SUARA KARYA, 31
Juli 2013
|
Inflasi pada kenyataannya tidak
bersifat netral bagi masing-masing anggota masyarakat. Sebagai wujud perubahan
harga beraneka barang dan jasa yang dinyatakan dalam satu bilangan, adakalanya
inflasi lebih menekan golongan masyarakat berpendapatan rendah dan ada pula
yang dalam prosesnya lebih menekan para pelaku usaha.
Kalau pada Juni lalu, tingkat inflasi
mencapai 1,03 persen, dalam bulan Juli Bank Indonesia (BI) sudah memperkirakan
inflasi bisa jauh lebih besar. Hal ini sebagai akibat peningkatan permintaan
masyarakat akan barang atau jasa untuk memenuhi keperluan selama puasa dan
menjelang Idul Fitri.
Badan Pusat Statistik (BPS) pun
telah mengisyaratkan bahwa bulan Juli akan "terbakar" inflasi. Hal
ini disebabkan oleh sejumlah aktivitas biaya tinggi yang dilakukan masyarakat
bertepatan dengan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Dari data
BPS, hingga minggu ketiga bulan Juli ini harga cabai sudah naik 78 persen.
Sebagai penyumbang inflasi terbesar, dampaknya angka inflasi diperkirakan bisa
menyentuh 1,5 persen.
Kebijakan pemerintah menaikkan
harga BBM datang terlambat hingga akibat negatifnya makin terasa. Lihat saja,
kenaikan harga yang terjadi pada bulan Juli. Pada Juni lalu, inflasi total atau
umum adalah 1,03 persen, tetapi kenaikan harga makanan ternyata lebih tinggi
dan mencapai 1,17 persen. Akibatnya, selama satu semester tahun 2013 ini, bahan
makanan telah mengalami kenaikan 7,19 persen.
Hampir dapat dipastikan, pada Juli
ini harga bahan makanan, makanan jadi, dan minuman akan naik. Apalagi, pada
bulan Agustus ini bertepatan dengan Idul Fitri. Kebutuhan masyarakat untuk
merayakan peristiwa akbar tersebut tentu akan bertambah. Belum lagi, setelah
liburan Lebaran, pengeluaran untuk biaya pendidikan membesar.
Para karyawan di Jepang pada musim
panas ini melepaskan dasi dan tidak memakainya selama bekerja di kantor atas
anjuran pemerintah untuk menghemat penggunaan suhu pendingin (AC). Anjuran itu
dipatuhi karena masyarakat Jepang percaya kepada pemerintahnya.
Keadaan sebaliknya terjadi di
Indonesia. Masyarakat kehilangan kepercayaan kepada sebagian besar pemimpinnya
atau aparat pemerintahnya. Dari segi ekonomi, kehilangan kepercayaan ini
menjadi sangat mahal harganya.
Seandainya kepercayaan itu masih
ada, maka perlawanan terhadap kenaikan harga pangan berlebih dengan mudah dapat
dilakukan. Dengan menganjurkan masyarakat membeli barang dan jasa sesuai dengan
yang dibutuhkan dan tidak berlebih, maka dapat dipastikan harga akan dapat
terkendali.
Tetapi, karena masyarakat telah
kehilangan kepercayaan, mereka justru melakukan yang sebaliknya. Aparat
pemerintah saling menyalahkan dan lebih celakanya lagi, berusaha meniadakan
pemikiran rasional ekonomi dari masyarakat dan bukan berusaha melakukan yang
sebaliknya.
Contoh konkret munculnya iklan
(utamanya di televisi) yang menyalahkan masyarakat membeli BBM yang lebih murah
dengan alasan gengsi atau tidak menolong yang miskin. Yang mampu dibenturkan
dengan yang miskin secara tidak tepat. Kalau kebijakan yang salah, misalnya,
kebijakan harga BBM tidak tepat, mengapa masyarakat golongan mampu yang
disalahkan dan mengapa bukan kebijakan yang salah itu yang dikoreksi? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar