Selasa, 20 Agustus 2013

Makna Keindonesiaan

Makna Keindonesiaan
Thomas Koten ;   Direktur Social Development Center
REPUBLIKA, 19 Agustus 2013

“Suatu bangsa adalah keinginan untuk hidup bersama dan kesepakatan untuk berkorban."  Ernest Renan (1923- 1892)

Kutipan kuliah bertajuk "Qu'est ce qu'une nation?" (Apa arti sebuah bangsa?) oleh filsuf Prancis Ernest Renan di Universitas Sorbonne pada 1882 tersebut memang amat terkenal. Konon memengaruhi akademisi, seperti Benedict Anderson dan bapak bangsa kita, Sukarno.

Ben Anderson terkenal dengan bukunya, Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism (1983), sementara Sukarno sudah lebih dahulu mengunyah pemikiran Renan yang menjadi inspirasi perjuangannya, bahwa sebuah negara bangsa dibangun di atas dasar kesamaan nasib dan teleologi "kebaikan umum" (common good), yang selalu diprakarsai oleh tumbuh dan berkecambahnya kesadaran akan adanya kesamaan cita-cita sebagai tolok ukur yang menyatukan.

Di situlah dapat dimengerti jika negara dan bangsa Indonesia yang dibangun di tengah desingan peluru dan di atas puing-puing kehancuran akibat penjajahan pun berlandaskan pada cita-cita bersama, yaitu menciptakan suatu masyarakat yang adil dan sejahtera. Lantas, keindonesiaan yang kita banggakan ini pun mengendap dalam memori kolektif kita sebagai keniscayaan sejarah atau tapal batas sejarah,---the end of history--istilah Fukuyama yang terus berusaha menggapai kesejahteraan itu sendiri.

Indonesia kini telah memasuki usia kemerdekaannya yang ke-68 tahun. Kita pun merayakannya dengan aneka macam ekspresi kegembiraan. Tetapi, ternyata, gangguan separatisme belum juga mati di Bumi Nusantara. Belum lagi fenomena kemiskinan dan pengangguran yang masih belum tertangani secara tuntas dan lilitan kapitalisme dan neoliberalisme yang mematikan. Sehingga, cita-cita kemerdekaan yakni menciptakan kesejahteraan bersama pun masih menjadi harapan imajinasi-utopis masyarakat. 

Sehingga, yang ada kini adalah keindonesiaan yang belum selesai atau belum rampung dikerjakan. Dan itu akhirnya menjadi sebuah proyek masa depan yang harus segera diselesaikan, khususnya oleh para pemimpin bangsa yang akan datang. Meminjam istilah Benedict Anderson, Indonesia adalah sebuah imagined communities (komunitas-komunitas terbayang). Atau, Indonesia dalam bahasa David Steinberg, adalah suatu ciptaan baru-produk loncatan imajinasi yang besar dan tidak mudah, dengan cita-cita, dan mencakupi medan kerja yang luas dalam arti geografis dan setumpuk persoalan: ekonomi, politik, sosial, dan hukum yang harus diselesaikan.

Hingga saat ini masyarakat bangsa terus berupaya menjaga agar imajinasi-utopis akan kebersamaan masa depan yang dicita-citakan selalu hidup dalam bayangannya. Ini merupakan upaya agar keberadaan dan keutuhan sebuah bangsa tetap terjaga. Tetapi, ironisnya, masyarakat politik Indonesia hingga saat ini tetap terperangkap dalam suatu utopia yang belum pasti. 

Sukarno menggiring rakyat Indonesia pada sebuah utopia bernama revolusi.
Soeharto mengusung utopia yang bernama pembangunanisme. Presiden-presiden selanjutnya pascareformasi, tulis Imam Cahyono dalam sebuah esainya, belum menawarkan utopia yang jelas. Baru Presiden Yudhoyono yang gencar membangun semacam utopia tentang demokratisasi di bidang politik dan ekonomi.
Akhirnya, rakyat seperti belum memiliki harapan yang pasti dan semangat hidup yang bergelora. Keindonesiaan ini pun ibarat harus meniti labirin tanpa terminal. Perjalanan menuju masa depan yang lebih baik seperti belum menemukan ujung. Semua itu membuat bangsa kehilangan energi dan gairah untuk berbicara tentang nasionalisme dan patriotisme keindonesiaan kita.

Kalau mau jujur, idealisme membangun jati diri keindonesiaan yang dinamis, berkembang-maju-kokoh, tampaknya masih berjarak dari cita-cita awal para founding fathers. Masih munculnya konflik bernuansa separatisme di Papua Barat bisa dilihat sebagai sinyalemen tentang masih sulitnya mengokohkan keindonesiaan. Bukan mustahil, ancaman demi ancaman terus menggerogoti keutuhan NKRI, jika persoalan-persoalan bangsa tidak diselesaikan secara tuntas Semua persoalan terus saja mencuat, karena keindonesiaan kita selama ini masih gagal meletakkan fondasi yang kokoh untuk mandiri dan mengembangkan diri dalam potensi dan aktualisasinya,---nation and character building--sebagai sebuah negara bangsa sesuai dengan cita-cita kemerdekaan tentang Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera.

Menerjemahkan utopia Jadi, persoalannya adalah bagaimana menyelesaikan keindonesiaan kita yang mencakup sebuah bangsa yang ditentukan oleh dinamika peradabannya, sehingga keindonesiaan kita bukan sekadar sebuah imagined communities--Benedict Anderson--tadi, yang bertalian sejauh bisa dibayangkan, melainkan suatu entitas konstruktif yang turut serta membentuk sejarah.

Maka, yang perlu dikerjakan oleh para pemimpin yang akan datang adalah menyelesaikan persoalan masyarakat bangsa dengan menerjemahkan utopia Indonesia berdasarkan pada optimisme menuju masa depan yang adil, makmur dan sejahtera. Mewujudkan utopia Indonesia berarti menemukan sosok Indonesia, sebuah republik, dengan menggali segala potensi yang ada untuk maju dan berdiri tegak sebagai sebuah negara yang berwibawa dan bangsa besar yang terhormat dengan menyingkirkan segala bentuk penghalang kemajuan bangsa, seperti memberantas korupsi dan mengadang sergapan kapitalisme dan neoliberalisme.

Menyelesaikan aneka macam persoalan bangsa yang masih bertumpuk bukanlah perkara mudah. Namun, itu semua tentu bukanlah mustahil diselesaikan jika dikerjakan secara serius oleh seluruh komponen bangsa untuk maju bersama meraih cita-cita bersama sesuai dengan cita-cita negara kemerdekaan. Bangsa yang serius adalah bangsa yang mau untuk terus-menerus belajar dari sejarah tanpa terkungkung pengalaman traumatik masa lampau, berani menghadapi realitas masa kini yang memprihatinkan dan menggalang masa depan yang bergelora yang penuh optimisme.


Tulis David Kolb, penggagas the clinical experiental learning model, pengalaman --masa lampau dan kini--adalah titik awal tumbuh kembang yang akan dialami bangsa yang mau mengubah nasibnya dan terus belajar dan ingin maju. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar