Sabtu, 03 Agustus 2013

Dilema Pemenuhan Kebutuhan Pangan

Dilema Pemenuhan Kebutuhan Pangan
Fajar B Hirawan ;  Peneliti Departemen Ekonomi CSIS, Kandidat doktor di School of Economics The University of Sydney
 MEDIA INDONESIA, 02 Agustus 2013

         
PEMENUHAN kebutuhan pangan nasional menjadi sebuah teka teki yang masih sulit dipecahkan di negeri yang sempat terkenal dengan sebutan negara agraris di era 1980-an, Indonesia. Permasalahan pemenuhan kebutuhan pangan nasional bagaikan benang kusut yang sulit diurai. Analogi yang digunakan tersebut memang cukup relevan untuk menggambarkan kondisi pemenuhan kebutuhan pangan nasional di Indonesia. Pada dasarnya ada dua dilema yang sering kali menghambat pemenuhan kebutuhan pangan nasional di negeri ini, antara lain kebijakan perdagangan yang cenderung proteksionis dan politisasi kebijakan pangan.

Dilema pertama berkaitan dengan kebijakan perdagangan yang cenderung proteksionis. Kementerian Perdagangan (Kemendag) dan Kementerian Pertanian (Kementan) melalui Peraturan Menteri (Permen) No 60 Tahun 2012 sangat gencar sekali untuk melarang impor beberapa bahan pangan dari luar Indonesia mulai awal 2013. Dampak pengimplementasian permen di dua kementerian tersebut menimbulkan reaksi yang beragam di dalam negeri.

Beberapa pihak, khususnya asosiasi/perkumpulan petani atau kalangan produsen, cenderung mendukung kebijakan yang diambil pemerintah dengan harapan hasil panen mereka dapat menguasai pasar domestik dengan harga yang tinggi. Namun, pihak lainnya, khususnya yang berasal dari kalangan konsumen, cenderung menolak kebijakan tersebut karena ditakutkan akan mengurangi pilihan konsumen terhadap bahan pangan dengan harga yang kompetitif. Alhasil, kebijakan tersebut telah menimbulkan guncangan yang cukup luar biasa di semester pertama 2013.

Beberapa komoditas, seperti bawang putih, cabai merah, dan buah-buahan sempat mengalami kelangkaan di pasar domestik, bahkan harga per kilogramnya sempat meroket. Selain itu, dengan penerapan permen tersebut, Indonesia juga mendapat kecaman dari beberapa mitra dagang serta lembaga internasional, seperti WTO (World Trade Organization).

Kebijakan yang menimbulkan sejumlah kontroversi serta kecaman di dalam maupun luar negeri tersebut, tampaknya secara perlahan sudah mulai memudar terkait dibukanya arus impor bahan pangan, khususnya dalam rangka menjaga stabilitas harga pangan nasional saat Ramadan. Pemerintah akhirnya sedikit demi sedikit menudagang serta lembaga internasional, seperti WTO (World Trade Organization).

Kebijakan yang menimbulkan sejumlah kontroversi serta kecaman di dalam maupun luar negeri tersebut, tampaknya secara perlahan sudah mulai memudar terkait dibukanya arus impor bahan pangan, khususnya dalam rangka menjaga stabilitas harga pangan nasional saat Ramadan. Pemerintah akhirnya sedikit demi sedikit menu runkan tingkat proteksi terhadap impor bahan pangan. Ramadan yang merupakan bulan saat sering terjadi peningkatan harga yang cukup signifikan, dijadikan momentum bagi pemerintah untuk membuka arus impor dari luar negeri, khususnya bahan pangan pokok yang permintaannya cenderung melonjak tajam seperti daging sapi. Selain untuk menghilangkan kesan yang telah muncul sejak awal 2013 terhadap pemerintah Indonesia dengan proteksionismenya.

Kebijakan impor bahan pangan memang pada dasarnya merupakan instrumen yang sangat strategis bagi pemerintah guna menjaga stabilitas harga pangan, khususnya ketika Ramadan, saat tingkat inflasi tidak pernah absen dari peningkatan yang cukup signifikan akibat naiknya beberapa bahan pangan pokok. Secara tidak langsung, kebijakan impor bahan pangan yang dilakukan Kemendag dan berkoordinasi dengan kementerian lain merupakan sebuah langkah yang baik demi terciptanya stabilitas harga pangan nasional.

Tidak berdiri sendiri

Selama ini impor dianggap sebagai suatu tindakan yang merugikan bahkan dianggap sebagai evil yang memiliki dampak buruk bagi perekonomian suatu negara. Dalam teori ekonomi makro dijelaskan bahwa trade can make everyone better off yang artinya perdagangan memiliki dampak positif bagi setiap negara. Perdagangan luar negeri berperan penting dalam memenuhi kebutuhan masyarakat global karena pada intinya dalam era globalisasi saat ini, pertukaran barang, jasa, tenaga kerja, dan modal merupakan suatu hal yang lumrah, khususnya untuk saling mengisi kekurangan dan menyalurkan kelebihan produksi di suatu negara.

Dalam kaitannya dengan bahan pangan, kebijakan ekonomi memang tidak bisa berdiri sendiri, karena pada kenyataannya di lapangan perdagangan bahan pangan merupakan suatu kegiatan yang sangat sensitif bagi beberapa negara di dunia, termasuk Indonesia. Muatan politis dalam pengaplikasian kebijakan bahan pangan bukanlah suatu yang baru. Sebab pada dasarnya bahan pangan merupakan sarana yang sangat strategis untuk mempromosikan pihak tertentu. Sehingga terkadang tak lepas dari permainan impor komoditas tertentu, seperti yang terjadi dalam kasus mafia daging sapi, dan juga alat kampanye yang sangat populer bagi pihak-pihak tertentu.

Dilema yang kedua berkaitan dengan politisasi kebijakan pangan. Kebijakan pangan di In donesia tidak memi liki konsep dan sebuah grand design yang berkesinambungan. Hal ini dapat terlihat dengan tidak adanya koordinasi yang baik antara beberapa kementerian dan lembaga negara yang berkaitan secara langsung maupun tidak langsung dengan kebijakan pangan. Seperti contoh, tidak jelasnya kelangsungan hidup sebuah kebijakan di bidang pertanian, yaitu revitalisasi pertanian. Diluncurkan pada 2005, revitalisasi pertanian pada awalnya memberikan sebuah angin segar bagi sektor pertanian di Indonesia, namun setelah hampir kurang lebih tujuh tahun, hasil nyata dari penerapan kebijakan tersebut tidak begitu kentara. Bahkan masih saja terjadi kekurangan produksi atau pasokan pangan untuk kebutuhan pangan dalam negeri.

Tidak Berkoordinasi

Contoh lainnya ialah kebijakan Kementan yang menargetkan swasembada pada
beberapa bahan pangan, seperti beras, kacang kedelai, jagung, daging sapi, dan gula di 2014. Penentuan ke lima komoditi tersebut juga terkesan politis dan dipaksakan karena memang setiap Kementerian memiliki targetnya masing-masing dan terkadang tidak ada koordinasi yang baik dalam rangka pencapaian target tersebut.

Jika memang pemerintah ingin menarget kan swasembada terhadap lima komoditi yang telah disebutkan di atas, seharusnya ke lima komoditi tersebut diketahui kementerian lain yang berkaitan secara langsung maupun tidak langsung seperti Kemendag, BKPM, dan lembaga negara lainnya. Fakta di lapangan, setiap kementerian terkesan berjalan sendirisendiri tanpa ada kerja sama yang baik.

Frances M Lappe dan rekannya pada 1998 menerbitkan sebuah buku berjudul World Hunger: 12 Myths yang isinya menjelaskan 12 mitos penyebab bencana kelaparan atau kurangnya pasokan pangan di dunia. Dua mitos yang sangat berhubungan dengan penjelasan sebelumnya adalah free trade is the answer dan free market can end hunger. Mitos yang menyebutkan bahwa perdagangan bebas merupakan jawaban untuk mengurangi jumlah kelaparan atau memenuhi kebutuhan pangan. Mitos ini memang perlu dipahami secara baik karena pada umumnya kegiatan ekspor dan impor dilakukan para produsen dan konsumen berskala besar yang berusaha untuk memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya. Maka dari itu, kegiatan perdagangan luar negeri guna memenuhi kebutuhan pangan nasional perlu diawasi secara ketat dan perlu mengikutsertakan seluruh unsur, mulai dari pemerintah hingga petani berskala kecil.

Kemudian, mitos yang menggarisbawahi peran pasar bebas yang mampu mengurangi jumlah kelaparan atau memenuhi kebutuhan pangan perlu ditelaah lebih jauh. Sebab hal itu terkait dengan pemenuhan kebutuhan pangan. Peran pemerintah, khususnya Indonesia, juga sama pentingnya karena memiliki tanggung jawab untuk mengalokasikan dan mendistribusikan bahan pangan ke seluruh pelosok negeri.

Dalam hal ini, koordinasi antara kementerian dan lembaga negara yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan pangan nasional perlu ditingkatkan. Selain itu perlu ada upaya untuk meminimalkan politisasi kebijakan yang pada akhirnya hanya menguntungkan beberapa pihak tertentu saja. Usaha dalam memenuhi kebutuhan pangan nasional memang sangatlah kompleks.
Namun, pengurangan tingkat proteksionisme perdagangan dan politisasi kebijakan pangan dapat menjadi kunci awalnya kesuksesan pemenuhan   kebutuhan pangan di Indonesia. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar