MEDIA
INDONESIA, 31 Juli 2013
|
“PERSOALANNYA, kita ini sesudah Soekarno tidak punya
pemimpin,” kata Pramoedya Ananta Toer.
Agaknya, benarlah apa yang pernah dikatakan Pramoedya Ananta Toer, kita seolah
kesulitan mencari orang yang dapat memimpin negara ini secara bermartabat dan
memiliki integritas yang mantap. Sebab, pencarian pemimpin seolah tampak
dilakukan dengan cara semaunya oleh elite politik dan elite kapital saja.
Tengok, bermacam cara partai
politik mencari-cari calon pemimpin untuk dicalonkan sebagai presiden dalam
Pemilu 2014 nanti. Mereka memilah, mengolah, dan memilih para kandidat presiden
yang akan bertarung: ada partai politik yang sudah mewacanakan konvensi, ada
yang sudah percaya diri mengajukan ketua umum partainya sebagai calon presiden,
dan ada pula yang masih ‘meraba-raba’ kian kemari.
Munculnya situasi mencaricari
pemimpin seperti itu, seolah tak ada lagi elite yang dapat dipercaya mampu
memimpin negara. Kaderisasi pemimpin bangsa dari partai politik berjalan lesu
lantaran partai dikuasai segelintir elite atau seorang penguasa saja. Apa maunya
pemimpin tertinggi partai harus dituruti jajar an pengurusnya, tak hanya di
pusat, tapi juga di daerah.
Di tengah kegetiran itu,
dikhawatirkan pencarian pemimpin (presiden) dilakukan secara transaksional. Pertanyaannya,
bagaimana nasib demokrasi di Indonesia jika pemilahan dan pemilihan pemimpin di
negeri ini dilakukan dalam pola transaksional?
Memang, menurut Maurice Duverger,
dalam The Study of Politics yang
diterjemahkan Daniel Dhakidae (2005:160), dalam arena politik, perjuangan
individu adalah untuk mencapai posisi utama (struggle for preeminence) dan ini berlaku sebagai basis teori-teori
tentang elite: dari persaingan merebut kekuasaan muncullah yang terbaik, yang
paling mampu, dan mereka yang mampu memerintah. Tentu, dalam dan mereka yang
mampu memerintah. Tentu, dalam konteks Indonesia, pengajuan kandidat presiden
dengan syarat, yaitu partai atau gabungan partai berhasil memiliki 20% dalam
Pemilu 2014.
Perkembangan demokrasi yang sedang
berlangsung di Indonesia terkesan lebih kuat diwarnai saling hujat. Demokrasi
dicerna dengan sikap yang tak substansial dengan menghabisi partai politik atau
politisi yang ketiban sial. Akhirnya, pilihan politik rakyat yang telah memilih
pemimpinnya diliputi rasa sesal.
Namun, kita semua harus mengakui
dengan terus terang dan jujur, terkadang kita lupa melihat figur calon pemimpin
yang kini sering tampil melalui survei dan media, di antaranya pernah lalai dan
abai terhadap tanggung jawab kemanusiaan yang pernah diperbuat. Bukankah Milan
Kudera pernah berkata, perjuangan seseorang melawan kekuasaan adalah perjuangan
ingatan melawan lupa, melawan apa yang kita tahu dan apa yang kita tak tahu.
Karena itu, kita tak melulu berharap secara semu bahwa kelak suatu masa di
Indonesia memiliki pemimpin yang integritasnya luar biasa.
Pencarian sosok pemimpin yang
diharapkan tentu tak akan menemukan titik akhir. Ia bisa saja sudah hadir, tapi
masih enggan untuk tampil di publik. Atau ia tak akan pernah ada, hingga tiba
masanya rakyat sadar bahwa kita su bahwa kita su dah tak memiliki pemimpin yang
dapat mengubah bangsa ini menjadi lebih beradab dan berdaulat. Bila benar
begitu, Indonesia menjadi bangsa yang penuh dengan `seolah-olah': setumpukan
delusi...semuanya kelihatan keliru, seperti gigi palsu yang lebih putih
daripada gigi asli...delusi di atas delusi (Parakitri
T Simbolon, 2000:2).
Digadang-gadang
Mahbub Djunaidi (1973) dalam kolom
di sebuah majalah yang penulis unduh dari pojokmahbubdjunaidi.blogspot.com
pernah menulis, pada 1966 orang hampir bersepakat tak memerlukan lagi tipe
kepemimpinan solidarity-maker, yang
melompat dari podium ke podium, bagaikan awan tergantung di atas lautan massa.
Sudah bukan zamannya lagi. Dia
mungkin objektif benar untuk masanya, tapi tidak untuk seluruh masa. Yang
diperlukan tipe `administrator', seperti Kennedy atau si tua Adenauer. Maka
muncullah tipe kepemimpinan edisi baru, model mutakhir, produk cemerlang
sanjungan demonstran.
Sekarang, yang tadinya baru itu
sudah dianggap tidak baru lagi. Perlu yang lebih baru. Segala berkembang secara
dialektis. Administrator itu baik, tapi urusan manusia sudah telanjur ruwet,
mustahil bisa dipahami hanya dengan memperlakukan mereka bagaikan bundel-bundel
dan angka-angka. Teknokrat, si dewa-dewa modern, itu baik, tetapi membangun
pabrik tidak sesulit melakukan komunikasi sosial. Heterogen menuntut rasa
cermat. Maklum, bukan sekadar isi kepala yang berbeda, melainkan juga warna
rambut dan panjangpendeknya yang tumbuh di kulit kepala.
Walhasil, pemimpin yang dicari
bukan pemimpin yang diada-adakan atau mengadangada ditemukan. Masyarakat mesti
cermat dalam memilih kandidat presiden pada Pemilu 2014 nanti. Almarhum Mahbub
Djunaidi tepat, Indonesia yang majemuk ini perlu memiliki pemimpin yang
menuntut rasa cermat. Sebab, penghuni negara ini bukan sekadar isi kepala yang
berbeda, melainkan juga warna rambut dan panjangpendeknya yang tumbuh di kulit
kepala.
Karena itu, selain kepemimpinan
baru dengan kategori ideal yang ramai didiskusikan, pemimpin yang berkhidmat
terhadap kebhinekaan juga penting.
Artinya, kepemimpinan yang kita
cari adalah pemimpin yang membumi dan sosok yang memimpin rakyatnya dengan
sepenuh hati dan penuh empati. Dalam pemilihan Presiden 2014 nanti, diharapkan
rakyat jangan sampai salah pilih.
Rakyat mesti jeli memilah dan memilih figur-figur yang digadang-gadang bakal
menjadi presiden di negeri ini. Soalnya, kita bukan menanti seorang presiden
yang datang dari `surga'. Ya, sudahlah... ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar