Jumat, 09 Mei 2014

Koalisi untuk Rakyat

Koalisi untuk Rakyat

Komaruddin Hidayat  ;   Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
KOMPAS,  09 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Mengikuti pemberitaan politik akhir-akhir ini terdapat dua macam kebingungan dan kegaduhan yang terjadi pada level bawah dan level atas. Pada level bawah adalah para calon anggota legislatif (caleg) yang gagal lolos ke Senayan, baik karena dukungan rakyat yang tidak mencukupi maupun merasa suaranya hilang dicuri. Mereka merasa sudah berjuang habis-habisan, bahkan sudah mengeluarkan dana besar. Seorang caleg menyatakan dia mengeluarkan dana lebih dari Rp 4 miliar. Namun, tak ada jaminan melenggang ke Senayan. Fantastis dan sekaligus memilukan!

Pada level atas, para elite partai politik (parpol) sedang bingung memosisikan diri. Dengan modal dan saham kursi di Senayan yang dimiliki, mau dengan siapa dan ke mana berkoalisi. Mencari teman koalisi ini ternyata tidak cukup bermodal jumlah kursi semata, tetapi ada faktor lain seperti kecocokan ideologis, agenda besar yang diperjuangkan, serta kesesuaian chemistry antar-tokohnya.

Kegaduhan itu ada yang mencuat ke permukaan seperti yang terjadi dengan Partai Persatuan Pembangunan, tetapi ada pula yang berhasil diredam dalam rumah tangga internal parpol. Baik kegaduhan pada level atas maupun bawah, sumber utamanya adalah seputar perebutan kekuasaan dan keuntungan finansial.

Idealisme versus positivisme

Dalam pandangan kaum idealis, kekuasaan itu harus direbut sebagai sarana untuk memperjuangkan kebajikan dan kebenaran. Semulia dan sehebat apa pun sebuah gagasan tentang masyarakat dan negara, tanpa kekuatan akan sulit diwujudkan. Itulah sebabnya agama selalu dibawa ke ranah politik dengan alasan untuk memperbaiki kondisi bangsa dan masyarakat.

Berbeda dari mazhab idealisme, peringatan dari mazhab positivisme menarik didengarkan, seperti Marx, Nietzsche, dan Freud. Menurut Marx, apa pun kemasan dan retorika yang dibangun, ujung dari semua pergulatan politik adalah untuk meraih keuntungan ekonomi. Status dan agenda ekonomi seseorang akan menentukan perilaku dan manuver politiknya.

Semuanya dilandasi kalkulasi untung-rugi secara materi. Adapun pandangan Nietzsche, seseorang berjuang dengan segala cara dan usaha dalam politik adalah untuk meraih kekuasaan (the will to power). Kekuasaan itu menggiurkan dan menjanjikan self-glory. Meski seseorang secara materi sudah kaya raya, belum merasa puas dan sukses hidupnya jika belum menggenggam kekuasaan politik untuk merasakan nikmatnya berkuasa dan memerintah orang lain.

Kalau sudah berkuasa dan memiliki uang banyak, lalu untuk apa? Para pejuang moralis-idealis tentu jawabnya untuk menegakkan kebenaran dan keadilan demi menyejahterakan orang banyak. Tetapi, menurut Freud, dalam bawah sadar setiap orang selalu tersimpan agenda libido yang menuntut pemenuhan. Oleh karenanya, menurut dia, kekuasaan dan uang selalu berkaitan dengan petualangan seksual. Kedengarannya memang seram.

Tetapi, itulah beberapa asumsi dasar perilaku manusia menurut tiga pemikir positivistik itu. Meskipun tidak semuanya benar, fenomena hubungan dialektis antara kekuasaan, uang, dan seks tidak sulit ditemukan dalam sejarah kekuasaan dari zaman ke zaman.

Serendah itukah motif dasar yang menggerakkan dinamika politik dan kehidupan pada umumnya? Jika Victor Frankl ditanya, maka jawabnya sangat berbeda. Setiap orang sesungguhnya mengejar agar hidupnya bermakna (the will to meaning). Berbagai perjuangan dan penderitaan yang terjadi diharapkan membuat diri seseorang bermakna bagi orang-orang terdekat yang dicintainya. Siapa pun tidak ingin hidupnya sia-sia dan jerih payahnya tak bermakna apa-apa.

Dalam konteks ini, banyak penguasa yang mau melakukan apa saja agar dirinya menjadi pahlawan bagi keluarganya. Atau bisa juga bangsanya. Jika ditarik ke wilayah keyakinan perjuangan agama, ada yang rela berkurban nyawa agar dirinya dicatat sebagai pembela Tuhan dan nanti diganjar surga.

Manuver koalisi

Kembali pada tema koalisi. Koalisi adalah sebuah kontrak atau perjanjian kerja sama yang sifatnya temporer. Dalam konteks penyusunan kabinet, diharapkan koalisi berlangsung minimal lima tahun. Yang dikhawatirkan seputar wacana dan manuver koalisi akhir-akhir ini adalah semata hanya untuk memenuhi syarat agar parpol-parpol yang lolos ambang batas perolehan kursi ke Senayan memperoleh tiket naik ring pertandingan dalam pemilu.

Mereka bergabung bagaikan arisan mengumpulkan saham politik agar nantinya kebagian kursi menteri atau jabatan tinggi lain. Jika ini yang terjadi, prediksi Marx, Nietzsche, dan Freud akan menjadi kenyataan. Secara lahiriah-formal, pemerintahan Indonesia mengikuti falsafah Pancasila yang bersifat religius, humanis, dan idealis, tetapi aktor-aktor politiknya terjebak dalam perburuan kesenangan fisik dan material (physical and material pleasure).

Yang juga mesti kita cermati dan kawal adalah apa pun hasilnya, pemilu legislatif dan pemilu presiden adalah hajat rakyat. Mereka telah menyampaikan aspirasinya yang mesti dihargai dan dikawal dengan jujur dan transparan. Kalaupun ada anggapan rakyat belum cukup paham dan terdidik tentang demokrasi dan bagaimana menggunakan hak-haknya dengan benar, jangan kebodohan dan kekurangan mereka lalu dimanfaatkan atau ditelikung oleh para politisi untuk kepentingan parpolnya.

Sangat menyedihkan mendengar berita yang beredar. Betapa kekuatan uang telah merusak dan mengkhianati kepercayaan rakyat ketika mereka memilih wakil-wakilnya. Suaranya hilang dicuri dan dijualbelikan. Lebih menyedihkan lagi ketika suara hasil manipulasi itu telah terkumpul, lalu dijadikan saham politik oleh jajaran elitenya untuk manuver koalisi ”dagang sapi”. Sampai-sampai banyak pengamat menilai, ini adalah pemilu legislatif terburuk sepanjang sejarah. Rakyat memilih wakil rakyat semata mempertimbangkan uang yang diterima, bukannya penilaian kualitas orang-orangnya.

Jika betul penilaian itu, jangan sampai hal ini terjadi lagi pada pemilihan presiden mendatang. Jangan sampai pasangan capres-cawapres yang menang hanya karena efek kekuatan uang guna mengelabui rakyat yang miskin dan kurang pendidikan. Koalisi dan kabinet yang dibentuk mesti koalisi yang sepenuhnya untuk kesejahteraan rakyat, bukannya kesejahteraan jajaran elite parpol.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar