Melembagakan
Kemarahan Ganjar
Dadan
S Suharmawijaya ; Wakil Direktur The Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi
|
JAWA
POS, 06 Mei 2014
|
AMUK
Gubernur Jateng Ganjar Pranowo disoraki di media. Banyak yang gembira karena
sang pembesar memergoki langsung pungli jembatan timbang. Kita lihat di
televisi wajah ingah-ingih (malu) bawahannya ketika Pak Gubernur membanting
uang pungli. Namun, pungli tak akan berhenti
dengan dipergoki, dimarahi, diwejang masal dalam apel, dimarahi lagi.
Institusionalisasi setelah kemarahan, itu lebih penting. Kemarin (5/5)
Ganjar menyatakan sudah mengevaluasi dan menyatakan akan memperbaiki layanan
dengan memperkuat IT dan interaksi tanpa uang tunai.
Untuk
mencari contoh, sebenarnya tak perlu jauh-jauh. Institusionalisasi untuk
akuntabilitas jembatan timbang sudah tampak di Jawa Timur. Yaitu, inovasi
berupa penerapan Zona Integritas Wilayah Bebas Korupsi Jembatan Timbang
melalui Teknologi Informasi di 20 jembatan timbang yang tersebar di Jawa
Timur. Jembatan timbang dalam bahasa UU 22/2009 disebut Unit Pelaksana
Penimbangan Kendaraan Bermotor (UPPKB).
Informasi
tentang kendaraan yang lewat berikut kelebihan berat muatan yang seharusnya
disesuaikan dengan jumlah gandar (jumlah ban untuk menyebar titik beban),
serta besar dendanya sudah bisa dipantau secara online di Kantor Pusat Dishub
Jatim. Sarana itu dilengkapi cctv live yang terekam pula. Bahkan, publik bisa
turut memantau melalui http://jembatantimbang.cctv.jatimprov.info.
Dalam
penelitian lapangan, kami pernah memantau diam-diam Jembatan Timbang Widang.
Di sana memang masih terlihat sopir-sopir dengan truk beban lebih melemparkan
uang ke petugas. Namun, para petugas mengatakan, sudah tidak boleh atau tak
mungkin lagi. Para sopir tetap diminta membayar denda sesuai kelebihan
tonase. Bila batas toleransi dilewati, sopir ditilang. Buku kir ditahan dan
diproses di PN Tuban.
Karena
tradisi pungli ini mulai pupus sejak pelembagaan berjalan sekitar enam bulan
lalu, penghasilan tak resmi petugas jembatan timbang tentu saja berkurang.
Tentu saja ini menjadi keluhan. Tapi, pemprov kemudian memberikan kompensasi
berupa insentif dari pendapatan resmi denda yang masuk PAD (pendapatan asli
daerah) itu.
Dampak
lain, karena pengurusan tarif denda resmi itu, antrean truk kadang sangat
panjang. Bisa dua kilometer! Agar tak mengganggu lalu lintas, sebenarnya
petugas sudah mengambil kebijakan. Kalau antrean melebihi 500 meter, truk
boleh terus lewat. Mereka dipersilakan masuk ke jembatan timbang berikutnya
di Lamongan atau Bojonegoro. Namun, ternyata mereka lebih familier di Widang
sebagai jembatan timbang pertama masuk Jatim. Karena itulah, jembatan timbang
lain sering longgar.
Tantangan
lain datang dari sebagian sopir atau awak truk yang telanjur nyaman dengan
tradisi korup itu. Petugas bercerita, kadang mereka memaksa memberi uang di
atas tarif resmi denda asal tidak ditilang. Petugas perlu keberanian untuk
menegakkan aturan, apalagi kadang penampilan awak truk itu mengancam, bahkan
mabuk.
Yang
perlu dibenahi juga adalah sistem di luar dinas perhubungan provinsi. Ini
menyangkut persidangan penilangan di pengadilan. Kadang-kadang dendanya
sangat ringan, Rp 75 ribu. Jumlah ini tak sebanding dengan risiko kerusakan
jalan akibat truk kelebihan tonase. Sangat murah pula dibanding nilai
ekonomis muatan lebih yang diangkut. Padahal, risikonya jalan rusak atau
kecelakaan, atau truk mogok karena as patah. Kemacetan yang sangat panjang kadang
tak dihitung sebagai kerugian masyarakat akibat pelanggaran ini.
Kerap
terjadi pula, awak truk membiarkan buku kirnya ditahan dan menumpuk di
pengadilan. Daripada ribet ke pengadilan, mereka ternyata bisa mendapatkan
buku kir baru di kabupaten tempat nomor kendaraan diterbitkan. Temuan ini
cukup mengejutkan, karena ternyata pelembagaan sistem antikorupsi bisa
"disabot" oleh institusi pemerintah sendiri, akibat tidak adanya
sinergi.
Banyaknya
masalah dalam ikhtiar pelembagaan akuntabilitas birokrasi itu tak boleh
membuat pemerintah surut. Apa yang dilakukan Pemprov Jatim setidaknya sudah
membuahkan hasil. Yakni, aparat dididik untuk kembali pada profesionalisme
melayani masyarakat. Mereka ditegasi bahwa pungli itu haram. Selain itu, ini
hasil sampingan sebenarnya, PAD meningkat. Sebenarnya makin kecil pendapatan
resmi dari jembatan timbang berarti makin tinggi kepatuhan tonase truk.
Namun,
setidaknya dengan PAD dari jembatan timbang itu, pemerintah bisa punya uang
untuk memperbaiki jalan yang rusak tadi. Termasuk memberikan insentif yang
resmi bagi petugas lapangan. Kalau pungli marak, jalan tetap rusak, tetapi
uang resmi masuk sedikit. Aparatnya makin tidak profesional karena kecanduan
uang haram.
Untuk
bersinergi memberantas pungli di jembatan timbang, khususnya di pantura,
Pemprov Jawa Tengah tak perlu segan bersinergi dengan Pemprov Jatim dan
Pemprov Jabar. Toh jalur jalan rayanya bersambung. Selama ini Jatim memang
kelimpahan truk-truk kelebihan tonase dari Jateng.
Apa pun
kemarahan Gubernur Ganjar patut "diganjar" pujian. Tak apa-apa
kalau beliau terkesan baru menyadari ada persoalan seperti itu di jembatan
timbang. Tak apa-apa kalau selama dua periode jadi anggota DPR beliau
betul-betul tak tahu soal yang sudah menjadi rahasia umum ini. Rapopo. Atau ini memang puncak
kesabaran beliau. Yang penting, setelah marah-marah, silakan semangat
bersih-bersih ini dilembagakan. Dengan demikian, perbaikannya langgeng. Dan, Pak Ganjar tak makin
cepat bertambah rambut putihnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar