Kamis, 01 Agustus 2013

Meredam Inflasi

Meredam Inflasi
Pande Radja Silalahi  ;   Peneliti Senior CSIS
          SUARA KARYA, 31 Juli 2013


Inflasi pada kenyataannya tidak bersifat netral bagi masing-masing anggota masyarakat. Sebagai wujud perubahan harga beraneka barang dan jasa yang dinyatakan dalam satu bilangan, adakalanya inflasi lebih menekan golongan masyarakat berpendapatan rendah dan ada pula yang dalam prosesnya lebih menekan para pelaku usaha.

Kalau pada Juni lalu, tingkat inflasi mencapai 1,03 persen, dalam bulan Juli Bank Indonesia (BI) sudah memperkirakan inflasi bisa jauh lebih besar. Hal ini sebagai akibat peningkatan permintaan masyarakat akan barang atau jasa untuk memenuhi keperluan selama puasa dan menjelang Idul Fitri.

Badan Pusat Statistik (BPS) pun telah mengisyaratkan bahwa bulan Juli akan "terbakar" inflasi. Hal ini disebabkan oleh sejumlah aktivitas biaya tinggi yang dilakukan masyarakat bertepatan dengan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Dari data BPS, hingga minggu ketiga bulan Juli ini harga cabai sudah naik 78 persen. Sebagai penyumbang inflasi terbesar, dampaknya angka inflasi diperkirakan bisa menyentuh 1,5 persen.

Kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM datang terlambat hingga akibat negatifnya makin terasa. Lihat saja, kenaikan harga yang terjadi pada bulan Juli. Pada Juni lalu, inflasi total atau umum adalah 1,03 persen, tetapi kenaikan harga makanan ternyata lebih tinggi dan mencapai 1,17 persen. Akibatnya, selama satu semester tahun 2013 ini, bahan makanan telah mengalami kenaikan 7,19 persen.

Hampir dapat dipastikan, pada Juli ini harga bahan makanan, makanan jadi, dan minuman akan naik. Apalagi, pada bulan Agustus ini bertepatan dengan Idul Fitri. Kebutuhan masyarakat untuk merayakan peristiwa akbar tersebut tentu akan bertambah. Belum lagi, setelah liburan Lebaran, pengeluaran untuk biaya pendidikan membesar.

Para karyawan di Jepang pada musim panas ini melepaskan dasi dan tidak memakainya selama bekerja di kantor atas anjuran pemerintah untuk menghemat penggunaan suhu pendingin (AC). Anjuran itu dipatuhi karena masyarakat Jepang percaya kepada pemerintahnya.

Keadaan sebaliknya terjadi di Indonesia. Masyarakat kehilangan kepercayaan kepada sebagian besar pemimpinnya atau aparat pemerintahnya. Dari segi ekonomi, kehilangan kepercayaan ini menjadi sangat mahal harganya.

Seandainya kepercayaan itu masih ada, maka perlawanan terhadap kenaikan harga pangan berlebih dengan mudah dapat dilakukan. Dengan menganjurkan masyarakat membeli barang dan jasa sesuai dengan yang dibutuhkan dan tidak berlebih, maka dapat dipastikan harga akan dapat terkendali.

Tetapi, karena masyarakat telah kehilangan kepercayaan, mereka justru melakukan yang sebaliknya. Aparat pemerintah saling menyalahkan dan lebih celakanya lagi, berusaha meniadakan pemikiran rasional ekonomi dari masyarakat dan bukan berusaha melakukan yang sebaliknya.


Contoh konkret munculnya iklan (utamanya di televisi) yang menyalahkan masyarakat membeli BBM yang lebih murah dengan alasan gengsi atau tidak menolong yang miskin. Yang mampu dibenturkan dengan yang miskin secara tidak tepat. Kalau kebijakan yang salah, misalnya, kebijakan harga BBM tidak tepat, mengapa masyarakat golongan mampu yang disalahkan dan mengapa bukan kebijakan yang salah itu yang dikoreksi? ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar