|
WAKTU sepertiga akhir pada Ramadan merupakan ruang refleksi
untuk memaknai ibadah, kehidupan sosial, dan hasrat kemanusiaan kita. Setelah
hampir sebulan lamanya, muslim yang berpuasa ditempa keringnya dahaga, desakan
lapar, dan godaan hawa nafsu, hari Idul Fitri hadir sebagai tonggak akhir ujian
rohani.
Puasa Ramadan yang telah dijalankan dengan sepenuh hati,
merupakan media penyucian jiwa dan nurani untuk mencapai kesempurnaan. Idul
Fitri (Id al-Fitr) menjadi momen agung dan pentahbisan atas kekuatan diri merintangi
“ujian” dari Tuhan. Di negeri ini, Idul Fitri dirayakan dengan suasana berbeda.
Ritus keagamaan ini menjadi sakral karena dikelilingi berbagai peristiwa
dahsyat. Kemeriuhan merayakan Idul Fitri begitu membahana di semua pelosok
negeri ini. Idul Fitri disambut dengan perayaan gema takbir bagai tamu agung
yang singgah.
Di Indonesia, Idul Fitri biasa disebut Lebaran, yang akrab
di telinga warga kecil. Gebyar perayaan yang begitu meriah, menandakan bahwa
bangsa ini merindukan simbol-simbol kemenangan untuk melepas jeratan krisis
yang membelenggu. Idul Fitri juga diwarnai dengan ritus sakral yang dinantikan
semua warga; mudik ke kampung halaman. Mudik menjadi rutinitas tahunan warga
negeri ini, untuk pulang ke asal, tanah kelahiran yang menjadi saksi sejarah
kehidupan. Fenomena mudik menjadi ritus keagamaan yang khas, ruang rindu untuk
melepas penat dan impitan pekerjaan.
Mudik, biarpun diwarnai dengan beban berat,
silang-sengkarut manajemen transportasi dan memerlukan dana tak sedikit,
seakan-akan menjadi keharusan untuk pulang ke kampung halaman, tanah asal yang
menebar kenangan. Mudik menjadi ruang untuk mengenang cerita masa kecil, yang
menjadi tonggak perjalanan hidup manusia. Mudik yang begitu fenomenal, menjadi
“jeda” untuk memahami hakikat kemanusiaan. Ritual mudik hampir sama dengan
perayaan Thanksgiving Day di Amerika
Serikat, simbol selebrasi atas limpahan hasil panen.
Di negeri Paman Sam, perayaan Thanksgiving Day menjadi jeda untuk pulang bersama keluarga,
momentum yang tepat menyatu dengan keharmonisan famili. Namun, mudik kali ini
juga dibarengi dengan peristiwa politik yang tak kunjung menemukan solusi;
kasus-kasus korupsi di jajaran elite birokrasi hingga politikus daerah. Dari
akumulasi sengkarut politik, warga sudah mulai muak dengan kebohongan-kebohongan
politik. Maka, ibadah puasa Ramadan dan ritus mudik dapat menjadi oasis untuk
merefleksikan peristiwa kemanusiaan dan keindonesiaan.
Ruang Rindu
Peristiwa mudik tak bisa dilepaskan dari Idul Fitri dan
Ramadan. Mudik dapat diterjemahkan sebagai simbol memaknai jati diri yang suci.
Kedekatan ritus mudik dengan Idul Fitri menyiratkan kesamaan makna diantara
keduanya. Secara harfiah, Idul Fitri dapat dimaknai sebagai “kembali kepada
kesejatian diri, ayd (kembali) dan
fitri (suci). Hal ini relevan dengan makna mudik sebagai momentum kembali ke
(daerah) asal. Di tengah kehidupan yang makin universal dan kosmopolitan,
manusia seakan terasing dari kehidupan.
Manusia berada di belantara keramaian dunia, tetapi jiwanya
terasa sepi karena terbelenggu kekangan pekerjaan. Manusia tak lagi memiliki
dirinya, dikendalikan oleh sistem yang memaksa total memikirkan inovasi dan
tanggung jawab kerja. Manusia menjadi bagian dari universalisme dunia, yang
memisahkan diri dari kebahagiaan sejati. Karena itu, manusia membutuhkan jeda
dan momentum pulang ke keaslian jati dirinya, mengisi kekuatan spiritual dengan
kebahagiaan yang tidak ditemukan dalam denyut nadi rutinitas kehidupan
sehari-hari.
Ritus mudik dan kehadiran Idul Fitri akan memberi makna
tersendiri dalam jejak keagamaan manusia. Mudik yang berimpitan dengan perayaan
Idul Fitri diharapkan memberikan pencerahan baru kepada manusia untuk mengenali
keaslian jati diri, agar menjadi pribadi yang berbeda dan memiliki jiwa lebih suci
dibanding sebelumnya. Inilah skenario Tuhan yang memberikan pencerahan pribadi
hingga membentuk jiwa yang kokoh dan nurani manusia yang utuh.
Pada titik ini, manusia diharapkan tak hanya menjalankan
rutinitas mudik secara lahir tetapi juga melakukan mudik rohani, hijrah
spiritual menuju kedewasaan berpikir dan memahami hakikat kemanusiaan. Mudik
juga mengingatkan manusia sebagai makhluk sosial yang butuh sentuhan lembut
kasih sayang dan mempunyai tanggung jawab sosial. Manusia mempunyai peran
menjaga kestabilan alam dan keberlangsungan kehidupan. Peran profetik inilah
yang membedakan manusia dari makhluk Tuhan yang lain. Mudik diharapkan membawa
manusia menuju transformasi kehidupan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar