|
“Suatu
bangsa adalah keinginan untuk hidup bersama dan kesepakatan untuk berkorban."
Ernest Renan (1923- 1892)
Kutipan kuliah bertajuk "Qu'est ce qu'une nation?" (Apa arti sebuah bangsa?) oleh filsuf Prancis Ernest Renan di Universitas Sorbonne pada 1882 tersebut memang amat terkenal. Konon memengaruhi akademisi, seperti Benedict Anderson dan bapak bangsa kita, Sukarno.
Kutipan kuliah bertajuk "Qu'est ce qu'une nation?" (Apa arti sebuah bangsa?) oleh filsuf Prancis Ernest Renan di Universitas Sorbonne pada 1882 tersebut memang amat terkenal. Konon memengaruhi akademisi, seperti Benedict Anderson dan bapak bangsa kita, Sukarno.
Ben Anderson terkenal dengan bukunya,
Imagined Communities: Reflections on the
Origin and Spread of Nationalism (1983), sementara Sukarno sudah lebih
dahulu mengunyah pemikiran Renan yang menjadi inspirasi perjuangannya, bahwa
sebuah negara bangsa dibangun di atas dasar kesamaan nasib dan teleologi
"kebaikan umum" (common good),
yang selalu diprakarsai oleh tumbuh dan berkecambahnya kesadaran akan adanya
kesamaan cita-cita sebagai tolok ukur yang menyatukan.
Di situlah dapat dimengerti jika negara
dan bangsa Indonesia yang dibangun di tengah desingan peluru dan di atas puing-puing
kehancuran akibat penjajahan pun berlandaskan pada cita-cita bersama, yaitu
menciptakan suatu masyarakat yang adil dan sejahtera. Lantas, keindonesiaan
yang kita banggakan ini pun mengendap dalam memori kolektif kita sebagai
keniscayaan sejarah atau tapal batas sejarah,---the end of history--istilah Fukuyama yang terus berusaha menggapai
kesejahteraan itu sendiri.
Indonesia kini telah memasuki usia
kemerdekaannya yang ke-68 tahun. Kita pun merayakannya dengan aneka macam
ekspresi kegembiraan. Tetapi, ternyata, gangguan separatisme belum juga mati di
Bumi Nusantara. Belum lagi fenomena kemiskinan dan pengangguran yang masih
belum tertangani secara tuntas dan lilitan kapitalisme dan neoliberalisme yang
mematikan. Sehingga, cita-cita kemerdekaan yakni menciptakan kesejahteraan
bersama pun masih menjadi harapan imajinasi-utopis masyarakat.
Sehingga, yang ada kini adalah keindonesiaan
yang belum selesai atau belum rampung dikerjakan. Dan itu akhirnya menjadi
sebuah proyek masa depan yang harus segera diselesaikan, khususnya oleh para
pemimpin bangsa yang akan datang. Meminjam istilah Benedict Anderson, Indonesia
adalah sebuah imagined communities (komunitas-komunitas terbayang). Atau,
Indonesia dalam bahasa David Steinberg, adalah suatu ciptaan baru-produk
loncatan imajinasi yang besar dan tidak mudah, dengan cita-cita, dan mencakupi
medan kerja yang luas dalam arti geografis dan setumpuk persoalan: ekonomi,
politik, sosial, dan hukum yang harus diselesaikan.
Hingga saat ini masyarakat bangsa
terus berupaya menjaga agar imajinasi-utopis akan kebersamaan masa depan yang
dicita-citakan selalu hidup dalam bayangannya. Ini merupakan upaya agar keberadaan
dan keutuhan sebuah bangsa tetap terjaga. Tetapi, ironisnya, masyarakat politik
Indonesia hingga saat ini tetap terperangkap dalam suatu utopia yang belum
pasti.
Sukarno menggiring rakyat Indonesia
pada sebuah utopia bernama revolusi.
Soeharto mengusung utopia yang bernama pembangunanisme. Presiden-presiden selanjutnya pascareformasi, tulis Imam Cahyono dalam sebuah esainya, belum menawarkan utopia yang jelas. Baru Presiden Yudhoyono yang gencar membangun semacam utopia tentang demokratisasi di bidang politik dan ekonomi.
Soeharto mengusung utopia yang bernama pembangunanisme. Presiden-presiden selanjutnya pascareformasi, tulis Imam Cahyono dalam sebuah esainya, belum menawarkan utopia yang jelas. Baru Presiden Yudhoyono yang gencar membangun semacam utopia tentang demokratisasi di bidang politik dan ekonomi.
Akhirnya, rakyat seperti belum memiliki harapan yang pasti dan semangat hidup
yang bergelora. Keindonesiaan ini pun ibarat harus meniti labirin tanpa
terminal. Perjalanan menuju masa depan yang lebih baik seperti belum menemukan
ujung. Semua itu membuat bangsa kehilangan energi dan gairah untuk berbicara tentang
nasionalisme dan patriotisme keindonesiaan kita.
Kalau mau jujur, idealisme membangun
jati diri keindonesiaan yang dinamis, berkembang-maju-kokoh, tampaknya masih
berjarak dari cita-cita awal para founding fathers. Masih munculnya konflik
bernuansa separatisme di Papua Barat bisa dilihat sebagai sinyalemen tentang
masih sulitnya mengokohkan keindonesiaan. Bukan mustahil, ancaman demi ancaman
terus menggerogoti keutuhan NKRI, jika persoalan-persoalan bangsa tidak
diselesaikan secara tuntas Semua persoalan terus saja mencuat, karena keindonesiaan
kita selama ini masih gagal meletakkan fondasi yang kokoh untuk mandiri dan
mengembangkan diri dalam potensi dan aktualisasinya,---nation and character building--sebagai sebuah negara bangsa sesuai
dengan cita-cita kemerdekaan tentang Indonesia yang adil, makmur, dan
sejahtera.
Menerjemahkan utopia Jadi,
persoalannya adalah bagaimana menyelesaikan keindonesiaan kita yang mencakup
sebuah bangsa yang ditentukan oleh dinamika peradabannya, sehingga
keindonesiaan kita bukan sekadar sebuah imagined communities--Benedict
Anderson--tadi, yang bertalian sejauh bisa dibayangkan, melainkan suatu entitas
konstruktif yang turut serta membentuk sejarah.
Maka, yang perlu dikerjakan oleh
para pemimpin yang akan datang adalah menyelesaikan persoalan masyarakat bangsa
dengan menerjemahkan utopia Indonesia berdasarkan pada optimisme menuju masa
depan yang adil, makmur dan sejahtera. Mewujudkan utopia Indonesia berarti
menemukan sosok Indonesia, sebuah republik, dengan menggali segala potensi yang
ada untuk maju dan berdiri tegak sebagai sebuah negara yang berwibawa dan
bangsa besar yang terhormat dengan menyingkirkan segala bentuk penghalang
kemajuan bangsa, seperti memberantas korupsi dan mengadang sergapan kapitalisme
dan neoliberalisme.
Menyelesaikan aneka macam persoalan
bangsa yang masih bertumpuk bukanlah perkara mudah. Namun, itu semua tentu
bukanlah mustahil diselesaikan jika dikerjakan secara serius oleh seluruh
komponen bangsa untuk maju bersama meraih cita-cita bersama sesuai dengan cita-cita
negara kemerdekaan. Bangsa yang serius adalah bangsa yang mau untuk terus-menerus
belajar dari sejarah tanpa terkungkung pengalaman traumatik masa lampau, berani
menghadapi realitas masa kini yang memprihatinkan dan menggalang masa depan
yang bergelora yang penuh optimisme.
Tulis David Kolb, penggagas the clinical experiental learning model,
pengalaman --masa lampau dan kini--adalah titik awal tumbuh kembang yang akan
dialami bangsa yang mau mengubah
nasibnya dan terus belajar dan ingin maju. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar