Sabtu, 03 Agustus 2013

Nalar Dokumentasi Santri

Nalar Dokumentasi Santri
Surahmat  ;   Dosen Bahasa Indonesia Universitas Negeri Semarang (Unnes)
          SUARA MERDEKA, 02 Agustus 2013


Mendikbud 1985-1993 Fuad Hasan berang karena permohonannya kepada pemerintah Inggris ditolak, kala itu. Ia minta 500 manuskrip Keraton Yogyakarta yang dibawa Inggris pada masa penjajahan Belanda dikembalikan. Alih-alih dikabulkan, pemerintah Inggris justru hanya mengirim microchip ratusan naskah tersebut.

Meski marah, Menteri justru memaklumi bahwa naskah-naskah kuno memang akan lebih aman di sana. Pemerintah Inggris memperlakukan naskah itu secara layak. Disimpan di tempat khusus dengan perawatan khusus pula, tak setiap orang bisa mengaksesnya. Adapun di negeri sendiri, sudah jamak diketahui, banyak naskah terabaikan. Naskah menemui nasib naas; ditelantarkan. Tidak satu atau dua kali naskah mengalami nasib buruk di negeri.

Bahkan pusat dokumentasi yang kaya seperti PDS HB Jasin nyaris ditutup karena tak mendapat biaya operasional dan perawatan layak. Padahal, jauh hari sebelum ini bangsa kita sudah punya tradisi mendokumentasi. Pada sekitar tahun 695 M misalnya, Kerajaan Sriwijaya memiliki perpustakaan yang digunakan oleh 1.000 biksu. Perpustakaan ini juga digunakan biksu lain dari India dan China yang melancong ke negeri ini.

Pengabaian terhadap naskah tidak menjangkiti seluruh elemen masyarakat ini. Harapan muncul dari kalangan santri. Sebagai masyarakat akademik mereka menunjukan sikap dan cara berbeda dalam mengelola naskah yang dimiliki. Dengan cara bersahaja, mereka mampu mendokumentasikan kitab-kitab yang selama ini menjadi sumber belajar. Perhatian besar santri terhadap naskah muncul karena tiga dorongan. Pertama; mereka memiliki kecintaan terhadap ilmu pengetahuan.

Mendokumentasikan kitab memungkinkan mereka mengakses pengetahuan dengan lebih leluasa. Menjaga jarak dengan kitab agar selalu dekat adalah strategi diri agar ghirah belajar tetap dimiliki. Kedua; santri menganggap ilmu pengetahuan sebagai jalan hidup. Mereka belajar agar dapat memperbaiki akhlak, menjaga perilaku, dan menjadi pribadi bermanfaat. Pandangan ini berbeda dari kelompok akademik lain yang menjadikan proses belajar sebagai sarana mobilisasi sosial dan perbaikan kondisi ekonomi. Ketiga; kitab-kita yang digunakan di pesantren salafi memiliki kekekalan melebihi buku lain.

Kitab berisi prinsip-prinsip beragama, ajaran moral, syariah, bahkan siyasah yang tak lekang oleh waktu. Buku ini dapat digunakan selama puluhan tahun dari generasi yang satu ke generasi berikutnya. Kekuatan Santri Selain itu, santri punya dalil naqli yang mendorong mereka mendokumentasikan naskah-naskah yang dimilikinya. Data Kementerian Agama menunjukan, pada 2011 saja terdapat 27.218 pesantren di Indonesia.

Dari jumlah tersebut 13.446 (49,4%) di antaranya pesantren salaf, 3.064 (11,3%) pesantren khalafiyah, dan 10.708 (39,3%) pesantren kombinasi. Dari jumlah pesantren tersebut, tercatat setidak-tidaknya 3.642.738 santri. Santri laki-laki lebih banyak, yakni 1.895.580 orang (52,0%) dibanding santri perempuan yang berjumlah sekitar 1.747.158 orang (48,0%).

Statistik itu menunjukan kekuatan santri dalam gerakan kebudayaan tak bisa dipandang sebelah mata. Nalar dokumentatif yang mereka miliki secara inheren sangat potensial dalam ikhtiar mendokumentasikan naskah-naskah lama. Lantaran mereka bergerak pada bidang ilmu keagamaan, mereka bisa diandalkan dalam menyelamatkan naskah-naskah lama pada bidang kajian itu. Langkah nyata pernah dilakukan Abdurahman Wahid.


Dalam buku katalog induk naskah-naskah Nusantara Jilid 4 Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI) disebutkan tentang naskah koleksi Abdurrahman Wahid. Koleksi itu umumnya berupa manuskrip yang ada di pesantren sekitar abad ke-18 sampai abad ke-20. Demi kepentingan yang lebih luas, bersama Martin van Bruimessen dan Timothy Behrend pada tahun 1993 Abdurrahman Wahid menyerahkannya ke tempat yang lebih aman, yang ditanggung negara, yaitu Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar