|
Angka
inflasi pada Juli sebesar 3,3 persen sangat mengejutkan banyak pihak. Bia sa
nya, angka inflasi pada Ramadhan atau Lebaran tak jauh dari kisaran dua persen.
Angka inflasi pada Juli tersebut memberikan hampir separuh dari inflasi yang
terjadi sepanjang Januari sampai Juli. Karena itu, sampai pertengahan tahun
depan, menekan angka inflasi merupakan sebuah pekerjaan yang relatif sulit.
Angka bulanan tersebut akan terus terbawa pada perhitungan inflasi tahunan.
Dalam
terminologi ilmu ekonomi, inflasi memiliki implikasi menurunnya daya beli uang.
Karena harga-harga mengalami kenaikan, dengan jumlah uang yang sama, kita hanya
mampu membeli barang dengan jumlah yang relatif lebih sedikit. Pengaruhnya terhadap
setiap kelompok tentunya akan sangat berbeda-beda.
Inflasi Januari sampai Juli didominasi oleh kenaikan harga di kelompok bahan makanan,
makanan, dan transportasi.
Kenaikan harga bahan makanan cenderung memiliki efek negatif
yang lebih besar terhadap kelompok miskin karena tiga perempat pengeluaran dari
kelompok ini adalah untuk makanan dan bahan makanan. Kenaikan harga BBM dan ongkos
transportasi akan cenderung mengurangi daya beli kelompok yang lebih intensif
menggunakan transportasi, termasuk di dalamnya adalah kaum buruh perkotaan.
Secara agregat, inflasi cenderung memberi efek kontraksi di
sisi permintaan walaupun tidak merata terhadap seluruh industri. Kalau inflasi
terjadi secara alamiah, kenaikan harga yang terjadi justru merefleksikan
koreksi pasar terhadap kelebihan permintaan. Karena permintaan naik maka harga
naik dan kenaikan harga ini pada gilirannya menekan permintaan.
Secara alamiah, ada kausalitas bolak-balik antara harga dan
permintaan. Bila semuanya berlangsung secara alamiah, kita bisa dengan mudah
mengantisipasi akan terjadinya kelebihan permintaan. Karena itu, Bank Indonesia
dapat mencegah terjadinya kenaikan permintaan dan harga dengan cara menaikkan
suku bunga.
Karena itu, kebijakan antiinflasi yang dirumuskan oleh
otoritas moneter harus bersifat antisipatif atau pre-emptive. Tidak boleh reaktif. Selain itu, harus diperhitungkan
berapa lama kenaikan suku bunga tersebut termanifestasikan dalam bentuk
penurunan permintaan agregat. Beberapa penelitian menunjukkan, suku bunga akan
mulai terasa dampaknya setelah tiga bulan. Artinya, kebijakan suku bunga tidak
bisa bersifat instan.
Hanya dalam beberapa bulan terakhir, BI giat menaikkan suku
bunga acuan atau BI Rate. Tentunya, kebijakan ini dimaksudkan untuk mengantisipasi
inflasi yang akan terjadi pada bulan-bulan mendatang. Suku bunga tidak memiliki
relevansi terhadap inflasi yang sudah terjadi. Bahkan, sebetulnya kenaikan suku
bunga tersebut bersifat kontraproduktif. Selain akan menghambat pertumbuhan,
inflasi pada bulan-bulan mendatang tak memerlukan campur tangan dari BI.
Inflasi akan turun dengan sendirinya walaupun tanpa kenaikan suku bunga. Ada
beberapa alasan mengapa hal itu bisa terjadi.
Pertama, inflasi pada Juli didominasi oleh efek kebijakan dan
faktor musiman. Pada saat dan menjelang Ramadhan serta Lebaran, harga-harga
cenderung meningkat. Setelah itu, pergerakan inflasi kembali normal. Kenaikan
harga BBM tentunya berimbas pada biaya transportasi dan penggunaan energi pada
level perusahaan dan rumah tangga. Tapi, efeknya hanya satu kali atau one shot.
Harga BBM tidak akan naik atau turun lagi dalam
beberapa bulan mendatang. Terkecuali, tentunya ada perubahan yang drastis dalam
kebijakan fiskal. Hampir bisa dipastikan, ada atau tidak ada kenaikan suku
bunga maka harga BBM akan tetap pada level yang sekarang. Dalam kasus seperti
ini, kebijakan moneter tak memiliki relevansi sama sekali. Dengan kata lain,
inflasi yang sudah terjadi merupakan buah dari kebijakan fiskal.
Inflasi yang terjadi pada ke lompok bahan makanan juga
merupakan akibat dari karut-marutnya kebijakan perdagangan. Kasus impor sapi
dan bawang putih men cerminkan betapa harga lebih ditentukan oleh para
koruptor. Karena ada korupsi, importir harus menaikkan harga di luar batas
kewajaran untuk menutupi ongkos tak resmi. Itu semua dibebankan pada kita. Beberapa
komoditas memang menunjukkan kenaikan harga di luar kebiasaan, terutama pada
kelompok palawija dan sayur-mayur. Ini merupakan pengaruh dari berkepanjangannya
musim hujan.
Seharusnya, Juni sudah memasuki musim kemarau di wilayah
barat Indonesia. Tapi, sampai akhir Juli, ternyata hujan masih kerap mengguyur.
Akibatnya, produktivitas komoditas yang biasa ditanam pada musim kering menjadi
terganggu. Untuk kelompok komoditas ini pun, kebijakan moneter tak bisa dipakai
untuk mengendalikan inflasi.
Agustus merupakan tahun ajaran baru dan biasanya inflasi
didorong oleh berbagai biaya yang berkaitan dengan urusan pendidikan. Kenaikan
pungutan, SPP dalam berbagai bentuk, alat tulis, dan seragam sekolah biasanya
merupakan ciri dari inflasi bulan ini. Bisakah kebijakan moneter
mengendalikannya? Jawabannya sudah pasti tidak bisa.
Sebagai penutup, tampaknya ruang kebijakan moneter untuk
mengendalikan inflasi pada bulan-bulan mendatang agak terbatas. BI tak perlu
merasa bersalah bila tak mampu menahan inflasi. Terkadang, tidak melakukan apa
pun lebih baik dibanding mengambil tindakan pada waktu dan situasi yang salah.
Pepatah mengatakan, diam itu emas dan itu berlaku untuk kasus
inflasi pada bulan-bulan mendatang. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar