sekitar Asia Tenggara.
Kondisi cuaca
dan iklim yang kondusif dan cenderung basah sepertinya akan berlangsung dalam
satu hingga beberapa bulan mendatang. Adapun kegiatan El Nino 2014 kecil
peluangnya menyamai episode 1997/1998. Kecuali bila ada perkembangan kebumian
lain seperti letusan gunung di kawasan ekuator Indonesia yang mengubah sistem
peredaran udara ekuator.
Inilah
catatan dan opini pribadi yang setia mengamati dan memperhatikan kondisi
peredaran udara global, regional, dan lokal Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar