Menyoal
Kinerja Wakil Rakyat “Yang Terhormat”
M
Rizki Pratama ; Alumnus Prodi Ilmu Administrasi Negara FISIP UNAIR
|
OKEZONENEWS,
22 Mei 2014
Sudah
satu bulan lebih kita banyak disibukan dengan berbagai atribut gelaran pesta
demokrasi, mulai memilih para caleg hingga pada minggu kemarin KPU
menetapkkan partai pemenang pemilu legislatif yang nyatanya sang jawarapun
tak mampu meraih 20 persen suara, bahkan meskipun angka golput turun daripada
pemilu sebelumnya angkanya kini bisa jadi menjadi pemenang karena hampir 25
persen pemilih memilih untuk tidak memilih dan tidak menggunakan hak pilihnya
ditambah dengan suara yang tidak sah, meskipun angka golput dianggap turun
dari pemilu periode sebelumnya (29 persen), banyak analisis menyebutkan
rakyat sudah apatis dengan pemilu yang menjadi haknya sendiri, justru
bukankah partai dan para personnya lah yang mencoreng pemilu yang seharusnya
menjadi ajang keadilan bagi rakyat untuk menentukan dan mengubah masa depan,
kini menjadi momen penuh ke sia-siaan jika kita melihat tingkah-polah partai
yang direpresentasikan oleh wakil rakyat yang duduk pada hasil pemilu
sebelumnya.
Pemilihan
legislatif tentu sudah berakhir akan tetapi persoalan masa depan bangsa ini
yang ada dibebankan para legsilatif pilihan rakyat tentu masih menjadi tanda
tanya besar. Apakah dapat kita mengandalkan para legislator kita untuk
membangun bangsa ini padahal acap kali ucapan ketika kampanye menjadi macan
kertas ompong ketika sudah duduk di kursi empuk. Rakyat yang kecewa pun tak
dapat berbuat banyak ketika mereka yang seharusnya menjadi saluran aspirasi
justru mengalami konstipasi akut dalam mencerna aspirasi rakyat. Masyarakat disuguhi tontonan menarik dari
berbagai calon-calon wakil mereka di lembaga leglislatif, bahkan untuk
menarik perhatian para pemilih caleg tak segan untuk menggelontorkan dana
ratusan hingga miliaran rupiah dalam kegiatan kampanye, padahal dana yang
dikeluarkan dipastikan akan membebani para caleg sendiri, banyak yang menjadi
stres karena gagal terpilih bahkan berdasarkan fakta banyak yang tertangkap
menjadi koruptor. Pemilih pasti akan mengalami keputusasaan ketika
kepentingan bersama yang dahulu menjadi janji para caleg tak terpenuhi dan
secara current sangat mungkin
aspirasi terbaru pemilih sulit untuk masuk menjadi agenda politik dalam
pengambilan kebijakan.
Sangat
sulit untuk mengukur apa-apa yang caleg lakukan selama periode memimpin.
Laporan dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) menunjukkan fakta yang sangat menjengkelkan
untuk menggambarakan kinerja para wakil
rakyat. Formappi melakukan evaluasi terhadap kinerja semua anggota DPR
periode 2009-2014, mulai dari laporan kekayaan ke KPK hingga keaktifan
mereka. Hasilnya, mayoritas rapor anggota DPR itu sangat buruk. Mayoritas
anggota DPR, yakni 435 (83,3 persen), anggota DPR berkinerja buruk. Hasil
penelitian Formappi menyebutkan, sebanyak 117 anggota (22,5 persen) mendapat
rapor buruk serta 318 anggota (61,3 persen) mendapat rapor sangat buruk.
Meskipun dalam hal ini kinerja dalam dunia politik adalah intangible menurut
riset ini adalah tetap menggambarkan fakta yang bahkan akan terus berulang ke
depannya.
Tentu
yang paling sulit bagi masyarakat adalah cara untuk memastikan aspirasi
mereka dapat didingear oleh wakil rakyat sekaligus bagaimana cara untuk
menghukum wakil rakyat yang bebal, solusi untuk tidak memilih mereka pada
periode kedua juga tak akan menyelesaikan masalah sebab lima tahun bukanlah
waktu yang singkat Kinerja para wakil rakyat terdaulu lebih sering
bertentangan dengan kewajiban mereka (ambivalen), pekerjaan membuat UU sesuai
dengan prolegnas juga tak banyak yang selesai, dan aspirasi masyarakat lebih
banyak tak terwujudkan. Data Formappi merupakan kinerja pada masa lalu yang
membuat masa kini pemilih semakin enggan untuk memilih mereka hasilnya banyak
incumbent papan atas berguguran, selain itu faktor penghambat kinerja yang
baik juga masih saja ditambah banyaknya potensi kecurangan dari para calon
legislatif, mahalnya biaya ongkos dalam pesta demokrasi juga menjadi alasan
banyak para wakil rakyat menjadi kontraproduktif ketika sudah duduk di kursi
empuk DPR. Bambang Wijayanto (Kompas,
14/05/14) menyebutkan kecurangan itu dilakukan sebagian peserta dan
penyelenggara pemilu yang sebagiannya juga melibatkan pemilih.
Lebih-lebih
bila kecurangan itu didasarkan atas sikap dan perilaku koruptif dan kolusif.
Semua itu dipastikan kelak berujung pada kualitas legitimasi hasil pemilu dan
akhirnya akan berakibat pada kapasitas kinerja dan spiritualitas para
legislator terpilih. Semua yang diawali oleh kecurangan pasti juga diakhiri
oleh kecurangan pula, jika bagi-bagi uang dilakukan oleh caleg sebelum
menjabat saja pasti ketika menjabat akan ambil-ambil uang rakyat. Politik
uang menjadi pembeda kualitas antara calon legislatif yang berkualitas pasti
tak mungkin berani menghamburkan uang untuk meraih simpati pemilih, trendnya
justru politik uang semakin marak berdasarkan hasil survei yang dipaparkan
oleh Agus Riewanto (Republika, 30/04/14)
Menurut riset yang dilakukan oleh Jaringan Pendidikan Pemilih Untuk Rakyat
(JPPR) pada 1.005 TPS di 25 provinsi cukup mengejutkan. Ternyata praktik
politik uang meningkat pesat dari 10 persen pada Pemilu 2009 menjadi 33
persen pada Pemilu 2014.
Partai & Kepentingan Ekonomi
VS Kepentingan Publik
Secara
alami memang para caleg sampai berubah status menjadi legislator berumah pada
partai akan tetapi keduanya harus bermuara pada hal yang sama yaitu rakyat
yang memiliki isu yang sama atau disebut dengan publik, jadi sudah jelas jika
ketika publik dirugikan partai dan
legislator dapat ditendang, akan tetapi sejauh ini kepentingan partai
dan pribadi masing-masing masih menjadi yang nomor satu, legislator makin kaya dan banyak partai
terendus memakai dana hitam untuk operasionalnya, bahkan rakyat terlalu jauh untuk berhubungan dengan para wakilnya
yang terkadang tak pernah turun ke daerahnya. Hasil pengawasan terhadap dana
kampanye oleh peserta pemilu anggota
DPR, DPD dan DPRD tahun 2014 yang diterbitkan oleh BAWASLU pada akhir bulan April kemarin menunjukkan
fakta bahwa pertama, banyak transaksi dana kampanye yang tidak jelas. Kedua,
laporan tidak akuntabel dan transparan. Ketiga, partai politik tidak memiliki
panduan dalam membuat pencatatan, serta keempat, hampir semua Partai Politik
tidak memiliki kesiapan pembukuan laporan awal dana kampanye dan rekening
khusus dana kampanye terkait keterangan dalam pemberian laporan secara rinci.
Jadi masalah dana dalam partai menjadi salah satu hal yang sangat membebani
kinerja legislator ketika akan melakukan gebrakan dan tidak diizinkan oleh
partai sebab telah mendapatkan titipan dari oknum-oknum penyumbang dana.
Melacak
buruknya kinerja wakil rakyat maka background
partai yang busuk dengan kekusaan hitam untuk mengeruk sumber-sumber ekonomi
membuat jangkauan tangan aspirasi rakyat semakin mahal dan tak terjangkau.
Kita tidak akan pernah mempunyai sistem legislasi yang berkualitas jika
dinamika partai tetap saja berjibaku mengamankan pos-pos untuk mengeruk
sumber, sudah jadi rahasia umum ketika pos kementerian dan lembaga, hingga
tim kerja dalam legislasi tertentu menjadi sarang mafia ekonomi. Semakin
jauhnya aspirasi masyarakat akan membuat hasil legislasi juga tak akan
bermutu, gugat menggugat antara masyarakat yang seharusnya memberikan
aspirasi kepada legislator agar terjadi kebijakan yang
partisipatif-deliberatif kepada aturan tertentu yang dibuat oleh DPR jelaslah
maka trust rakyat akan semakin tergerus jika kinerja DPR tak pernah sesuai
dengan harapan.
Salah
satu yang mengkhawatirkan adalah ketika kegagalan mereka dalam memimpin akan
membuat kesan pada rakyat bahwa sudah tak ada lagi lembaga terhormat yang
mewakili mereka, akibatnya makna pentingnya politik yang sesugguhnya akan
tergerus dan mungkin jika tak ada perbaikan sama sekali negara ini akan menuju
failed state dan mungkin menjadi negara autopilot ketika kehidupan berbangsa
dan bernegara yang seharusnya dicontohkan oleh para Negarawan yang duduk di
majelis sudah salah kaprah. Inilah yang kita takutkan. keberadaan wakil
rakyat memang sangat penting akan tetapi jika para legislator tetap bekerja
sekadarnya seperti yang dulu-dulu, jangan berlebihan pula kita akan mengharap
lebih para legislator baru yang telah kita pilih, mungkin banyak dari mereka
yang berbuat curang yang tak pernah kita ketahui dan seseungguhnya kitalah
yang menjadi korban. Tesis opini ini harus benar-benar menjadi perhatian jika
memang para wakil rakyat memiliki kinerja yang superior jelas rakyat akan
dengan suka cita menggunakan haknya, jika yang terjadi sebaliknya maka
representasi wakil rakyat di lembaga legislatif tak ada artinya bahkan
kesalnya cuma pemborosan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar