Sabtu, 24 Mei 2014

“Perlawanan” Ilmuwan Protembakau

“Perlawanan” Ilmuwan Protembakau

Purbayu Budi Santosa  ;   Guru Besar Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB)
Universitas Diponegoro
SUARA MERDEKA,  24 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
“Berpikir melawan arus ala Prof Sarjadi, secara aksiologi ilmu benar karena ilmuwan harus mencari Kebenaran”

SESAAT ketika hendak mengikuti upacara memperingati Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas), 20 Mei 2014, pesan singkat masuk ke ponsel saya. Isi pesan singkat itu mengabarkan keberpulangan Prof Dr dr Sarjadi SpPA, Guru Besar Fakultas Kedokteran Undip, yang juga Rektor Universitas Muria Kudus (UMK). Kendati  sama-sama anggota senat universitas di Undip, secara pribadi saya kurang begitu kenal dan akrab.

Hal itu karena dia anggota yang sangat senior, sedangkan saya belum lama menjadi  anggota. Belum lagi jabatan Prof Sarjadi sebagai rektor UMK, keaktifannya di Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Diponegoro, dan Kemdikbud Jakarta. Bisa dikatakan, saya hanya beberapa kali bertemu dalam rapat senat.

Kenapa saya berani menulis tentangnya padahal saya kurang begitu mengenalnya? Kepesatan arus informasi, memungkinkan kiprahnya dengan mudah dilihat dalam dunia maya. Dengan mengklik namanya, muncul banyak informasi tentangnya. Alasan subjektif tentu ada karena rumah saya di depan kampus UMK, dan istri saya dosen di PTS itu, sebagai anggota senat.

Kiprah Prof Sarjadi semasa hayatnya cukup unik dan menarik, dapat dilihat dari jabatan dan karier bidang akademik. Di Undip, sudah pasti dimulai di lingkungan FK, selanjutnya menjabat pembantu rektor (PR, sekarang wakil rektor/WR) III, dan I. Sebelum memimpin UMK, ia menjadi Koordinator Kopertis Wilayah VI Jateng. Ia  kembali terpilih menjadi rektor UMK untuk masa jabatan kali ketiga (2012-2016), prestasi yang jarang terjadi.

Pada waktu pelantikannya, baik ketua Yayasan UMK maupun Bupati Kudus menyatakan keberhasilan Prof Sarjadi dalam mengembangkan universitas tersebut. Saat ini bila lewat di depan kampus, kita bisa melihat banyak gedung bertingkat dan cukup mentereng. Itu  disebabkan karena kepandaiannya bekerja sama dengan pemerintah dan swasta untuk mengembangkan perguruan tinggi.

’’Keunikan’’ lainnya adalah menentang arus kebiasaan sebagai ahli kesehatan yang umumnya pasti berpendapat rokok dapat mengganggu kesehatan (bahkan membunuh). Dia justru berpihak pada alternatif bagaimana rokok dengan perlakuan tertentu bisa menjadi ’’obat’’. Pengalaman menguji mahasiswa S-3 FEB Undip yang mengambil ekonomi kesehatan,  dengan salah satu pembimbing guru besar FK UGM, membuat saya makin tahu bahwa kerokan, pijat refleksi, dan tusuk jarum ternyata diakui sebagai pengobatan secara akademik.

Prof Sarjadi mendukung penemuan Dr Gretha Zahar (Unpar Bandung) dan Prof Dr Sutiman B Sumitro (Unbraw Malang) tentang devine keretek sebagai penyembuh penyakit berat seperti kanker, jantung, dan sebagainya. Penemuan ilmuwan Indonesia melengkapi penemuan penting berbasis tembakau, yaitu sebagai bahan dasar parfum dan insulin.

Padahal kita semua tahu bahwa kampanye antimerokok sudah beberapa waktu lalu aktif didengungkan. Dulu teksnya cukup panjang, sekarang pendek, kurang lebih ’’merokok membunuhmu’’. Sebenarnya belum jelas juga, apakah yang membunuh itu semua rokok, rokok keretek, atau rokok putih?

Rendah Nikotin       

Penemuan rokok keretek oleh H Jamhari, warga Kudus, waktu itu jelas untuk mengobati penyakit bengeknya. Dulu, beli rokok tidak bisa sembarangan, harus di toko obat/apotek karena dianggap obat. Mungkin dulu benar karena tembakaunya belum terkena polusi tapi sekarang ini polusi begitu besar sehingga tembakau bisa juga terkena polusi.

Kampanye pemakaian tembakau dengan kadar rendah nikotin di dunia, dapat mematikan petani tembakau dan kejayaan tembakau kita. Jika dibiarkan, bisa saja ucapan Bung Karno relevan, yaitu revolusi akan memakan bangsanya sendiri. Yang dimaksud revolusi di sini tentunya kampanye kesehatan dengan peminimalan kadar nikotin, yang pasti sulit dipenuhi oleh petani tembakau kita.

Dukungan Prof Sarjadi kepada tembakau yang bila mendapat perlakuan nano teknologi bisa mengobati berbagai penyakit, sangat membantu nasib rokok keretek Indonesia dan nasib banyak petani kita. Di tengah kampanye antimerokok, ternyata permintaan rokok di dunia terus naik. Hal itu mestinya menimbulkan simpati dari pemerintah dan swasta karena membantu keselamatan komoditas asli Indonesia dan nasib orang kecil.

Berpikir melawan arus ala Prof Sarjadi secara aksiologi ilmu adalah benar karena ilmuwan harus mencari kebenaran dan ilmu harus bermanfaat bagi masyarakat. Terlepas apakah kampanye antimerokok benar-benar untuk perbaikan kesehatan, atau kedok ingin menguasai bisnis rokok di Indonesia, pemikiran unik Prof Sarjadi dan kawan-kawannya patut diapresiasi oleh berbagai kalangan, termasuk kalangan akademik.

Selamat jalan Prof, semoga dari kiprah uniknya mendapat penghargaan dari Tuhan, dan segala dosanya diampuni-Nya. Khusus pemikiran ilmiahnya membela rakyat kecil (tembakau), banyak yang ingin melanjutkan. Di samping Dr Greta, Prof Sutiman, pasti ilmuwan lain sepakat terus melakukan penelitian dan mempraksiskannya sehingga ranah aksiologi ilmu dapat tercapai. Percayalah, tembakau dengan teknologi tertentu dapat dimanfaatkan untuk kepentingan banyak orang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar