Sabtu, 03 Agustus 2013

Pengaman dan Pelindung

Pengaman dan Pelindung
Toeti Prahas Adhitama ;  Anggota Dewan Redaksi Media Group
          MEDIA INDONESIA, 02 Agustus 2013


BERITA awal minggu ini tentang jalan lintas kereta api tanpa palang di Medan Utara cukup mengganggu. Sekalipun di sisi jalan memang dipasang rambu lalu lintas, yang mengingatkan pengguna jalan tentang tempat melintas kereta api, tanpa palang, pengguna jalan tentu masih dituntut selalu waspada. Musibah toh bisa terjadi karena manusia gampang lengah. Palang mencegah penerobosan ketika makhluk besi itu sedang melaju.

Masalah itu mengingatkan tentang betapa sering kita mengabaikan hal-hal penting untuk pengamanan kita. Jagat informasi akhir-akhir ini tidak pernah sepi dari berita pelanggaran hukum tentang apa pun, baik perdata maupun pidana, oleh pemerintahan ataupun swasta, yang dilakukan orang banyak ataupun individu, yang bersifat politik atau bahkan bersifat filantropis atau agama. Kita seakan lupa bahwa kita tinggal di negara hukum.

Jalan kereta api tanpa palang mengibaratkan situasi kita sekarang. Rambu yang terpasang ibarat hukum yang sempurna tiada cela. Namun, untuk menjamin keselamatan karena sifat lengah manusia, palang tetap dibutuhkan. Palang ibarat para penegak hukum dan mereka yang bekerja di seputarnya. Bedah Editorial Media Indonesia awal minggu ini menyesalkan terjadinya pelanggaran oleh oknum-oknum penegak hukum dan sekelilingnya yang bermental bayaran. Palang pelindung urung ditegakkan. Bila tidak ada koreksi, negara dan rakyat yang lengah ini suatu saat bisa kena musibah besar. Bayangkan apa yang terjadi bila jajaran pemimpin yang akan kita pilih setahun lagi masih juga yang bermental bayaran.

Jujur dan pintar

Idealnya, kita tentu ingin menjaring pemimpin-pemimpin yang jujur dan pintar. Jangan disuruh memilih antara yang jujur tetapi bodoh, dengan yang pintar tetapi tidak jujur. Anies Baswedan, Rektor Universitas Paramadina, dalam suatu diskusi tentang kepemimpinan masa depan menyatakan pilihannya, yakni yang pintar sekalipun tidak jujur. Pasalnya, ketidakjujuran masih bisa dicegah berbagai peraturan. Alasan lain, mendidik orang bodoh memerlukan waktu lama.

Pertanyaannya, apakah di antara sekitar 180 juta orang yang berhak memilih dan dipilih tidak bisa terjaring sekelompok orang pintar dan jujur? Lagi pula, bila kelompok yang pintar dan tidak jujur menjalankan negara, bukankah kita akan diakali karena hukum pun bisa mereka akali? Ini sering terjadi dan banyak pula dikritisi.

Menurut sejarah peradaban manusia, aturan-aturan yang mengikat telah dirumuskan untuk kehidupan bermasyarakat. Itulah yang kita sebut hukum yang bahkan sudah kita kenal sebelum masyarakat menjalani modernisasi.
Hukum adat, contohnya, tidak diturunkan dalam rumusan hukum modern yang kita kenal sekarang, tetapi awalnya diturunkan lewat adat kebiasaan dan tradisi lisan.

Sejauh yang terjadi di zaman modern ini, aturan atau hukum yang dipatuhi masyarakat mendapat legitimasi karena sesuai dengan sentimen moral dan keyakinan masyarakat. Usaha memaksakan aturan/hukum yang tidak sesuai dengan keyakinan mayoritas masyarakat hanya akan menurunkan rasa hormat kepada aturan/hukum pada umumnya, termasuk para penegak hukum.

Kenyataan inilah yang seharusnya menyadarkan kita agar jangan menganggap hukum sebagai sistem abstrak hasil rumusan intelektual semata, tetapi dia harus mencerminkan perhatian dan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat dan menstabilkan rasa keadilan masyarakat. Namun, hukum tidak statis. Dia terus bergulir menyesuaikan diri dengan kebutuhan dan persepsi masyarakatnya, juga dengan pengetahuan dan pengalaman baru ataupun tantangan-tantangan baru. Ini menyebabkan kita sering bertanya-tanya, mengapa gagasan-gagasan yang dulu kita anggap sempurna ternyata sekarang memerlukan pembaruan dan/atau perubahan?

Semua yang berjiwa pemimpin, dalam hati kecil, menyadari gejala ini. Ini pula yang kita harapkan bisa dirasakan mereka yang kelak terpilih sebagai anggota legislatif de wan pembuat undang-undang yang mengatur kehidupan bermasyarakat.

Jangan gagal memasang palang

Penegakan rambu-rambu bisa sia-sia bila palang tidak terpasang atau terjaga. Itulah analogi usaha penegakan hukum di negeri kita. Banyak yang merongrong. Yang menyedihkan justru para penegak hukum sendiri yang merongrong. Beberapa gelintir petingginya terbukti telah berperilaku dan bersikap mengecewakan, tetapi mereka hanya oknum. Suatu saat mereka akan terlupakan.

Sebaliknya bila para penegak hukum menampilkan diri santun dan siap membantu, lembaga pun mendapat catatan positif. Sebagai misal, pemunculan polwan-polwan cantik di televisi yang member pengarahan soal lalu lintas di kota-kota besar atau sejumlah pejabat Humas Polri berwajah sejuk dan bijak memberikan kesan Polri pendamping ideal kita. Selain itu, keterampilan Densus 88 menyingkirkan gerombolan pengacau menegaskan gambaran Polri sebagai penegak hukum yang dapat diandalkan. 
Sayangnya, jumlah anggotanya belum memadai untuk kebutuhan. Yang kita butuhkan sekitar 600 ribu orang, tetapi yang ada baru sekitar dua pertiganya.


Polri pastinya memiliki tokoh-tokoh ideal yang menjadi tumpuan masyarakat. Salah satunya Hoegeng Imam Santoso (1921-2004), Kepala Kepolisian Negara RI (Mei 1968-Oktober 1971). Dia yang merombak struktur organisasi Mabes Polri hingga lebih dinamis dan komunikatif dan mengubah sebutan Panglima Angkatan Kepolisian RI (Pangak) menjadi Kepala Kepolisian RI (Kapolri). Atas pengabdiannya, Pak Hoegeng telah menerima sejumlah tanda penghargaan berupa 8 Bintang dan 9 Satya Lencana. Tokoh sederhana yang taat hukum ini memiliki hobi bermain musik Hawai, dengan kelompok pemusik terkenal, The Hawaiian Seniors. Penegak palang pengaman tidak harus garang. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar