Pilihlah
yang Terbaik
Moh
Mahfud MD ; Guru Besar Hukum Konstitusi
|
KORAN
SINDO, 24 Mei 2014
Masih
banyak yang berpendapat bahwa politik itu kotor dan harus dijauhi. Padahal,
politik itu keharusan yang tak bisa dihindari.
Tak ada
orang yang bisa menghindari politik karena setiap orang pasti hidup di suatu
negara, sedangkan negara adalah organisasi politik tertinggi. Orang yang
ingin memengaruhi kebijakan negara haruslah merebut kekuasaan politik. Orang
yang menyatakan tidak mau terlibat dalam politik dan membiarkan kekuasaan
politik diambil orang, maka dia terikat pada kebijakan-kebijakan pemenang
kontes politik, betapa pun tak sukanya dia pada kebijakan itu. Karena itu,
dapat dikatakan bahwa politik itu adalah fitrah atau sesuatu yang tak bisa
dihindari.
Di dalam
Islam pun, politik mendapat tempat yang hukumnya bisa menjadi wajib. Hujjatul
Islam Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa memperjuangkan nilai kebaikan agama
itu takkan efektif kalau tak punya kekuasaan politik. Memperjuangkan agama
adalah saudara kembar dari memperjuangkan kekuasaan politik (al-din wa al-sulthan tawamaan).
Agak
lengkapnya Al- Ghazali mengatakan: “Memperjuangkan
kebaikan ajaran agama dan mempunyai kekuasaan politik adalah saudara kembar.
Agama adalah dasar perjuangan, sedang kekuasaan politik adalah pengawal
perjuangan. Perjuangan yang tak didasari (prinsip) agama akan runtuh, dan
perjuangan agama yang tak dikawal akan sia-sia.” Dari pandangan
Al-Ghazali itu bisa disimpulkan bahwa berpolitik itu wajib karena berpolitik
merupakan prasyarat dari beragama dengan baik dan nyaman.
Karena
paraktiknya politik itu banyak diwarnai oleh perilaku jahat, kotor, bohong,
dan korup, timbullah kesan umum bahwa politik (pada situasi tertentu) adalah
kotor dan harus dihindari. Jangankan kita, mujaddid Islam, Muhammad Abduh,
pun pernah marah kepada politik dan politisi karena berdasarkan pengalaman
dan pengamatannya waktu itu beliau melihat di dalam politik itu banyak yang
melanggar akhlak, banyak korupsi, kebohongan, dan kecurangan-kecurangan.
Muhammad
Abduh pernah mengungkapkan doa taawwudz
yang biasanya hanya untuk menghujat setan, yaitu, “audzu billahi minassyaythaanirrajim” (Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk)
dispesifikkan oleh Muhammad Abduh ke dalam kegiatan politik menjadi “audzu billahi minassiyaasati
wassiyaasiyyien”, (Aku berlindung kepada
Allah dari godaan politik dan politisi). Tetapi dengan mengacu pada
filosofi Al-Ghazali menjadi jelas bahwa berpolitik itu bagian dari kewajiban
syarsyari karena tugas-tugas syarsyari hanya bisa direalisasikan di dalam dan
melalui kekuasaan politik (organisasi negara).
Dalam
kaitan inilah ada kaidah ushul fiqh
yang menyebutkan “Ma la yatimmul wajib
illa bihi fahuwa wajib” (Jika ada
satu kewajiban yang tidak bisa dilaksanakan kalau tidak ada sesuatu yang
lain, maka sesuatu yang lain wajib juga diadakan/dipenuhi). Dengan kata
lain, “jika kewajiban mensyiarkan nilai
kebaikan Islam tak bisa efektif kalau tidak berpolitik, maka berpolitik itu
menjadi wajib pula hukumnya.” Inilah yang menjadi dasar, mengapa sejak
awal turunnya Islam, muslimin itu sudah berpolitik, ikut dalam kegiatan
bernegara, bahkan mendirikan negara.
Dalam
konteks keindonesiaan sekarang ini kaum muslimin tidak boleh apatis terhadap
pemilihan presiden dan calon presiden. Kita tidak boleh bersikap “tidak akan memilih” pasangan
capres/cawapres yang mana pun hanya dengan alasan tidak ada pasangan yang
ideal. Kita tetap harus memilih karena siapa pun yang terpilih akan
menentukan arah kebijakan negara yang juga mengikat kita.
Dengan
segala kekurangan dan kelebihan masing-masing pasangan capres/cawapres: Prabowo
Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla, sudah disaring melalui
proses konstitusional yang sah. Semuanya sama baiknya, atau, sama tak
baiknya. Tak ada yang boleh mengatakan bahwa secara mutlak pasangan yang satu
lebih baik dari pasangan yang lain. Semua tergantung penilaian kita
masing-masing. Kata sekelompok orang pasangan Prabowo-Hatta lebih baik karena
ini dan itu, sedangkan pasangan Jokowi-JK lebih jelek karena ini dan itu.
Tetapi kata sekelompok orang lainnya pasangan Jokowi-JK lebih baik karena
bla-bla-bla, sedangkan pasangan Prabowo-Hatta lebih jelek karena bla-bla-bla.
Jadi kedua pasangan ada kelebihan dan kekurangannya serta ada pendukung dan
penolaknya masing-masing.
Menghadapi
alternatif seperti itu kita harus tetap memilih dengan kesadaran penuh bahwa
takkan pernah ada alternatif yang ideal untuk dipilih. Bahkan, mungkin saja,
semua alternatif yang tersedia semuanya sangat tidak ideal. Jika demikian
halnya, maka ada kaidah akhaff
al-dhararain, yaitu memilih yang paling sedikit jeleknya di antara
alternatif-alternatif yang sama-sama jelek.
Dalam
hal prinsip dan sistem pemerintahan, misalnya, tidak ada yang betul-betul
baik dari antara sistem-sistem yang tersedia. Baik teokrasi, demokrasi,
monarki, aristokrasi, oligarki, maupun tirani semuanya sama-sama tidak ideal
dan mengandung segi-segi kelemahan.
Tetapi,
sebagian terbesar negara-negara di dunia memilih prinsip dan sistem
demokrasi, bukan karena sistem itu bagus melainkan karena ia mengandung
kelemahan yang paling sedikit jika dibanding dengan sistem yang lain. Maka
itu, pilihlah yang terbaik dari yang ada, meskipun tidak ideal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar