Selasa, 20 Agustus 2013

Akar Krisis Mesir

Akar Krisis Mesir
Arsyad Abrar ;   Mahasiswa S-3 Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta
REPUBLIKA, 19 Agustus 2013

Dalam sekejap, Mesir, pasca turunnya Husni Mubarak telah berubah menjadi medan peperangan. Para ahli memprediksi, bakal terjadi perang saudara di negeri piramid itu. Kekecewaan dan kekhawatiran yang berlebihan bisa menjadi salah satu faktor pemicu dari bentrokan menahun di Mesir.

Hasrat untuk menjadikan Mesir sebagai negara Islam mendapatkan tantangan yang sangat banyak, meski diakui banyak pula yang meridhainya. Di sisi lain, Islam dinilai sebagai kekuatan yang akan memberikan ancaman bagi negara-negara lain, khususnya Barat. Salah satu persepsi yang keliru tentang Islam dan negara Islam.

Lantas, apa yang menjadi kekhawatiran sebagian kalangan terhadap Islam?
Islam hanya sebuah nilai, tidak lebih. Islam hanya melahirkan norma, bukan untuk mengungkung. Islam hanya ingin kan kedamaian, bukan kekerasan. Lantas, bagian Islam yang mana yang dinilai sebagai ancaman besar untuk dunia lainnya?

Bagian itu adalah persatuan. Islam adalah sebuah keyakinan yang menyuarakan persatuan. Persatuan adalah senjata yang kiranya menakutkan bagi mereka yang sangat anti-Islam. Pada dasarnya, Islam telah mengenal perbedaan ratusan tahun lamanya.

Islam menyadari bahwa perbedaan bukan suatu masalah yang serius. Bahkan, dalam satu ayat dinyatakan perbedaan tersebut hendaknya mendorong kita untuk saling mengenal. Ada banyak perbedaan yang menjadi jaringan konflik yang terjadi saat ini. Beberapa waktu lalu, Indonesia juga mengalami krisis yang berkepanjangan, banyak korban berjatuhan.

Kembali ke persoalan Mesir, dengan terjadinya aksi-aksi yang sangat memilukan di Mesir ini menunjukkan bahwa persoalan ini bukan sekadar persoalan rakyat Mesir. Banyak pihak yang memiliki kepentingan dengan Mesir, sayangnya berita yang kita terima dari media masa tidak pernah tuntas menyebutkan hasil-hasil bumi yang ada di Mesir.

Di bidang perpolitikan, Mesir merupakan negara yang menjembatani antara Israel dan Palestina. Mesir merupakan palang pintu dan akses untuk menuju ke Palestina. Harus jujur kita katakan bahwa Israel memiliki kepentingan dengan Mesir. Otomatis, siapa yang memimpin Mesir haruslah mampu menjaga misi dan visi negara tetangga itu dalam beberapa hal. Ini bukan rahasia umum lagi, tapi sayangnya lidah media tidak membicarakan itu untuk dikonsumsi secara umum

Di sini, kita tidak ingin berspekulasi dengan mengatakan bahwa Israel sebagai salah satu dalang kerusuhan Mesir. Tapi, kita tidak boleh menutup mata dari gerakan politik negara itu. Potret negara Arab adalah negara yang sangat kompleks, tidak hanya faktor agama yang kerap menjadi pemicu. Faktor suku, kabilah juga memiliki peran tersendiri yang memicu gerakan demi gerakan politik.

Rasanya tidak adil jika kita menilai Mesir hanya dari satu sisi keyakinan. Islamis maupun sekuler seyogianya harus bisa hidup berdampingan selama memiliki tujuan yang sama. Tujuan yang sama itu hendaknya lebih ditekankan pada sisi kemanusiaan. Saya melihat kenyamanan ketika memakai nama humanis daripada memakai nama Islamis.

Mungkinkah kiprah Islam beralih dengan menggunakan simbol-simbol humanis? Saya kira peluang itu masih sangat terbuka lebar. Islam dengan slogan dan simbol yang humanis ditujukan untuk peremajaan pemikiran yang mengusung antiradikal. Islam tidak hanya mengatur hukum dan syariat Allah, Islam juga memiliki nilai-nilai moral dan kemanusiaan yang harus dijunjung lebih tinggi.

Islam humanis tidak lagi mengusung jubah sebagai pakaian agama, tidak lagi membicarakan warna putih sebagai warna kesucian. Tidak mengklaim penampilan tertentu yang dinilai lebih Islami. Hal yang mesti ditekankan adalah Islam humanis, Islam yang jauh dari kepentingan, jauh dari pergolakan, terhindar dari semangat ingin menguasai. Karena, sejati- nya Islam humanis adalah Islam yang menciptakan pemimpin bukan membe- sarkan penguasa, terlebih lagi tirani.

Berkaca dari kegagalan, banyak negara Islam saat ini tumpang tindihnya antara keinginan dan kebijakan untuk menerapkan aturan Islam. Satu hal lainnya yang tertinggal adalah tidak adanya kesepakatan terkait dengan defenisi negara Islam itu sendiri.

Indonesia adalah negara Islam bila tinjau dari sisi populasi kependudukan.
Karena, masyoritasnya adalah beragama Islam. Kedua, Indonesia merupakan negara Islam, karena mayoritas penduduk Islam mendapatkan hak dan kewajibannya sebagai pemeluk Islam. Saya kira, negara-negara lain mesti belajar dari Indonesia yang mampu mengkombinasikan dan memilah antara kepentingan agama dan kehendak negara. Kelebihan yang patut kita banggakan adalah Indonesia memiliki koalisi sosial yang kuat. Tidak rapuh dalam perbedaan tidak larut dalam konflik. 


Kondisi Arab yang labil, mencerminkan tidak matangnya pemahaman Islam di sana. Peran Islam ke depan hendaknya diambil alih oleh kita, bangsa Timur.
Nilai Islam yang universal dirasa sanggup untuk membentuk Islam khas Indonesia yang lebih bersahabat dengan catatan tidak begitu mengabaikan nilai- nilai pokok dalam Islam. Di masa yang akan datang, bakal lahir Islam dengan wajah yang baru tanpa perlu melibatkan atribut keislaman manapun. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar