Agenda
Otonomi Presiden RI
Irfan
Ridwan Maksum ; Ketua Program Pascasarjana Ilmu Administrasi, FISIP,
Universitas Indonesia; Anggota Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah Republik
Indonesia
|
KOMPAS,
09 Mei 2014
Dalam tahun 2014 ini bangsa Indonesia segera mempunyai presiden
baru untuk periode 2014-2019. Siapa pun presidennya, kebijakan otonomi
merupakan instrumen reformasi administrasi pemerintahannya agar mampu
mewujudkan platformnya dengan baik.
Otonomi daerah dalam sebuah negara bangsa dapat digunakan
sebagai salah satu strategi reformasi bangsa tersebut (Hoessein: 2008).
Negara dapat semakin efektif meraih tujuan-tujuannya melalui penerapan
otonomi daerah, terutama bagi negara dengan geografi luas, jumlah penduduk
besar, dan amat heterogen, serta kompleks masalahnya.
Fakta yang terjadi di Indonesia dalam soal tujuan ekonomi,
otonomi daerah justru seolah-olah menjadi beban (ekonomi biaya tinggi). Hal
ini sebetulnya amat bergantung pada visi-misi kepemimpinan nasional terhadap
penerapan otonomi daerah itu sendiri. Jika visi-misinya kabur, memang amat
sulit menegakkan tujuan ekonomi bangsa atas pelaksanaan kebijakan otonomi
daerah.
Berdasarkan pasar versus berdasarkan sumber daya Leach et-al
(1990) menuliskan bahwa reformasi administrasi melalui kebijakan otonomi
daerah terkait tujuan ekonominya dapat berbasis tiga model: (1)
pengikut-mode, (2) konservatif, dan (3) selektif. Model pengikut-mode
menerapkan strategi copy-paste
negara lain agar ekonomi bangsanya tidak tertinggal. Model ini amat riskan
diacu jika kesiapan bangsa tersebut tidaklah memadai.
Pada model konservatif, sebaliknya sebuah bangsa lebih yakin
akan apa yang sudah dilakukannya. Sulit sekali melihat keberhasilan dunia
luar. Model selektif berdiri di antara kedua model strategi di atas. Model
ini menganjurkan perubahan, tetapi berdasarkan kriteria yang telah disepakati
yang menjadi tolok ukur perubahan.
Huseini (2000) menawarkan strategi berdasarkan pasar dan
strategi berdasarkan sumber daya.
Strategi pertama, melihat peluang pasar baik dalam negeri maupun
global untuk memperkuat otonomi daerah yang pada akhirnya memperkuat ekonomi
nasional.
Strategi kedua berdasarkan keunggulan yang dimiliki, atau dikenal
dengan kompetensi inti tiap-tiap daerah otonom agar mampu menjadi basis
pengembangan ekonomi daerah yang pada akhirnya mendorong ekonomi nasional.
Kedua pendapat dapat dipadukan. Leach secara implisit menganggap
bahwa yang terbaik adalah model selektif, sedangkan menurut Huseini meskipun
condong berdasarkan sumber daya yang dikenal dengan strategi Satu Kabupaten
Satu Kompetensi Inti (Saka-Sakti), orientasi pasar juga tetap menjadi acuan.
Artinya dapat berupa campuran. Pada akhirnya untuk Indonesia sangat mungkin
pola selektif dan pendekatan campuran ini diacu untuk diterapkan.
Beragamnya ekonomi daerah di Indonesia menjadi keunggulan
tersendiri. Pemerintah pusat harus mampu menciptakan sinergi ekonomi
antardaerah. Apa yang dipunyai daerah tertentu, secara ekonomi, umumnya tidak
dipunyai daerah lainnya sehingga pemerintah harus berperan sebagai
penghubung. Pasar global adalah situasi lingkungan yang harus dibaca
pemerintah pusat dengan kritis pula.
Respons atas situasi ekonomi
Arti hierarki pemerintahan sampai ke daerah bukanlah menjadi
ekonomi biaya tinggi, tetapi sebagai respons atas situasi ekonomi yang
berkembang. Sebagai contoh, kekurangan kedelai di daerah tertentu di
Indonesia harus mampu ditutupi daerah yang surplus kedelai. Pemerintah pusat
seyogianya tidak begitu saja membuka impor terlebih dahulu, tetapi mendorong
kekuatan ekonomi pasar domestik dari jalinan antardaerah terlebih dahulu
sehingga pertumbuhan ekonomi nasional pun menguat.
Hierarki pemerintahan adalah mekanisme pengambilan keputusan
atas respons pasar domestik dan global. Di sinilah letak otonomi daerah
sebagai strategi dalam reformasi administrasi terkait dengan tujuan ekonomi.
Selama ini, koordinasi pemerintah atas daerah-daerah lebih
banyak disibukkan oleh hal-hal administratif dan amat legal-approach.
Disibukkan oleh kasus- kasus korupsi yang amat menyulitkan pergerakan
pengembangan kelembagaan pemerintahan atas tuntutan ekonomi domestik dan
global, daerah tidak mampu meletakkan visi kemajuan dalam konteks ekonomi nasional
yang kuat. Pemerintah pusat lebih memilih status quo atas potret kelembagaan
pemerintahan daerah.
Pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri,
memandang daerah harus memenuhi standar-standar birokrasinya. Sementara itu,
sektor tidak kalah pula memandang daerah otonom harus mau dijadikan alat menyalurkan
kepentingan proyek-proyeknya agar tetap eksis di daerah.
Di dalam daerah sendiri elite lokal lebih memiliki peran penting
meskipun umumnya masih untuk kepentingan kelompoknya. Amat jarang ditemui
bervisi kelembagaan. Paling jauh bervisi lokalitas, tidak menyentuh
kepentingan nasional. Hal ini dapat pula merupakan imbas dari perilaku pusat
yang kurang menguntungkan. Perilaku elite nasional sering kali mudah terbaca
dengan mata telanjang, lebih mementingkan kelompok dan golongannya.
Sudah saatnya bangsa Indonesia disadarkan oleh ketertinggalannya
dengan negara lain. Ketertinggalan tersebut dapat diatasi dengan persatuan
antardaerah yang mengarusutamakan kesejahteraan bangsa. Reformasi kelembagaan
daerah harus didorong sekuat tenaga menjadikan hierarki pemerintahan sebagai
kendaraan memacu pergerakan ekonomi Indonesia dan harus mampu menghilangkan
pemburu rente hierarki.
Pemerintah pusat dan daerah harus sinergi memanfaatkan kekuatan
koneksitas kelembagaan dengan orientasi kemajuan ekonomi nasional dan daerah.
Elite nasional harus menjadi contoh dan mampu menjadi saluran kepentingan
ekonomi daerah, bukan kepentingan kelompok dan golongannya sehingga elite
daerah mampu mengikutinya dengan baik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar