Topeng
Purnawan
Andra ; Alumnus ISI Surakarta
|
TEMPO.CO,
06 Mei 2014
|
Topeng
adalah penanda peradaban, salah satu bentuk ekspresi paling tua yang pernah
diciptakan manusia. Topeng menyimpan simbolisme nilai yang berperan penting
dalam berbagai sisi kehidupan masyarakat dunia, melalui upacara adat dan
ritual magis ataupun religius.
Pada
awalnya, topeng dibuat dalam upacara kematian sebagai gambaran nenek moyang
yang meninggal. Topeng menjadi wadah atau rumah roh leluhur untuk
"menghadirkan arwah nenek moyang" yang menengok kerabat dan
keluarga yang masih hidup.
Kemampuan
manusia untuk beradaptasi dan mengimitasi lingkungan sekitarnya membuat
ekspresi awal topeng berbentuk dewa-dewa, manusia, binatang, setan, dan
lainnya. Pada perkembangannya, topeng lebih spesifik menggambarkan kualitas
sifat manusia, seperti amarah, kecantikan, ketampanan, hingga ketuaan.
Masyarakat saat ini menempatkan topeng sebagai salah satu bentuk karya seni,
baik secara artistik maupun simbolik.
Sebuah
manuskrip menyatakan, sekitar abad ke-11, saat masa pemerintahan Kerajaan
Jenggala, ada pertunjukan dengan menggunakan tutup muka yang disebut kata
tapel (topeng). Hikayatnya kemudian kita kenal sebagai cikal-bakal
pertunjukan Panji, suatu bentuk pertunjukan di mana penyaji menggunakan
topeng.
Dalam
logika seni pertunjukan, topeng digunakan untuk membantu pelaku dalam
menampilkan emosi, ekspresi yang sesuai dengan perwatakan yang dibawakannya.
Seni pertunjukan Cirebon, misalnya, menarikan topeng dalam lima tingkatan
(Panji, Samba, Rumyang, Tumenggung, dan Klana), yang mencerminkan perjalanan
hidup dan watak manusia. Topeng adalah benda multisimbol dan perspektif yang
antropologis.
Kita
mengenal topeng sebagai benda yang terbuat dari kertas, kayu, plastik, kain,
atau logam yang dipakai untuk menutup wajah. Kamus Besar Bahasa Indonesia
mengartikannya sebagai kedok, kepura-puraan untuk menutupi maksud sebenarnya.
Topeng berfungsi menyembunyikan "wajah asli" untuk mengubah atau
membentuk karakteristik yang baru. Sifat yang sesungguhnya selalu
disembunyikan agar tidak sesegera mungkin diketahui oleh orang lain.
Kini,
dalam konteks Indonesia yang sedang berada dalam proses eleksi pemimpin dan
wakil rakyat, kita menjadi paham mengapa banyak caleg dan politikus sengaja
membuat wajah baru dengan tampil sempurna. Semua dilakukan untuk mendulang
suara yang akan mengantarnya pada kekuasaan. Namun, pada saat yang sama,
ternyata banyak dari mereka yang terbukti secara hukum melakukan politik main
uang, melakukan jual-beli suara, serta menyalahgunakan wewenang dan kekuasaan
dalam bentuk korupsi dan kejahatan kerah putih lainnya. Inilah persoalan
sosial berupa disorientasi serta dis-identitas para politikus yang meminggirkan
nilai-nilai kepentingan umum, kesejahteraan bersama, dan kebangsaan. Inilah
wajah (para politikus) Indonesia yang bertopeng, tampak halus di luar namun
bobrok di dalam.
Topeng
tak hanya merupakan sajian ekspresi seni dan kisah sederhana. Topeng menjadi
mozaik sosio-antropologis masyarakat. Topeng menjadi penanda sengkarut
jejaring politik kepentingan dalam sebuah bangsa. Sebuah degradasi nilai
simbolik yang mesti diberi penjelasan konkret dalam sikap hidup para pemegang
kekuasaan. Penjelasan itu diwujudkan dengan menjalankan tugas negara mewakili
dan melayani rakyat dengan kejujuran hati, bukan dengan topeng kepura-puraan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar