SUARA MERDEKA,
31 Juli 2013
|
PENJATUHAN Mohammed Mursi yang diklaim pihak militer dan
beberapa kelompok oposisi sebagai solusi atas krisis politik di Mesir beberapa
waktu lalu ternyata justru menjadi gelombang bencana baru yang benar-benar
memorakporandakan Mesir. Ikhwan benar-benar tak menerima pemimpin mereka yang
dipilih secara demokratis itu dilengserkan. Mereka terus mengonsolidasikan
kekuatan di dalam negeri, bahkan di ìluar negerinya.
Kelompok yang memiliki akar sangat kuat di pedesaan dan
kesetiaan tinggi dari para pengikutnya tersebut all out menuntut
dikembalikannya Mursi ke kursi kepresidenan dengan risiko apa pun.
Memperhatikan beberapa laporan televisi, penulis berkeyakinan protes pendukung
Mursi diikuti massa yang jauh lebih besar ketimbang jumlah massa yang
menjatuhkan Mursi sebelumnya. Protes terjadi hampir merata, tak hanya di kota
besar seperti di Kairo dan Alexandria tapi juga di kota-kota kecil seperti
Tanta, al-Fayyum, al-Minya dan lain-lain.
Merasa legitimasinya ’’terganggu’’, Abdel Fattah al-Sisi
menyerukan demontrasi tandingan yang besar pada hari Jumat lalu. Massa
demonstran itu sangat besar, tetapi seperti biasa hanya berpusat di Tahrir.
Namun, kelompok yang menjatuhkan Mursi itu tidak lagi utuh. Ada tanda-tanda
kelompok liberal mulai terpecah, terutama kalangan gerakan pemuda.
Sebagian mereka kecewa dengan perlakukan rezim baru
terhadap Ikhwan yang sangat represif dan menguatnya kembali peran militer dalam
pemerintahan. Beberapa kelompok pemuda, seperti Gerakan 6 April, dan beberapa
partai politik menolak mengikuti aksi di Tahrir. Bahkan kini sebagian dari
mereka mendukung massa pro-Mursi menghadapi militer.
Mengerahkan Total
Dari pihak Ikhwan, selain mengerahkan total kekuatan di
dalam negeri, solidaritas Islamis-Ikhwani di beberapa negara lain tak bisa
diremehkan. Protes dalam skala masif di Turki, Tunisia, Malaysia, dan protes
lain dalam skala lebih kecil terhadap kudeta militer Mesir pun tak bisa
diremehkan. Tekanan itu makin kuat ditambah tekanan pemimpin negara yang
berlatar belakang Islamis-ikhwani terhadap pemerintahan baru Mesir di bawah
Sisi dan Adly Mansour.
Kecaman dari berbagai kekuatan internasional atas tragedi
Rab’ah beberapa waktu lalu makin menyudutkan pemerintahan hasil kudeta plus
itu.
Erdogan di Turki sepertinya sedang merepresentasikan
pemimpin jaringan Islamis Ikhwani yang terus berupaya mengucilkan pemerintahan
baru Mesir yang dibentuk oleh militer. Ia tak hanya menyeru kepada
kekuatan-kekuatan besar dunia untuk mengecam penjatuhan pemerintahan yang sah,
tetapi juga mendorong isolasi terhadap pemerintahan baru Mesir yang ia sebut
sebagai ’’pemerintahan kudeta’’.
Belum lama ini Erdogan ”menampar” muka pemerintahan baru
Mesir dengan menolak telepon dari El-Baradei, Wakil PM Bidang Internasional dan
peraih Nobel Perdamaian, dengan alasan dia bukanlah pemimpin yang sah.
Sementara para elite kelompok liberal dan militer terus menjalankan agenda
politiknya, seolah-olah tak terpengaruh sedikit pun dengan tuntutan pendukung
Mursi dan realitas di lapangan yang sangat mencemaskan.
Para pemimpin Ikhwan terus ditangkapi dan dilarang keluar
dari Mesir. Tentara dan polisi juga sangat represif terhadap aksi massa yang
diberitakan sebagian media massa di Barat sebagai damai, teratur, dan santun
ini. Dari hari ke hari, korban terus berjatuhan.
Saluran Rahasia
Kini, kesatuan masyarakat yang dikenal sangat kohesif sejak
masa yang purba itu benar-benar dalam ancaman. Mesir di ambang perang saudara.
Polarisasi antara pendukung Mursi dan pendukung militer memecah hampir seluruh
lapisan masyarakat, dari para harist (penjaga rumah/pekerjaan yang dipandang
paling rendah) dan petani hingga guru besar al-Azhar.
Celakanya, di tengah-tengah situasi di lapangan yang sangat
mengkhawatirkan itu, tak tampak ada upaya serius dan signifikan dari para elite
kedua pihak yang berseteru untuk mencari terobosan-terobosan solusi. Ini tentu
gejala yang sangat aneh. Yang muncul justru sikap saling ancam antara pimpinan
militer dan Ikhwan.
Yang muncul dalam pemberitaan media massa hanyalah upaya
mediasi Uni Eropa yang gagal untuk membebaskan Mursi beberapa waktu lalu. Kabar
lain adalah dibukanya negosiasi antara pimpinan Ikhwan dan pihak militer
sebagaimana dinyatakan al-Iryan, salah satu pimpinan Ikhwan. Kabar itu pun
dibantah oleh pihak militer.
Kabar paling akhir adalah, sejumlah ilmuwan Mesir
menawarkan sebuah solusi jalan tengah untuk mengakhiri krisis yang telah
melumpuhkan negeri itu hampir satu bulan ini. Hingga Senin (29/7/13) belum ada
jawaban dari kedua pihak yang bertikai terhadap proposal itu.
Akan tetapi, channel terbuka untuk negosiasi antara kedua
pihak seperti sekarang ini memang tidak akan mudah. Pasalnya, massa kedua pihak
menginginkan seluruh keinginan mereka tercapaim apalagi korban sudah
berjatuhan. Mereka sepertinya tidak siap sebagian aspirasi dinegosiasikan.
Negosiasi serius yang disorot kamera jelas belum terjadi.
Namun, kita berharap ada saluran rahasia untuk mengatasi situasi yang terus
memburuk di Mesir. Saluran rahasia biasanya menjadi jalur yang lebih efektif
ketika negosiasi ’’di depan kamera’’ mengalami kebuntuan atau situasi di lapangan
tidak kondusif untuk dilakukan negosiasi. Itulah harapan agar negara yang
sangat berpengaruh di Dunia Arab dan Islam tidak masuk ke jurang kehancuran. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar