Kamis, 01 Agustus 2013

Konteks Lailatul Qadar

Konteks Lailatul Qadar
M Ulinnuha Husnan  ;   Dosen IIQ Jakarta
          REPUBLIKA, 31 Juli 2013


Lailatul qadar adalah peristiwa luar biasa dan penuh misteri. Banyak kejadian mahadahsyat yang berlangsung di malam itu. Salah satunya yang paling fenomenal adalah proses penurunan Alquran kepada Nabi Muahammad SAW. Data-data teologis dan historis merekam kejadian itu (lihat misalnya QS al-Qadr [79]:1-5; QS ad-Dukhan [44]: 4-5), sehingga tak ada tempat bagi umat manusia untuk meragukan atau bahkan mendustakannya. 

Kemahadahsyatan lailatul qadar itu terlihat secara tekstual, misalnya, pada kata lailatul qadr yang diulang sampai tiga kali dalam surah al-Qadr. Karena status dan kedudukannya yang begitu agung, tak berlebihan bila Rasul SAW kerap memerintahkan kepada diri, keluarga, dan umatnya agar selalu memperbanyak amal saleh dan ibadah pada malam itu (lihat misalnya, hadis riwayat Bukhari Muslim dari `Aisyah dan Abu Sa'id al-Khudri). 

Dalam konteks kekinian, sejatinya banyak hikmah, pesan, dan pelajaran yang dapat diambil dari peristiwa lailatul qadar. Pertama, lailatul qadar mengajarkan kepada kita tentang pentingnya fungsi manajemen hidup yang --menurut Henri Fayol (1841-1925 M)-- meliputi perencanaan (planning), peng - organisasian (organizing), pengawasan (controlling), dan evaluasi (evaluating). 

Pesan ini terinspirasi dari pemahaman atas makna dasar term lailatul al-qadr yang berarti malam penentuan bagian (takdir). Menurut informasi Alquran, pada malam itulah Allah `merencanakan', `mengorganisasikan', `mengawasi' sekaligus `mengevaluasi' tugas pokok dan fungsi (tupoksi) serta hak seluruh umat manusia. Inilah kesan yang tersirat dari firman Allah; fiha yufraqu kullu amrin hakim (di malam itu, dijelaskan [kepada malaikat] tiap-tiap perkara yang mengandung hikmah) (QS ad-Dukhan [44]: 4), dan kalimat min kulli amr (dari tiap-tiap perkara) dalam QS al-Qadr [97]: 4.

Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, maka pesan pertama ini memberikan wejangan kepada para penguasa untuk mengatur bangsa ini secara serius dalam semua lini kehidupan yang meliputi pendidikan, lapangan pekerjaan, kesehatan, keamanan, dan kebudayaan. Fungsi manajemen juga harus dilakukan dengan baik dan maksimal, tidak sekadar formalitas dan dalam konteks menghabiskan anggaran. Jika pesan pertama ini dilakukan dengan baik, niscaya huru-hara dan karut-marut kehidupan berbangsa dan bernegara tidak akan pernah terjadi di negeri ini.

Kedua, mengatur (mengelola) hidup harus dilakukan secara periodik --minimal setahun sekali-- dan berkesinambungan. Pesan ini tersirat dari ayat tanazzalul malaa'ikatu (QS al-Qadr [97]: 3). Menurut para mufasir, bentuk asli kata tanazalu (turun-temurun) adalah tatanazzlu, namun huruf ta' yang pertama dibuang untuk memudahkan bacaan. Jika demikian, maka tatanazzalu adalah fi'il mudhari' (present continuous tense), yang dalam kaidah bahasa Arab mengandung makna kekinian (al-hadhir) dan kontinuitas (al-istimrar). Dari pemahaman semacam ini maka umat Islam dan seluruh lapisan bangsa, sejatinya diajak untuk terus serius dan komitmen mengatur kehidupan umat dan bangsa ini. 

Ketiga, aturan, sistem, dan manajemen yang ditetapkan harus berorientasi jangka panjang dan untuk kebaikan bersama. Ini adalah kesan dari ayat khairun min alfi syahrin (lebih baik dari seribu bulan) (QS. al-Qadr [97]: 2). Jadi, selama sistem yang digunakan masih berbasis pada kepentingan sesaat, apalagi kepentingan kelompok dan orang per orang, maka sistem itu tidak akan membawa dampak signifikan bagi perbaikan kehidupan ini. 

Keempat, peristiwa yang terjadi pada lailatul qadar --khususnya Nuzulul Quran-- mengajak kepada kita untuk me-nuzul-kan (menurunkan) Alquran ke dalam relung jiwa dan seluruh aspek kehidupan, baik pribadi maupun sosial kenegaraan. Kata anzalnaadi awal surah al-Qadr --yang menggunakan diksi anzala, yang berbentuk fi'il maad - hii (past tense)- menunjukkan bahwa penurunan Alquran ke dalam diri manusia itu harus dilakukan secara totalitas dan sungguh-sungguh. 

Dengan demikian, Alquran tidak lagi sekadar dirapal secara kuantitatif, tapi jauh di atas itu adalah bagaimana Alquran dapat berfungsi secara kualitatif pada hidup dan kehidupan ini. Berfungsi secara kualitatif mengandaikan pembacaan dan pengkajian yang begitu mendalam, kontinu, terprogram, dan pengejawantahan secara maksimal dalam keseharian. 

Sementara me-nuzul-kan Alquran dalam konteks sosial kenegaraan berarti menjadikannya sebagai basis utama dalam menentukan regulasi dan kebijakan. Regulasi yang berbasis pada Alquran berarti regulasi yang pro-rakyat, prokepentingan bangsa, pro-kaum dhuafa, fakir miskin, dan marjinal. Kebijakan yang Qurani berarti kebijakan yang berorienstasi dan mengedepankan nilai-nilai dasar, karakter, dan jati diri kebangsaan, bukan proasing, apalagi tunduk dan patuh pada keinginan asing.

Kelima, peristiwa lailatul qadar juga mengajak kita untuk menyebarkan perdamaian dan kedamaian (salam). Perdamaian dan kedamaian itu harus terus disebarkan umat Islam dan seluruh lapisan bangsa ini, hingga benar-benar mewujud dalam kehidupan seru sekalian alam. Secara sufistik, term hattaa mathla'il fajr (hingga terbit fajar) (QS al-Qadr [97]: 5) berarti hingga (perdamaian dan kedamaian) itu termanifestasi dalam seluruh semesta alam, bagi semua makhluk ciptaan Tuhan, tanpa melihat perbedaan latar belakang dan status sosial. Kata fajrdi akhir ayat itu juga mengisyaratkan kedamaian, kesejukan, keindahan, dan kesentosaan. 

Karut-marut kehidupan di berbagai belahan bumi Islam, khususnya di Indonesia belakangan ini, adalah bentuk penodaan terhadap visi salam (perdamaian dan kedaiaman) yang dititahkan Tuhan dalam Alquran. Dengan demikian, lailatul qadar bukanlah sekadar peristiwa biasa yang layak di peringati secara seremonial, tapi jauh di atas itu, lailatul qadar adalah peristiwa adi luhung di mana masa depan hidup dan kehidupan manusia ditentukan. 


Maka, tak ada pilihan lain bagi kita semua, khususnya umat Islam Indonesia, kecuali menyebarkan perdamaian dan kedamaian di negeri ini. Tentu harus diawali dengan pemahaman yang mendalam dan semangat mencari serta mengisi malam lailatul qadar dengan amal saleh dan ibadah-ibadah individual maupun sosial. Wallahu a'lam.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar