Sabtu, 03 Agustus 2013

Refleksi Kemanusiaan

Refleksi Kemanusiaan
Munawir Aziz  ;   Direktur Riset the North Coast Center (NCC) STAI Mathaliíul Falah (Staimafa) Pati, Alumnus Pascasarjana UGM
          SUARA MERDEKA, 02 Agustus 2013


WAKTU sepertiga akhir pada Ramadan merupakan ruang refleksi untuk memaknai ibadah, kehidupan sosial, dan hasrat kemanusiaan kita. Setelah hampir sebulan lamanya, muslim yang berpuasa ditempa keringnya dahaga, desakan lapar, dan godaan hawa nafsu, hari Idul Fitri hadir sebagai tonggak akhir ujian rohani.

Puasa Ramadan yang telah dijalankan dengan sepenuh hati, merupakan media penyucian jiwa dan nurani untuk mencapai kesempurnaan. Idul Fitri (Id al-Fitr) menjadi momen agung dan pentahbisan atas kekuatan diri merintangi “ujian” dari Tuhan. Di negeri ini, Idul Fitri dirayakan dengan suasana berbeda. Ritus keagamaan ini menjadi sakral karena dikelilingi berbagai peristiwa dahsyat. Kemeriuhan merayakan Idul Fitri begitu membahana di semua pelosok negeri ini. Idul Fitri disambut dengan perayaan gema takbir bagai tamu agung yang singgah.

Di Indonesia, Idul Fitri biasa disebut Lebaran, yang akrab di telinga warga kecil. Gebyar perayaan yang begitu meriah, menandakan bahwa bangsa ini merindukan simbol-simbol kemenangan untuk melepas jeratan krisis yang membelenggu. Idul Fitri juga diwarnai dengan ritus sakral yang dinantikan semua warga; mudik ke kampung halaman. Mudik menjadi rutinitas tahunan warga negeri ini, untuk pulang ke asal, tanah kelahiran yang menjadi saksi sejarah kehidupan. Fenomena mudik menjadi ritus keagamaan yang khas, ruang rindu untuk melepas penat dan impitan pekerjaan.

Mudik, biarpun diwarnai dengan beban berat, silang-sengkarut manajemen transportasi dan memerlukan dana tak sedikit, seakan-akan menjadi keharusan untuk pulang ke kampung halaman, tanah asal yang menebar kenangan. Mudik menjadi ruang untuk mengenang cerita masa kecil, yang menjadi tonggak perjalanan hidup manusia. Mudik yang begitu fenomenal, menjadi “jeda” untuk memahami hakikat kemanusiaan. Ritual mudik hampir sama dengan perayaan Thanksgiving Day di Amerika Serikat, simbol selebrasi atas limpahan hasil panen.

Di negeri Paman Sam, perayaan Thanksgiving Day menjadi jeda untuk pulang bersama keluarga, momentum yang tepat menyatu dengan keharmonisan famili. Namun, mudik kali ini juga dibarengi dengan peristiwa politik yang tak kunjung menemukan solusi; kasus-kasus korupsi di jajaran elite birokrasi hingga politikus daerah. Dari akumulasi sengkarut politik, warga sudah mulai muak dengan kebohongan-kebohongan politik. Maka, ibadah puasa Ramadan dan ritus mudik dapat menjadi oasis untuk merefleksikan peristiwa kemanusiaan dan keindonesiaan.

Ruang Rindu

Peristiwa mudik tak bisa dilepaskan dari Idul Fitri dan Ramadan. Mudik dapat diterjemahkan sebagai simbol memaknai jati diri yang suci. Kedekatan ritus mudik dengan Idul Fitri menyiratkan kesamaan makna diantara keduanya. Secara harfiah, Idul Fitri dapat dimaknai sebagai “kembali kepada kesejatian diri, ayd (kembali) dan fitri (suci). Hal ini relevan dengan makna mudik sebagai momentum kembali ke (daerah) asal. Di tengah kehidupan yang makin universal dan kosmopolitan, manusia seakan terasing dari kehidupan.

Manusia berada di belantara keramaian dunia, tetapi jiwanya terasa sepi karena terbelenggu kekangan pekerjaan. Manusia tak lagi memiliki dirinya, dikendalikan oleh sistem yang memaksa total memikirkan inovasi dan tanggung jawab kerja. Manusia menjadi bagian dari universalisme dunia, yang memisahkan diri dari kebahagiaan sejati. Karena itu, manusia membutuhkan jeda dan momentum pulang ke keaslian jati dirinya, mengisi kekuatan spiritual dengan kebahagiaan yang tidak ditemukan dalam denyut nadi rutinitas kehidupan sehari-hari.

Ritus mudik dan kehadiran Idul Fitri akan memberi makna tersendiri dalam jejak keagamaan manusia. Mudik yang berimpitan dengan perayaan Idul Fitri diharapkan memberikan pencerahan baru kepada manusia untuk mengenali keaslian jati diri, agar menjadi pribadi yang berbeda dan memiliki jiwa lebih suci dibanding sebelumnya. Inilah skenario Tuhan yang memberikan pencerahan pribadi hingga membentuk jiwa yang kokoh dan nurani manusia yang utuh.


Pada titik ini, manusia diharapkan tak hanya menjalankan rutinitas mudik secara lahir tetapi juga melakukan mudik rohani, hijrah spiritual menuju kedewasaan berpikir dan memahami hakikat kemanusiaan. Mudik juga mengingatkan manusia sebagai makhluk sosial yang butuh sentuhan lembut kasih sayang dan mempunyai tanggung jawab sosial. Manusia mempunyai peran menjaga kestabilan alam dan keberlangsungan kehidupan. Peran profetik inilah yang membedakan manusia dari makhluk Tuhan yang lain. Mudik diharapkan membawa manusia menuju transformasi kehidupan. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar