OKEZONENEWS, 02
Agustus 2013
|
Ada sebuah
ungkapan yang mengatakan, impian dapat menjadi kenyataan, jika dibarengi dengan
tindakan, namun jika impian tidak diiringi tindakan, tentu tidak akan
menghasilkan impian tersebut menjadi kenyataan. Tak mengherankan jika ada yang
menganggap mimpi merupakan bagian dari isyarat agar diri kita selalu konsisten
dan penuh ketekunan untuk mereliasasikan harapan yang ingin dicapai.
Pasca berhembusnya angin reformasi 1998, terbukti telah membawa perubahan pada sendi kehidupan berbangsa. Kehadiran Otonomi Daerah (otda) merupakan salah satu bukti begitu telah hidupnya demokrasi di negeri ini. Sangat jelas, otda menempati posisi yang sangat sakral dalam penyelenggaraan kehidupan nasional, karena dengan adanya otonomi inilah, daerah memiliki kesempatan yang luas untuk menyusun kebijaksanaan pembangunan yang sesuai dengan situasi dan kondisi daerah, serta kebutuhan masyarakat daerah.
Harapan dengan adanya otda, pembangunan dapat berhasil dengan baik, dan potensi daerah mampu dimaksimalkan. Selain itu, otda juga dapat dilihat sebagai bagian dari proses demokratisasi, asumsi ini dilandasi sebuah kenyataan dengan otonomi, berarti daerah diberikan kewenangan yang lebih luas untuk mengambil keputusan dalam penyelenggaraan pemerintah, dan tidak harus selalu mengikuti garis kebijaksanaan yang ditentukan dari pemerintah pusat atau pemerintah di atasnya.
Namun, sangat disayangkan otda yang sudah berjalan lebih dari 11 tahun sampai hari ini, ternyata belum mampu menjembatani hubungan antara daerah dan pusat. Termasuk didalamnya masalah kesejahteraan masyarakat. Fakta ini menunjukan pemekaran daerah yang selama ini digadang-gadang membawa keberkahan bagi masyarakat di daerahnya, jauh dari apa yang dicita-citakan.
Seharusnya konsep pemekaran daerah yang berlangsung di masa depan diharap bisa berjalan melalui mekanisme dan persyaratan yang jelas. Ketua Umum DPP Partai Amanat Nasional (PAN) Hatta Rajasa menyikapi permasalahan otda terkait dengan kesejahteraan masyarakat menilai, pemekaran jangan asal dilakukan ataupun disahkan karena bisa membawa dampak negatif bagi masyarakat. "Kalau pemekaran tidak menghasilkan kesejahteraan, maka celakalah kita," ujar Hatta dalam pidato pembekalan caleg PAN yang berlangsung di Balai Kartini, Jakarta, beberapa waktu lalu.
Tak mengherankan pada akhirnya Hatta menginstruksikan kepada seluruh anggota dewan dari Fraksi PAN, untuk bersikap selektif dalam menentukan daerah otonom baru (DOB) yang mengajukan pemekaran. Apa lagi faktor utama dari pemekaran adalah kesiapan daerah, kesiapan masyarakat, termasuk potensi yang dimiliki daerah dapat digunakan untuk kemandirian kelak.
Ajakan ini menurut penulis menunjukkan kepedulian dirinya terhadap nasib masyarakat pasca terbentuknya otda diwilayahnya. Jangan sampai masyarakat tak dapat menikmati kekayaan daerah dan harus mengalami kesengsaraan padahal daerahnya memiliki potensi alam yang mengiurkan. Jika ini sampai terjadi menunjukkan otda tak membawa manfaat bagi warganya dalam menjalani kehidupan.
Dalam UUD 45 dan Undang-Undang Otonomi Daerah, menjelaskan masalah kemiskinan yang ada di wilayah daerah harus diatasi bersama, namun pada kenyataannya masalah ini justru hanya bermuara ke pemerintah pusat, sedangkan pejabat daerah, baik itu Bupati maupun Gubernur, terkesan menutup mata. Ironisnya keadaan warganya sampai tak terendus. Isu-isu keseharian masyarakat di daerah, harusnya pemimpin lokal yang lebih bertanggungjawab. Jangan sampai otda hanya dimaknai kemandirian pengelolaan SDA, tetapi tidak mampu dalam menciptakan kemandirian dan menciptakan kesejahteraan warganya.
Selama ini terkesan, menantu dari Sarwo Edhi Wibowo ini dianggap lalai dalam mensejahterahkan kehidupan rakyat. Kasus Tasripin beberapa waktu lalu dan tidak berjalannya KUR selama ini, menjadi bukti tak berjalannya mesin pemerintah di daerah dalam menyuarakan kesejahterakan rakyat.
Dilihat dari realitas, Otda itu sendiri memiliki wewenang dan hak untuk membuat kebijakan secara lebih otonom dan untuk menata anggarannya secara mandiri. Pemerintah daerah memiliki potensi yang sangat besar untuk mempengaruhi pengurangan kemiskinan. Pada kenyataanya masih banyak dijumpai kisah Tasripin lainnya di belahan negeri ini. Tak mengherankan jika selama ini program pemerintah tak berjalan dengan yang diharapkan. Salah satu contoh ketika SBY menyambangi Tanjung Pasir, Tangerang, Banten, Jumat (4/1/2012).
Dalam kunjungannya tersebut, ternyata dijumpai masih banyak masyarakat yang belum mengetahui program pemerintah terkait kesejahteraan rakyat. Salah satunya program Kredit Usaha Rakyat (KUR), skema kredit untuk usaha kecil tanpa agunan. Sangat disayangkan, implementasi dari anggaran untuk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang mencapai angka Rp 20 triliun, yang telah mengalami peningkatan pinjaman dari Rp 5 juta menjadi Rp 20 juta, tak diketahui sepenuhnya oleh masyarakat sekitar. Lebih mengenaskan, sampai ada nelayan yang kesulitan untuk melaut dikarenakan ketiadaan solar maupun biaya untuk membeli bahan bakar.
Seyogyanya, kenaikan ini dijadikan peningkatan untuk memajukan masyarakat terutama UMKM, bukan sebaliknya menyebabkan UMKM atau masyarakat sekitar semakin langka ataupun tidak mengalami pengembangan. Seharusnya tenaga penyuluh di tingkat wilayah seperti kecamatan dan jajaranya mampu memperkuat sistem agar lebih mantap untuk mereplikasikan, dan memfasilitasi masyarakat agar menikmati keberadaan KUR.
Peran pejabat daerah terlihat tidak mampu mensosialisasikan program-program yang didengungkan pemerintah. Upaya pemerintah dalam menekan angka kemiskinan pada akhirnya bisa saja kandas, jika setiap daerah berupaya menutup mata terkait fenomena yang melanda masyarakatnya. Terkait masalah KUR membuktikan tidak tersosialisasinya dengan baik dan menjadi tanggung jawab menteri, sampai Gubernur dan Bupati.
Sudah menjadi kewajiban tiap daerah yang melakukan pemekaran menjadikan otda sebagai instrumen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah mengatur salah satu hakekat dari otonomi daerah adalah untuk kesejahteraan masyarakat. Pemaknaan yang terkandung dalam otda itu sendiri adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Di era demokrasi saat ini, sangat jelas publik mendambakan pemerintahan yang dapat mengaspirasikan suara rakyat. Bukan pemerintahan yang dibangun berdasarkan Asal Bapak Senang (ABS), seperti pada masa orde baru. Penulis menyimpulkan pemekaran daerah otonom, nantinya tidak boleh didasarkan hanya pada pertimbangan politik semata, tetapi harus mempertimbangkan aspek dan penunjang lainnya tujuannya agar masyarakat tidak menjadi bagian dari korban otda yang tak mampu membawa peningkatan kesejahteraan di daerahnya. ●
Pasca berhembusnya angin reformasi 1998, terbukti telah membawa perubahan pada sendi kehidupan berbangsa. Kehadiran Otonomi Daerah (otda) merupakan salah satu bukti begitu telah hidupnya demokrasi di negeri ini. Sangat jelas, otda menempati posisi yang sangat sakral dalam penyelenggaraan kehidupan nasional, karena dengan adanya otonomi inilah, daerah memiliki kesempatan yang luas untuk menyusun kebijaksanaan pembangunan yang sesuai dengan situasi dan kondisi daerah, serta kebutuhan masyarakat daerah.
Harapan dengan adanya otda, pembangunan dapat berhasil dengan baik, dan potensi daerah mampu dimaksimalkan. Selain itu, otda juga dapat dilihat sebagai bagian dari proses demokratisasi, asumsi ini dilandasi sebuah kenyataan dengan otonomi, berarti daerah diberikan kewenangan yang lebih luas untuk mengambil keputusan dalam penyelenggaraan pemerintah, dan tidak harus selalu mengikuti garis kebijaksanaan yang ditentukan dari pemerintah pusat atau pemerintah di atasnya.
Namun, sangat disayangkan otda yang sudah berjalan lebih dari 11 tahun sampai hari ini, ternyata belum mampu menjembatani hubungan antara daerah dan pusat. Termasuk didalamnya masalah kesejahteraan masyarakat. Fakta ini menunjukan pemekaran daerah yang selama ini digadang-gadang membawa keberkahan bagi masyarakat di daerahnya, jauh dari apa yang dicita-citakan.
Seharusnya konsep pemekaran daerah yang berlangsung di masa depan diharap bisa berjalan melalui mekanisme dan persyaratan yang jelas. Ketua Umum DPP Partai Amanat Nasional (PAN) Hatta Rajasa menyikapi permasalahan otda terkait dengan kesejahteraan masyarakat menilai, pemekaran jangan asal dilakukan ataupun disahkan karena bisa membawa dampak negatif bagi masyarakat. "Kalau pemekaran tidak menghasilkan kesejahteraan, maka celakalah kita," ujar Hatta dalam pidato pembekalan caleg PAN yang berlangsung di Balai Kartini, Jakarta, beberapa waktu lalu.
Tak mengherankan pada akhirnya Hatta menginstruksikan kepada seluruh anggota dewan dari Fraksi PAN, untuk bersikap selektif dalam menentukan daerah otonom baru (DOB) yang mengajukan pemekaran. Apa lagi faktor utama dari pemekaran adalah kesiapan daerah, kesiapan masyarakat, termasuk potensi yang dimiliki daerah dapat digunakan untuk kemandirian kelak.
Ajakan ini menurut penulis menunjukkan kepedulian dirinya terhadap nasib masyarakat pasca terbentuknya otda diwilayahnya. Jangan sampai masyarakat tak dapat menikmati kekayaan daerah dan harus mengalami kesengsaraan padahal daerahnya memiliki potensi alam yang mengiurkan. Jika ini sampai terjadi menunjukkan otda tak membawa manfaat bagi warganya dalam menjalani kehidupan.
Dalam UUD 45 dan Undang-Undang Otonomi Daerah, menjelaskan masalah kemiskinan yang ada di wilayah daerah harus diatasi bersama, namun pada kenyataannya masalah ini justru hanya bermuara ke pemerintah pusat, sedangkan pejabat daerah, baik itu Bupati maupun Gubernur, terkesan menutup mata. Ironisnya keadaan warganya sampai tak terendus. Isu-isu keseharian masyarakat di daerah, harusnya pemimpin lokal yang lebih bertanggungjawab. Jangan sampai otda hanya dimaknai kemandirian pengelolaan SDA, tetapi tidak mampu dalam menciptakan kemandirian dan menciptakan kesejahteraan warganya.
Selama ini terkesan, menantu dari Sarwo Edhi Wibowo ini dianggap lalai dalam mensejahterahkan kehidupan rakyat. Kasus Tasripin beberapa waktu lalu dan tidak berjalannya KUR selama ini, menjadi bukti tak berjalannya mesin pemerintah di daerah dalam menyuarakan kesejahterakan rakyat.
Dilihat dari realitas, Otda itu sendiri memiliki wewenang dan hak untuk membuat kebijakan secara lebih otonom dan untuk menata anggarannya secara mandiri. Pemerintah daerah memiliki potensi yang sangat besar untuk mempengaruhi pengurangan kemiskinan. Pada kenyataanya masih banyak dijumpai kisah Tasripin lainnya di belahan negeri ini. Tak mengherankan jika selama ini program pemerintah tak berjalan dengan yang diharapkan. Salah satu contoh ketika SBY menyambangi Tanjung Pasir, Tangerang, Banten, Jumat (4/1/2012).
Dalam kunjungannya tersebut, ternyata dijumpai masih banyak masyarakat yang belum mengetahui program pemerintah terkait kesejahteraan rakyat. Salah satunya program Kredit Usaha Rakyat (KUR), skema kredit untuk usaha kecil tanpa agunan. Sangat disayangkan, implementasi dari anggaran untuk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang mencapai angka Rp 20 triliun, yang telah mengalami peningkatan pinjaman dari Rp 5 juta menjadi Rp 20 juta, tak diketahui sepenuhnya oleh masyarakat sekitar. Lebih mengenaskan, sampai ada nelayan yang kesulitan untuk melaut dikarenakan ketiadaan solar maupun biaya untuk membeli bahan bakar.
Seyogyanya, kenaikan ini dijadikan peningkatan untuk memajukan masyarakat terutama UMKM, bukan sebaliknya menyebabkan UMKM atau masyarakat sekitar semakin langka ataupun tidak mengalami pengembangan. Seharusnya tenaga penyuluh di tingkat wilayah seperti kecamatan dan jajaranya mampu memperkuat sistem agar lebih mantap untuk mereplikasikan, dan memfasilitasi masyarakat agar menikmati keberadaan KUR.
Peran pejabat daerah terlihat tidak mampu mensosialisasikan program-program yang didengungkan pemerintah. Upaya pemerintah dalam menekan angka kemiskinan pada akhirnya bisa saja kandas, jika setiap daerah berupaya menutup mata terkait fenomena yang melanda masyarakatnya. Terkait masalah KUR membuktikan tidak tersosialisasinya dengan baik dan menjadi tanggung jawab menteri, sampai Gubernur dan Bupati.
Sudah menjadi kewajiban tiap daerah yang melakukan pemekaran menjadikan otda sebagai instrumen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah mengatur salah satu hakekat dari otonomi daerah adalah untuk kesejahteraan masyarakat. Pemaknaan yang terkandung dalam otda itu sendiri adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Di era demokrasi saat ini, sangat jelas publik mendambakan pemerintahan yang dapat mengaspirasikan suara rakyat. Bukan pemerintahan yang dibangun berdasarkan Asal Bapak Senang (ABS), seperti pada masa orde baru. Penulis menyimpulkan pemekaran daerah otonom, nantinya tidak boleh didasarkan hanya pada pertimbangan politik semata, tetapi harus mempertimbangkan aspek dan penunjang lainnya tujuannya agar masyarakat tidak menjadi bagian dari korban otda yang tak mampu membawa peningkatan kesejahteraan di daerahnya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar