Monumen
Nasional
Purnawan
Andra ; Peminat Kajian Sosial Budaya Masyarakat
|
TEMPO.CO,
24 Mei 2014
Monumen
Nasional (Monas) adalah sebuah lanskap monumental, bukan hanya bagi Kota
Jakarta, tapi juga menjadi representasi perjalanan bangsa. Ia simbolisasi
filosofi, visi, dan gagasan besar di baliknya.
Monas
menjadi referensi untuk mengidentifikasi diri sebagai "manusia" dan
atau sebagai "bangsa Indonesia". Di sekujur tubuhnya, diorama,
bentuk dasar, sampai dengan ukuran teknisnya, memuat simbol perjalanan bangsa
dari, menjadi, dan menuju "Indonesia". Memahami Monas diharapkan
menumbuhkan semangat nasionalisme yang kuat, tegak, dan terus menyala seperti
wujudnya.
Pembuatannya
pernah ditentang keras karena dianggap hanya menjadi politik mercusuar
daripada kebijakan pro-rakyat. Emas 38 kilogram dan uang Rp 5,8 miliar pada
masanya dianggap lebih baik digunakan untuk menata ekonomi rakyat yang sedang
kritis daripada membangun monumen narsis atas nama jati diri bangsa. Monas
menjadi penanda pembentukan identitas dogmatik, tapi juga menyimpan luka-luka
sejarah dan sosial.
Monas
bukan hanya romantisme dan heroisme. Ia juga menjadi penanda pergumulan
identitas dan spiritualitas dalam jejaring simbolik kosmologis hingga
filosofisnya. Wujudnya yang meruncing ke langit merupakan simbol lingga,
turunan bentuk obelisk, yang menjadi bentuk universal di seluruh bangsa di
dunia. Dengan dasar berbentuk yoni, Monas menggambarkan aktivitas perangkat
utama kemaskulinan yang bertemu dengan pertanda feminimitas, simbolisasi
dominasi kekuasaan dan kekuatan lelaki atas perempuan.
Radhar
Panca Dahana (2012) memaknainya sebagai pemahaman peradaban maskulin, di mana
perempuan secara fitrahi menjadi subordinat di dalamnya. Model seperti ini
merupakan sebuah pengejawantahan dari spiritualisme dan religiusitas atau
agama dari peradaban daratan. Peradaban ini menempatkan langit dan matahari
sebagai entitas pemilik kekuatan tertinggi, di mana kekuatan manusia tidak
dapat menjangkaunya. Mesir, contohnya, menempatkan Dewa Ra (matahari) sebagai
puncak dari segala dewa, di mana piramida dibuat sebagai tanda bakti padanya.
Begitu juga adab daratan di Cina, India, sampai dengan agama samawi di Timur
Tengah hingga pedalaman Indonesia, kemudian mengadopsinya dalam kepercayaan
kultural dalam bentuk ritus-ritus spiritual hingga pada praktek-praktek
politik kenegaraan dan kemasyarakatannya. Kita pun bertanya-tanya kenapa
Sukarno memilih bentuk lingga bagi Monas, tentu bukan sekadar lantaran ia
ditahbiskan oleh khalayak sebagai "putra sang fajar", titisan dari
(dewa) matahari.
Monas
adalah jejaring logika simbolis yang menyusun sejarah bangsa. Ia adalah medan
identitas sosial, kultural, ataupun politis yang kompleks. Ia perlu diurai,
dibaca, dan dimengerti dalam rangka memformulasikan langkah kontekstual untuk
menghadapi dinamika sosial masyarakat agar tidak terjadi reduktivitas
pemahaman atas jejak historis dan proses transformasi identitas komunal.
Monas
adalah ruang pembacaan yang lebih kritikal tentang identitas, dinamika
politik, serta logika kekuasaan seorang pemimpin dan sejarah bangsa Indonesia
itu sendiri. Ia mengajarkan inti dari politik kekuasaan yang terbaik dan
paling bijaksana yang seyogianya berwujud strategi kebudayaan yang melayani
rakyatnya, bukan mencipta simbolisme diri yang narsis untuk membangun sebuah
rezim kekuasaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar