Selasa, 20 Agustus 2013

Manajemen Inflasi, Diam Itu Emas

Manajemen Inflasi, Diam Itu Emas
Iman Sugema ;   Ekonom
REPUBLIKA, 19 Agustus 2013

Angka inflasi pada Juli sebesar 3,3 persen sangat mengejutkan banyak pihak. Bia sa nya, angka inflasi pada Ramadhan atau Lebaran tak jauh dari kisaran dua persen. Angka inflasi pada Juli tersebut memberikan hampir separuh dari inflasi yang terjadi sepanjang Januari sampai Juli. Karena itu, sampai pertengahan tahun depan, menekan angka inflasi merupakan sebuah pekerjaan yang relatif sulit. Angka bulanan tersebut akan terus terbawa pada perhitungan inflasi tahunan.

Dalam terminologi ilmu ekonomi, inflasi memiliki implikasi menurunnya daya beli uang. Karena harga-harga mengalami kenaikan, dengan jumlah uang yang sama, kita hanya mampu membeli barang dengan jumlah yang relatif lebih sedikit. Pengaruhnya terhadap setiap kelompok tentunya akan sangat berbeda-beda. Inflasi Januari sampai Juli didominasi oleh kenaikan harga di kelompok bahan makanan, makanan, dan transportasi.

Kenaikan harga bahan makanan cenderung memiliki efek negatif yang lebih besar terhadap kelompok miskin karena tiga perempat pengeluaran dari kelompok ini adalah untuk makanan dan bahan makanan. Kenaikan harga BBM dan ongkos transportasi akan cenderung mengurangi daya beli kelompok yang lebih intensif menggunakan transportasi, termasuk di dalamnya adalah kaum buruh perkotaan.

Secara agregat, inflasi cenderung memberi efek kontraksi di sisi permintaan walaupun tidak merata terhadap seluruh industri. Kalau inflasi terjadi secara alamiah, kenaikan harga yang terjadi justru merefleksikan koreksi pasar terhadap kelebihan permintaan. Karena permintaan naik maka harga naik dan kenaikan harga ini pada gilirannya menekan permintaan. 

Secara alamiah, ada kausalitas bolak-balik antara harga dan permintaan. Bila semuanya berlangsung secara alamiah, kita bisa dengan mudah mengantisipasi akan terjadinya kelebihan permintaan. Karena itu, Bank Indonesia dapat mencegah terjadinya kenaikan permintaan dan harga dengan cara menaikkan suku bunga.

Karena itu, kebijakan antiinflasi yang dirumuskan oleh otoritas moneter harus bersifat antisipatif atau pre-emptive. Tidak boleh reaktif. Selain itu, harus diperhitungkan berapa lama kenaikan suku bunga tersebut termanifestasikan dalam bentuk penurunan permintaan agregat. Beberapa penelitian menunjukkan, suku bunga akan mulai terasa dampaknya setelah tiga bulan. Artinya, kebijakan suku bunga tidak bisa bersifat instan.

Hanya dalam beberapa bulan terakhir, BI giat menaikkan suku bunga acuan atau BI Rate. Tentunya, kebijakan ini dimaksudkan untuk mengantisipasi inflasi yang akan terjadi pada bulan-bulan mendatang. Suku bunga tidak memiliki relevansi terhadap inflasi yang sudah terjadi. Bahkan, sebetulnya kenaikan suku bunga tersebut bersifat kontraproduktif. Selain akan menghambat pertumbuhan, inflasi pada bulan-bulan mendatang tak memerlukan campur tangan dari BI. Inflasi akan turun dengan sendirinya walaupun tanpa kenaikan suku bunga. Ada beberapa alasan mengapa hal itu bisa terjadi.

Pertama, inflasi pada Juli didominasi oleh efek kebijakan dan faktor musiman. Pada saat dan menjelang Ramadhan serta Lebaran, harga-harga cenderung meningkat. Setelah itu, pergerakan inflasi kembali normal. Kenaikan harga BBM tentunya berimbas pada biaya transportasi dan penggunaan energi pada level perusahaan dan rumah tangga. Tapi, efeknya hanya satu kali atau one shot. 

Harga BBM tidak akan naik atau turun lagi dalam beberapa bulan mendatang. Terkecuali, tentunya ada perubahan yang drastis dalam kebijakan fiskal. Hampir bisa dipastikan, ada atau tidak ada kenaikan suku bunga maka harga BBM akan tetap pada level yang sekarang. Dalam kasus seperti ini, kebijakan moneter tak memiliki relevansi sama sekali. Dengan kata lain, inflasi yang sudah terjadi merupakan buah dari kebijakan fiskal.

Inflasi yang terjadi pada ke lompok bahan makanan juga merupakan akibat dari karut-marutnya kebijakan perdagangan. Kasus impor sapi dan bawang putih men cerminkan betapa harga lebih ditentukan oleh para koruptor. Karena ada korupsi, importir harus menaikkan harga di luar batas kewajaran untuk menutupi ongkos tak resmi. Itu semua dibebankan pada kita. Beberapa komoditas memang menunjukkan kenaikan harga di luar kebiasaan, terutama pada kelompok palawija dan sayur-mayur. Ini merupakan pengaruh dari berkepanjangannya musim hujan.

Seharusnya, Juni sudah memasuki musim kemarau di wilayah barat Indonesia. Tapi, sampai akhir Juli, ternyata hujan masih kerap mengguyur. Akibatnya, produktivitas komoditas yang biasa ditanam pada musim kering menjadi terganggu. Untuk kelompok komoditas ini pun, kebijakan moneter tak bisa dipakai untuk mengendalikan inflasi.

Agustus merupakan tahun ajaran baru dan biasanya inflasi didorong oleh berbagai biaya yang berkaitan dengan urusan pendidikan. Kenaikan pungutan, SPP dalam berbagai bentuk, alat tulis, dan seragam sekolah biasanya merupakan ciri dari inflasi bulan ini. Bisakah kebijakan moneter mengendalikannya? Jawabannya sudah pasti tidak bisa.

Sebagai penutup, tampaknya ruang kebijakan moneter untuk mengendalikan inflasi pada bulan-bulan mendatang agak terbatas. BI tak perlu merasa bersalah bila tak mampu menahan inflasi. Terkadang, tidak melakukan apa pun lebih baik dibanding mengambil tindakan pada waktu dan situasi yang salah.

Pepatah mengatakan, diam itu emas dan itu berlaku untuk kasus inflasi pada bulan-bulan mendatang. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar