|
Mendikbud 1985-1993 Fuad Hasan berang karena permohonannya
kepada pemerintah Inggris ditolak, kala itu. Ia minta 500 manuskrip Keraton
Yogyakarta yang dibawa Inggris pada masa penjajahan Belanda dikembalikan.
Alih-alih dikabulkan, pemerintah Inggris justru hanya mengirim microchip
ratusan naskah tersebut.
Meski marah, Menteri justru memaklumi bahwa naskah-naskah
kuno memang akan lebih aman di sana. Pemerintah Inggris memperlakukan naskah
itu secara layak. Disimpan di tempat khusus dengan perawatan khusus pula, tak
setiap orang bisa mengaksesnya. Adapun di negeri sendiri, sudah jamak
diketahui, banyak naskah terabaikan. Naskah menemui nasib naas; ditelantarkan.
Tidak satu atau dua kali naskah mengalami nasib buruk di negeri.
Bahkan pusat dokumentasi yang kaya seperti PDS HB Jasin
nyaris ditutup karena tak mendapat biaya operasional dan perawatan layak.
Padahal, jauh hari sebelum ini bangsa kita sudah punya tradisi mendokumentasi.
Pada sekitar tahun 695 M misalnya, Kerajaan Sriwijaya memiliki perpustakaan
yang digunakan oleh 1.000 biksu. Perpustakaan ini juga digunakan biksu lain
dari India dan China yang melancong ke negeri ini.
Pengabaian terhadap naskah tidak menjangkiti seluruh elemen
masyarakat ini. Harapan muncul dari kalangan santri. Sebagai masyarakat
akademik mereka menunjukan sikap dan cara berbeda dalam mengelola naskah yang
dimiliki. Dengan cara bersahaja, mereka mampu mendokumentasikan kitab-kitab
yang selama ini menjadi sumber belajar. Perhatian besar santri terhadap naskah
muncul karena tiga dorongan. Pertama; mereka memiliki kecintaan terhadap ilmu
pengetahuan.
Mendokumentasikan kitab memungkinkan mereka mengakses
pengetahuan dengan lebih leluasa. Menjaga jarak dengan kitab agar selalu dekat
adalah strategi diri agar ghirah belajar tetap dimiliki. Kedua; santri
menganggap ilmu pengetahuan sebagai jalan hidup. Mereka belajar agar dapat
memperbaiki akhlak, menjaga perilaku, dan menjadi pribadi bermanfaat. Pandangan
ini berbeda dari kelompok akademik lain yang menjadikan proses belajar sebagai
sarana mobilisasi sosial dan perbaikan kondisi ekonomi. Ketiga; kitab-kita yang
digunakan di pesantren salafi memiliki kekekalan melebihi buku lain.
Kitab berisi prinsip-prinsip beragama, ajaran moral,
syariah, bahkan siyasah yang tak lekang oleh waktu. Buku ini dapat digunakan
selama puluhan tahun dari generasi yang satu ke generasi berikutnya. Kekuatan
Santri Selain itu, santri punya dalil naqli yang mendorong mereka
mendokumentasikan naskah-naskah yang dimilikinya. Data Kementerian Agama
menunjukan, pada 2011 saja terdapat 27.218 pesantren di Indonesia.
Dari jumlah tersebut 13.446 (49,4%) di antaranya pesantren
salaf, 3.064 (11,3%) pesantren khalafiyah, dan 10.708 (39,3%) pesantren
kombinasi. Dari jumlah pesantren tersebut, tercatat setidak-tidaknya 3.642.738
santri. Santri laki-laki lebih banyak, yakni 1.895.580 orang (52,0%) dibanding
santri perempuan yang berjumlah sekitar 1.747.158 orang (48,0%).
Statistik itu menunjukan kekuatan santri dalam gerakan
kebudayaan tak bisa dipandang sebelah mata. Nalar dokumentatif yang mereka
miliki secara inheren sangat potensial dalam ikhtiar mendokumentasikan naskah-naskah
lama. Lantaran mereka bergerak pada bidang ilmu keagamaan, mereka bisa
diandalkan dalam menyelamatkan naskah-naskah lama pada bidang kajian itu.
Langkah nyata pernah dilakukan Abdurahman Wahid.
Dalam buku katalog induk naskah-naskah Nusantara Jilid 4
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI) disebutkan tentang naskah
koleksi Abdurrahman Wahid. Koleksi itu umumnya berupa manuskrip yang ada di
pesantren sekitar abad ke-18 sampai abad ke-20. Demi kepentingan yang lebih
luas, bersama Martin van Bruimessen dan Timothy Behrend pada tahun 1993
Abdurrahman Wahid menyerahkannya ke tempat yang lebih aman, yang ditanggung
negara, yaitu Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar